sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sarat praktik banal dan lancung, bagaimana potensi konflik Pemilu 2024?

Berbagai praktik bobrok dan lancung dalam Pemilu 2024, baik teknis maupun nonteknis, dibeberkan dalam film Dirty Vote.

Immanuel Christian
Immanuel Christian Rabu, 14 Feb 2024 07:17 WIB
Sarat praktik banal dan lancung, bagaimana potensi konflik Pemilu 2024?

Sutradara Dandhy Laksono kembali bikin geger gelanggang politik. Setelah Jakarta Unfair pada 2017 dan Sexy Killers pada 2019, ia meluncurkan Dirty Vote jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Berbagai praktik bobrok dan lancung, baik teknis maupun nonteknis, dibeberkan dalam film dokumenter berdurasi nyaris 2 jam itu. Mulai dari bantuan sosial (bansos) yang menjadi politik gentong babi, pemekaran Papua, penunjukan ratusan penjabat (pj) kepala daerah, hingga pengerahan aparatur negara, misalnya.

Berbagai fakta yang ditunjukkan merupakan kliping pemberitaan. Lalu, diulas secara bernas oleh ketiga ahli hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti.

"Ide pertama sebenarnya dari kegelisahan kita semua melihat berita-berita soal kecurangan pemilu. Kita melihat berita sehari-harilah soal menteri yang kampanye, menteri yang enggak malu-lalu lagi mengatakan bantuan sosial ini dari presiden. Kok, kayaknya kita hancur standar normalnya, ya?" kata Dandhy dalam kanal YouTube Indonesia Baru, yang mulai tayang pada Senin (12/2). 

"Saya lahir di era Soeharto dan kemudian mengalami masa reformasi. Konflik kepentingan dan apa yang terjadi hari ini sebenarnya enggak normal. Tapi, karena sepertinya dibikin setiap hari, jadi kayak this is another bad thing," sambungnya.

Dalam tempo 2 hari setelah resmi ditayangkan sejak 11 Februari 2024, pukul 11.11 WIB, Dirty Vote telah ditonton lebih dari 13 juta kali. Lebih cepat daripada Sexy Killers, butuh 7 hari untuk capaian yang sama.

Dandhy melanjutkan, intensnya kecurangan yang terjadi lama-lama melahirkan persepsi bahwa itu adalah normal. Puncaknya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menambah norma baru tentang syarat menjadi calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres).

Baginya, ini adalah kejanggalan. Pangkalnya, lebih dari 30 gugatan diajukan berbagai pihak untuk meruntuhkan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20%, tetapi selalu kandas.

Sponsored

"Tiba-tiba ada satu permohonan yang mengubah syarat presiden, yang sudah berat tadi itu dengan gampang, umur dibikin muda. Saya enggak ada masalah dengan umur. Bagus malah. Tetapi, kemudian semua perubahan itu langsung berlaku seketika, termasuk syarat berpengalaman menjadi kepala daerah," bebernya.

Potensi konflik

Terpisah, Direktur Eksekutif Demos Institute, Ade Reza Hariyadi, menyampaikan berbagai kecurangan tersebut membuat publik menjadi ragu bahwa pemilu dapat terlaksana secara langsung, bebas, umum, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil). Apalagi, pimpinan tiga pilar utama penyelenggara pemilu, yakni MK, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu), telah divonis melanggar etik berat sehingga memiliki problem cacat kredibilitas.

"Secara kolektif, tiga lembaga ini punya problem etik. Ini menjadi tantangan untuk mengembalikan kepercayaan publik, bahwa mereka mampu menjalankan undang-undang tanpa tergoda atau takut dalam tekanan-tekanan politik. Kalau tiga pilar ini tidak bisa memulihkan kepercayan publik, kita khawatir persepsi atas berbagai kecurangan yang muncul dalam film Dirty Vote menjadi terbukti," tegasnya kepada Alinea.id.

Ketua MK, Anwar Usman, dinyatakan melanggar etik berat sehingga dicopot dari jabatannya akibat terbitnya Putusan Nomor 90. Delapan hakim konstitusi lainnya juga dinyatakan melanggar etik sehingga dikenakan sanksi teguran lisan.

Sementara itu, Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, dijatuhi sanksi teguran keras oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena mengubah jadwal seleksi Bawaslu kabupaten/kota sebanyak 4 kali. Tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan secara hukum dan etika.

