Tanpa restu PKS, rapat paripurna DPR sahkan RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Fraksi PKS DPR RI menganggap kenaikan tarif PPN kontraproduktif dengan program Pemulihan Ekonomi Nnasional.

Suasana Rapat Paripurna DPR RI soal penetapan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (22/1)/ Foto Antara/Puspa Perwitasari.

Rapat Paripurna DPR RI, Kamis (7/10/2021), mengesahkan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Pajak (RUU HPP) menjadi Undang-Undang. Dari 13 fraksi di DPR RI, hanya fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) yang menyatakan menolak.

Pengesahan RUU HPP dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar, usai Wakil Ketua Komisi XI DPR, Dolfie membacakan hasil pembahasan RUU HPP. "Apakah RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dapat disetujui untuk menjadi undang-undang?," tanya Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar, dalam Rapat Paripurna di DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (7/10).

Usai mendengar jawaban "ya" dari seluruh anggota DPR yang hadir, Cak Imin, sapaan akrab Muhaimin, langsung mengetok palu tanda disahkannya RUU HPP menjadi UU.

Dalam laporannya terkait pembahasan RUU HPP, Wakil Ketua Komisi XI DPR, Dolfie, membacakan alasan penolakan fraksi PKS terhadap RUU HPP. Pertama, Fraksi PKS tidak sepakat dengan rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%. Fraksi PKS berpendapat bahwa kenaikan tarif PPN akan kontraproduktif dengan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Fraksi PKS juga menolak pengenaan pajak terhadap jasa yang sangat dibutuhkan oleh rakyat seperti jasa kesehatan medis, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan jasa layanan keagamaan menjadi barang jasa kena pajak (BJKP). Walau saat ini tarif PPN masih 0%, namun menjadi BJKP barang dan jasa tersebut satu saat dikenakan pajak.