Senjakala demokrasi: Bagaimana rezim mengatur kebebasan warga

Transisi reformasi yang begitu cepat membuat masyarakat gagap dalam berdemokrasi. Kebebasan perlu dibatasi, tapi bukan via pendekatan hukum.

Ilustrasi kebebasan./ Pixabay

Saya menangkap kegusaran teman, Fajar Zakhri sore itu. Ia berujar, siapa saja yang kelak merebut kursi RI-1, jika kualitasnya sebelas dua belas dengan Donald Trump, maka ia tak berharap banyak. Memang, apa yang salah dengan Donald Trump?

“Ia hanya selebriti berkedok politisi,” tukas anggota Queer Languange Club Jakarta itu segera. Rekam jejaknya memimpin Paman Sam selama satu tahun belakangan, menurutnya diwarnai dengan intoleransi dan gaya politik yang tak demokratis.

Republikan tersebut memang punya catatan relatif gelap. Ia pernah memisahkan 2.300 anak dari orang tua migran Amerika Tengah, demi menjaga wibawa UU Imigrasi yang baru ia teken. Lalu ia memusuhi media yang memuat kritik atas kebijakannya. Bahkan tak ragu melabeli lima media, yakni CNN, New York Times, NBC, ABC, dan CBS sebagai musuh rakyat. Hubungannya dengan kelompok kulit hitam, Islam, LGBT, dan perempuan Amerika Serikat (AS) pun tak pernah akur.

Kendati tak sama persis, Fajar menyebut Trump mirip seperti Prabowo. “Sebagai produk Orde Baru yang berlumuran catatan merah pelanggaran HAM masa lalu, bukan tak mungkin jika terpilih sebagai Presiden, Prabowo bakal meniru Trump. Tak demokratis,” tuturnya.

Pilihannya menjadi queer, membuat alumni Universitas Indonesia itu pun merasa terancam jika Indonesia dipimpin Presiden yang tak berperspektif HAM. Ia membayangkan kondisi Indonesia di bawah Prabowo yang menurutnya bisa berubah drastis: pers dikebiri, kebebasan berpendapat tinggal cerita, dan persoalan pelanggaran HAM yang tak tersentuh. “Belum lagi, potensi kelompok LGBT yang terus dibatasi hak-hak mereka,” tandasnya.