UU MD3 membuat DPR dan rakyat kian berjarak

DPR boleh dikritik, asal jangan terlalu kencang. Kritik dibolehkan asal tak ada unsur 'merendahkan', definisi yang belum jelas batasannya.

Sejumlah pengunjuk rasa yang tergabung dalam Lingkar Studi Aksi dan Demokrasi Indonesia naik ke atas pagar Gedung DPRD Sulawesi Tengah di Palu, Rabu (14/2). Dalam aksi itu mereka menuntut dan menyuarakan beberapa hal diantaranya menuntut pencabutan undang-undang (UU) Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang dinilai anti demokrasi/ Antara

Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang disahkan pada Senin (12/2), terus menimbulkan polemik. Aturan anyar ini dinilai sejumlah pihak, memuat pasal karet yang membuat DPR kian tak tersentuh hukum, di antaranya pasal 122 huruf (k) dan pasal 73 .

Pasal 122 (k) mengatur mengenai kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum, dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

Bagian itulah yang dikhawatirkan akan membelenggu kritik masyarakat terhadap para wakil rakyat di Senayan. Namun, anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani membantah keras stigma ini.

"Kami butuh kritik, sebisa mungkin kritik yang bukan menghina. Teruslah mengritik DPR," ujar Arsul di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (17/2).

Menurut kader PPP ini, DPR hanya ingin ada batasan dalam setiap kritik yang digulirkan masyarakat. “Ada usulan dari tim ahli pemerintah soal muatan kritik. MKD yang kemudian melakukan kajian, apakah kritik itu merendahkan DPR atau tidak,” terangnya.