sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

6 penyebab kurs rupiah jeblok tembus Rp14.000 per dollar AS

Anjloknya nilai tukar rupiah hingga menembus Rp14.000 per dollar Amerika Serikat diproyeksi terjadi lantaran sejumlah faktor. Apa saja?

Cantika Adinda Putri Noveria
Cantika Adinda Putri Noveria Senin, 07 Mei 2018 20:13 WIB
6 penyebab kurs rupiah jeblok tembus Rp14.000 per dollar AS

Anjloknya nilai tukar rupiah hingga menembus Rp14.000 per dollar Amerika Serikat diproyeksi terjadi lantaran sejumlah faktor.

Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira, menjelaskan sebagian besar tekanan rupiah akibat fundamental ekonomi, sehingga pemerintah disarankan untuk memperkuat kinerja ekonomi domestik. 

Dia menyarankan agar pemerintah juga memulihkan kepercayaan investor, menjaga stabilitas harga, baik bahan bakar minyak (BBM), listrik, maupun harga pangan menjelang bulan puasa. Sehingga, konsumsi rumah tangga yang berperan 56% terhadap produk domestik bruto (PDB) bisa pulih.

"Pengusaha terutama yang memiliki utang luar negeri diharapakan untuk melakukan hedging atau lindung nilai. Fluktuasi kurs dapat membuat resiko gagal bayar utang valas meningkat," kata dia, Kamis (7/5). 

Kemudian, sambungnya, bagi perusahaan yang bersiap membagikan dividen, perlu mempersiapkan pasokan dollar untuk memitigasi kedepannya kurs dolar semakin mahal.
 
Sementara itu, cadangan debvisa pastinya akan terus tergerus untuk stabilitas nilai tukar. Bank Indonesia dinilai tidak bisa mengandalkan Cadev sebagai satu-satunya instrumen untuk stabilitas nilai tukar. 

Jika kondisi mendesak, dia menyarankan agar BI bisa menaikkan bunga acuan 25-50 bps. Sebab, kalau terus menerus Cadev berkurang, bisa berbahaya bagi perekonomian. Di Asia Tenggara misalnya, rasio Cadev terhadap PDB Indonesia salah satu yang terendah yakni 14%. Filipina saja sudah 28%, dan Thailand 58%. 

"Cadev menentukan kekuatan moneter suatu negara," paparnya.

Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi pelemahan rupiah terhadap dollar AS:

Sponsored

1. Investor melakukan spekulasi terkait prediksi kenaikan Fed Rate pada rapat FOMC Juni mendatang setelah pengumuman data pengangguran AS sebesar 3,9% terendah bahkan sebelum krisis 2008. Spekulasi ini membuat capital outflow di pasar modal mencapai Rp11,3 triliun dalam 1 bulan terakhir. Spekulasi pasar jelang rapat The Fed membuat sentimen investasi di negara berkembang khususnya Indonesia menurun. 

2. Investor juga bereaksi negatif terhadap rilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2018 yang hanya mencapai 5,06%. Hal ini disebabkan konsumsi rumah tangga masih melemah, terbukti dari penjualan mobil pribadi yang anjlok 2,8% pada triwulan I-2018 dan data penjualan ritel yang turun. Sentimen ini membuat pasar cenderung pesimis terhadap prospek pertumbuhan ekonomi tahun 2018 yang ditarget tumbuh 5,4%. 

3. Harga minyak mentah terus meningkat hingga US$74-US$75 per barel akibat perang di Suriah dan ketidakpastian Perang Dagang AS-China. Hal ini membuat inflasi jelang ramadhan semakin meningkat karena harga BBM non subsidi (pertalite, pertamax) menyesuaikan mekanisme pasar. Inflasi dari pangan juga perlu diwaspadai karena harga bawang merah naik cukup tinggi dalam 1 bulan terakhir.

4. Permintaan dollar AS diperkirakan naik pada triwulan II-2018 karena emiten secara musiman membagikan dividen. Investor di pasar saham sebagian besar adalah investor asing sehingga mengkonversi hasil dividen rupiah ke dalam mata uang dollar. 

5. Importir lebih banyak memegang dollar untuk kebutuhan impor bahan baku dan barang konsumsi jelang Lebaran. Perusahaan juga meningkatkan pembelian dollar untuk pelunasan utang luar negeri jangka pendek. Lebih baik beli sekarang sebelum dolar semakin mahal. Ada efek antisipasi penambahan cuti Lebaran terhadap prilaku pengusaha yang borong dollar di pasar. Meskipun dampaknya kemungkinan kecil ke fluktuasi kurs.

6. Defisit transaksi berjalan tahun ini semakin melebar diperkirakan hingga 2,1% terhadap PDB. Selain karena keluarnya modal asing juga karena defisit neraca perdagangan yang diperkirakan akan kembali terjadi jelang Lebaran karena impor barang konsumsinya naik.

Berita Lainnya
×
tekid