Survei politik di tengah belenggu kepentingan

Tidak ada cara yang bisa menghentikan produksi dan penyebaran hasil survei palsu. Kita hanya membatasi efeknya saja.

Ilustrasi pemilihan umum./ Pixabay

Saat dinyatakan gagal berlaga di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sumatra Utara karena ganjalan administratif, JR Saragih sempat meratap di depan sejumlah wartawan. Kala itu, ia bahkan menyebut para pendukungnya sejumlah 2 juta orang akan kecil hati karena kegagalan ini. Klaim jumlah dukungan itu, berangkat dari hasil survei yang tim suksesnya lakukan sebelumnya. Faktanya, merujuk pada hasil Media Survei Nasional (Median), JR berada di posisi buncit dengan mengantongi 10,6% suara. Sementara dengan total DPT Sumut terbaru sebanyak 9 jutaan, maka Bupati Simalungun itu hanya meraup dukungan 954.000 suara. Jauh dari klaim yang dikeluarkan JR Saragih.

Saling klaim besaran dukungan juga pernah dilakukan calon pemimpin Jawa Barat TB Hasanuddin-Anton Charliyan. Berdasarkan enam kali survei lembaga survei politik, baik lokal maupun nasional, elektabilitas pasangan dari latar militer ini, selalu terendah. Namun, Hasanuddin yang juga mantan sekretaris militer Megawati itu berdalih, semua hasil survei, independensinya diragukan. Menurutnya, sebagian besar lembaga survei justru dipesan oleh elit-elit politik tertentu.

Pada pilpres 2014 lalu, sejumlah lembaga survei menggelar quick count dan mengafirmasi kemenangan Prabowo Subianto. Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Jakarta mencatat empat lembaga survei yang merilis hasil quick count yang memenangkan Prabowo. Mereka Lembaga Survei Nasional (LSN), Indonesia Research Center (IRC), Jaringan Suara Indonesia (JSI), dan Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis). Direktur PBHI Jakarta Poltak Agustinus Sinaga dalam keterangan persnya menyebut, lembaga-lembaga itu tidak kredibel karena mengeluarkan jumlah quick count yang tak bisa dipertanggungjawabkan secara metodis. LSN merilis jumlah sampel sebanyak 100,35% dan tiga lembaga lainnya berjumlah 100% untuk memenangkan Prabowo.

Dalam perkembangannya, keberadaan lembaga survei memang menempati fungsi penting, khususnya jelang pelaksanaan pemilu. Nyarwi Ahmad dalam "Manajemen Komunikasi Politik dan Marketing Politik" (2012) menulis, keberadaan lembaga survei sekaligus konsultan politik mulai marak pascapemilu 2004. Lembaga survei berperan penting dalam memotret elektabilitas calon, partai politik, dan tingkat kepuasan masyarakat, lewat data evaluasi performa tertentu.

Masing-masing lembaga survei memiliki hasil yang kerap berbeda, bahkan tak jarang merilis hasil yang secara terang mengarah pada salah satu calon. Sejumlah pengamat politik tak memungkiri, lembaga survei menjadi agen penyedia jasa bagi mereka yang memang membutuhkan gambaran atas kans kemenangan atau ukuran kepuasan. Mereka yang memesan survei berasal dari lembaga atau perorangan, mulai dari pemerintah, partai politik, atau bahkan calon peserta pemilu.