Bagja juga sempat dijatuhi sanksi peringatan keras. Sebab, melantik kader Partai NasDem, Winsi Kuhu, menjadi anggota Bawaslu Kalimantan Tengah.

Adapun para komisioner KPU RI dikenakan sanksi peringatan keras oleh DKPP dalam kasus meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres). Khusus Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari, dijatuhi hukuman peringatan keras terakhir.

Itu merupakan pelanggaran etik keempat Hasyim. Sebelumnya, ia juga dijatuhi hukuman karena pernyataan kontroversialnya tentang sistem pemilu; bertemu secara pribadi dengan Ketua Umum Partai Republik Satu, Hasnaeni atau Wanita Emas; dan tak menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung (MA) soal kuota 30% caleg perempuan.

Reza melanjutkan, besar atau kecilnya potensi terjadinya kericuhan dalam pemilu turut dipengaruhi perolehan suara. Ia lantas mencontohkan dengan pengalaman Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

"Kalau kekuatannya atau ketimpangan hasil tidak terlalu jauh, itu yang kita khawatirkan. Pengalaman lalu, selisih antarpaslon tidak terlalu tinggi sehingga secara politik keduanya memiliki kekuatan cukup berimbang. Dan kalau kemudian salah satu yang dikecewakan dan memiliki persepsi kecurangan dan melakukan perlawanan di luar mekanisme legal formal, ini bisa menjadi atau berpotensi [mengulang] situasi pada pemilu-pemilu sebelumnya. Tapi, kalau selisih suaranya terlalu besar, saya kira, kekuatan poltik tidak akan cukup signifikan untuk menggoyah," tuturnya.

"Jadi, kita akan menunggu, apakah hasil suara gapnya tidak terlalu besar atau terlalu tipis. Kalau terlalu besar, potensi konflik tidak signifikan. Kalau gapnya tipis, munculnya konflik melalui sarana konstitusional maupun sosial perlu kita antisipasi," imbuh Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Krisnadwipayana (Unkris) ini.

Lebih jauh, Reza menilai, kemampuan elite membangun konsensus politik secara ulang memiliki efek positif dalam meredam konflik yang dipicu kontestasi elektoral. Artinya, bagi-bagi kue kekuasan dapat mengatasi krisis yang terjadi karena melahirkan stabilitas politik.

"Tapi, di sisi lain, menjadi catatan negatif karena apa yang menjadi prinsip keadilan dan kesetaraan yang demokratis justru semakin sulit untuk ditegakkan karena orang menjadi permisif terhadap praktik-praktik penyimpangan pemilu," ungkapnya.

Doa dan zikir 

Adanya potensi terjadinya friksi imbas pemilu juga ditangkap Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). Oleh karena itu, Majelis Nasional (MN) KAHMI mengadakan doa dan zikir bersama, Selasa (13/2) malam.

"Kita harapkan dengan doa dan zikir itu, pelaksanaan pemilu yang akan dilaksanakan besok (Rabu, 14/2, red) dapat berjalan dengan lancar dan sukses. Sukses dalam memilih pemimpin Indonesia 5 tahun ke depan dan sukses memilih calon-calon legislatif yang akan mengisi di DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota," ucapnya kepada Alinea.id.

"Mudah-mudahan pemilu besok dapat berjalan dengan lancar dapat dapat memenuhi apa yang menjadi tujuan pemilu. mudah-mudahan tidak ada friksi-friksi, konflik horizontal di antara masyarakat, dan semuanya dapat menerima hasil pemilu," sambungnya.

Cak Qomar, sapaannya, pun mengajak agar kader-kader KAHMI yang menjadi penyelenggara pemilu menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Masyarakat juga diharapkan menerima dan menunggu hasil pemilu hingga ketetapan KPU sekalipun hasil hitung cepat (quick count) dan exit poll sudah bisa diketahui beberapa jam pasca-pemilihan.

"Kita tetap berharap bahwa pemilu dapat berlangsung dengan baik dan semuanya bisa menerima apa pun hasil dari pemilu yang akan diselenggarakan besok. MN KAHMI memiliki komitmen ini karena kita mempunyai kader-kader di penyelenggara pemilu dari kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan KPU, Bawaslu, DKPP pusat. Kader-kader HMI juga banyak. Mudah-mudahan mereka dapat bekerja dengan sebaik-baiknya dan dapat menjaga pemilu dengan sejujur-jujurnya, seadil-adilnya, dan seluber-lubernya," tuturnya.

Berita Lainnya
×
tekid