Presidential threshold diperkirakan tak berubah, 2024 mentok 3 paslon

Menurut Titi, ambang batas pencalonan presiden merugikan gerakan politik perempuan untuk menjadi kelompok atau pilihan alternatif.

Ilustrasi. Alinea.id

Ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold masih 20% sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Ambang batas pencalonan presiden merupakan syarat minimal jumlah suara atau kursi partai politik (parpol) di parlemen untuk mengajukan pasangan calon (paslon) presiden-wakil presiden (wapres) dalam Pilpres. Ambang batas pencalonan presiden tersebut, mulai diberlakukan sejak 2009.

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, ambang batas pencalonan presiden sebabkan tidak akan lebih dari 3 paslon yang akan maju pada Pilpres 2024 nanti. “Kalau konfigurasi ambang batasnya tidak ada perubahan atau namanya kecenderungan kuatnya tidak ada perubahan, karena 2009 kita mentok di 3 paslon,” ucapnya dalam diskusi virtual, Jumat (15/10).

“Di (Pilpres) 2014 (hanya ada) 2 paslon (yang maju), 2019 juga 2 paslon, maka harapan terbesar adalah paling banyak, karena memang persentase itu kan menghambat kita untuk mendapatkan angka bulat,”

Ia berharap, elit partai dan parpol menunjukkan kenegarawannya dan itikad baik untuk memberikan alternatif yang lebih beragam kepada pemilih sehingga bisa menghindari polarisasi disintegrasi, sebagaimana yang terjadi pada Pilpres 2014 dan 2019 dengan hanya mengusung 2 paslon.

Menurut Titi, ambang batas pencalonan presiden merugikan gerakan politik perempuan untuk menjadi kelompok atau pilihan alternatif. Selain itu, ambang batas pencalonan presiden juga merugikan kelompok muda, figur non partai dengan visi misi yang berorientasi pelayanan, hingga figur daerah yang tidak terlalu terafiliasi dengan elit politik. Sebab, mereka akan sulit mendapatkan ‘tiket’ untuk mencalonkan diri. Kecuali, misalnya ada kalkulasi politik yang memperhitungkan elektabilitas.