Sepakat penambahan kursi pimpinan, DPR dianggap gagal fokus

"Pimpinan DPR, MPR, dan DPD merupakan jabatan fungsional bukan hirarkis. Mereka mestinya setara dengan anggota lain namun berbeda tugas,"

Ilustrasi pertarungan kekuasaan sebagai permainan catur. (foto: pixabay)

Pembahasan Revisi UU MD3, telah mengerucut pada kesepakatan adanya penambahan kursi pimpinan MPR, DPR, dan DPD. Peneliti senior Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menilai, penambahan kursi itu sebagai politik bagi-bagi kekuasaan yang ditunjukkan oleh anggota dewan.

"Bagaimana bisa DPR memperlakukan fungsi legislasi mereka sebegitu sempitnya hingga yang terpikir hanya bagaimana memuaskan syahwat ‘bagi-bagi kue kekuasaan’ di antara mereka saja?" ujar Lucius saat berbincang dengan Alinea, Kamis (8/2).

Lucius menerangkan, fungsi legislasi adalah fungsi mendasar yang diberikan kepada DPR sebagai representasi perwakilan rakyat mereka. Menurutnya, kalau sebuah RUU disusun hanya untuk memikirkan kepentingan jangka pendek bagi-bagi kekuasaan, maka rakyat dirugikan. Hal tersebut karena DPR hanya terus akan menjadi ladang kekuasaan parpol semata, bukan ladang perjuangan aspirasi rakyat.

"Pimpinan DPR, MPR, dan DPD merupakan jabatan fungsional bukan hirarkis. Mereka mestinya setara dengan anggota lain namun berbeda pada fungsi atau cara kerja atau bidang tugas saja," tegas Lucius.

Karena itu, ia menganggap penambahan kursi pimpinan sebagai hal yang tidak masuk akal di saat masa jabatan MPR DPR dan DPD hanya tinggal setahun lagi. Menurutnya, tidak ada yang bisa dihasilkan para pimpinan itu diwaktu yang begitu terbatas. Lucius menerangkan, fungsi legislasi juga rusak karena orientasi pembuatan RUU hanya untuk kepentingan yang sangat pragmatis. Misi pragmatis itu justru akan merusak tatanan kelembagaan ke depan. Dia memprediksi, persoalan tersebut juga bisa terulang di periode yang akan datang.