Sarat praktik banal dan lancung, bagaimana potensi konflik Pemilu 2024?

Berbagai praktik bobrok dan lancung dalam Pemilu 2024, baik teknis maupun nonteknis, dibeberkan dalam film Dirty Vote.

Alinea.id/Marzuki Darmawan

Sutradara Dandhy Laksono kembali bikin geger gelanggang politik. Setelah Jakarta Unfair pada 2017 dan Sexy Killers pada 2019, ia meluncurkan Dirty Vote jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Berbagai praktik bobrok dan lancung, baik teknis maupun nonteknis, dibeberkan dalam film dokumenter berdurasi nyaris 2 jam itu. Mulai dari bantuan sosial (bansos) yang menjadi politik gentong babi, pemekaran Papua, penunjukan ratusan penjabat (pj) kepala daerah, hingga pengerahan aparatur negara, misalnya.

Berbagai fakta yang ditunjukkan merupakan kliping pemberitaan. Lalu, diulas secara bernas oleh ketiga ahli hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti.

"Ide pertama sebenarnya dari kegelisahan kita semua melihat berita-berita soal kecurangan pemilu. Kita melihat berita sehari-harilah soal menteri yang kampanye, menteri yang enggak malu-lalu lagi mengatakan bantuan sosial ini dari presiden. Kok, kayaknya kita hancur standar normalnya, ya?" kata Dandhy dalam kanal YouTube Indonesia Baru, yang mulai tayang pada Senin (12/2). 

"Saya lahir di era Soeharto dan kemudian mengalami masa reformasi. Konflik kepentingan dan apa yang terjadi hari ini sebenarnya enggak normal. Tapi, karena sepertinya dibikin setiap hari, jadi kayak this is another bad thing," sambungnya.