sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Bisnis belanja online sayur, antara harapan dan realita

Sejumlah startup yang bergerak di bisnis jual sayur via online, antara lain Sayurbox, TukangSayur.co, Tanihub, HappyFresh, dan Nyayur.

Ardiansyah Fadli
Ardiansyah Fadli Selasa, 31 Des 2019 10:14 WIB
Bisnis belanja online sayur, antara harapan dan realita

"Harganya agak sedikit mahal. Tapi kalau dibandingkan dengan supermarket, harganya beda tipis," kata Ahmad saat dihubungi Alinea.id, Senin (30/12).

Ahmad adalah salah seorang pelanggan aplikasi membeli sayur secara online. Ia pernah memesan sayur dari aplikasi semacam TukangSayur.co, Sayurbox, atau Tanihub. Alasan Ahmad menjadi pelanggan sayur online, sederhana.

“Lebih simpel dan lengkap,” ujarnya.

Ahmad terbantu dalam membeli sayur-sayuran yang tak tersedia di pasar tradisional, seperti sawi ungu dan labu kuning. Selain itu, layanan sayur online juga menawarkan kualitas sayur-mayur yang segar dan bersih. Ia pun suka dengan cara pengemasan sayur pesanannya.

"Sayur yang saya pesan itu bahkan dibungkus pakai kardus karton, terus setiap sayurnya dikasih plastik wrap," katanya. "Kondisi sayur fresh banget. Kita bisa komplain kalau tidak fresh."

Namun, ia mengaku, berbelanja sayur melalui layanan online hanya alternatif saja, bila tak sempat belanja di pasar tradisional.

"Di pasar tradisional itu kan harganya bisa ditawar juga," ujarnya.

Konsumen lainnya, Desy Septia mengatakan, membeli sayur melalui aplikasi online lebih praktis. Layanan yang dipilihnya adalah HappyFresh. Menurut dia, proses pemesanannya pun sangat cepat dan konsumen bisa memilih waktu pengantaran barang.

Sponsored

"Setelah pemesanan, langsung ditelepon untuk mengonfirmasi ketersediaan barangnya, baru ditotal dan bayar via transfer," kata Desy saat dihubungi, Senin (30/12).

Pedagang sayur menata dagangannya di Pasar Minggu, Jakarta, Selasa (26/11/2019). Foto Antara/Muhammad Adimaja.

Pesanan sayur Desy pun dikemas dalam boks besar berisi es batu. Hal itu untuk meminimalisir kondisi sayur layu dan tak segar lagi saat sampai ke konsumen.

“Ternyata memang bagus dan tidak mengecewakan," ucap dia.

Berbeda dengan Ahmad, Desy menilai, harga sayur yang dipesan via aplikasi tidak berbeda jauh dengan yang dijual di pasar tradisional.

Akan tetapi, keduanya mengaku, bukan pelanggan tetap aplikasi belanja online sayur. Karena aktivitas mereka, memesan sayuran segar untuk dimasak menjadi pilihan nomor dua.

Sementara itu, salah seorang penjual sayur-mayur di Pasar Induk Jagasatru, Cirebon, Jawa Barat, Fuazi merasa tak khawatir dengan keberadaan layanan belanja online sayur. Sebab, menurutnya, sayuran termasuk komoditas yang pelayanannya mesti cepat.

Fuazi menjajakan cabai di Pasar Induk Jagasatru. Ia mengatakan, dalam sebulan bisa menjual cabai sebanyak satu ton. Ia biasa dapat pasokan cabai dari Jawa Timur, dibeli melalui tengkulak seharga Rp20.000 per kilogram.

"Kiriman dari Blitar, Banyuwangi, dan Jember. Sekali ngirim sehari 50 dus, per satu dus bobotnya 30 kilogram. Itu untuk cabai merah doang," katanya saat dihubungi, Senin (30/12).

Fuazi belum tertarik menjual cabainya melalui layanan online. "Kalau jual di online, khawatir malah busuk," kata Fauzi.

Bisnis bertumbuh

Perkembangan teknologi membuat segalanya menjadi praktis. Tak perlu capai pergi ke pasar untuk membeli sayur-mayur. Berbekal telepon seluler pintar, sayuran segar bisa dibeli dengan mudah dan cepat. Layanan jualan sayur itu tersedia dalam sebuah aplikasi online.

Sejumlah startup yang bergerak di bisnis jual sayur via online, antara lain Sayurbox, TukangSayur.co, Tanihub, HappyFresh, dan Nyayur.

Founder dan CEO TukangSayur.co, Chelly Triwibowo mengatakan, sejak berdiri pada 2016, setiap tahun bisnisnya bertumbuh mencapai 100%-200%. Dalam sehari, ada sekitar 1.000 orang yang melakukan transaksi pembelian sayur dan kebutuhan pokok lainnya.

"Barang yang kita jual itu melibatkan pedagang sayuran di pasar tradisional dan juga petani," kata Chelly ketika dihubungi, Senin (30/12).

Chelly menuturkan, TukangSayur.co merupakan pengumpul bahan-bahan, seperti sayuran yang diambil langsung dari para petani dan pedagang pasar tradisional. Lalu, barang-barang itu akan dipasarkan melalui online.

Hingga Desember 2019, ia mengatakan, TukangSayur.co sudah punya mitra sebanyak 500 orang yang tersebar di 18 titik kota di Jawa dan Bali.

"Yang paling banyak masih di Jabodetabek," katanya.

Ia mengatakan, masih menyerap bahan baku dari pasar tradisional karena ingin keberadaan pedagang pasar tradisional tetap eksis.

"Kita ambil barang dari pasar tradisional, jadi enggak mati mereka, tidak hanya dari pertani," kata dia.

Petugas memberikan penjelasan mengenai teknik budidaya sayuran kepada petani saat musim kemarau di Desa Jatimulyo Lampung Selatan, Lampung, Selasa (5/11/2019). Foto Antara/Ardiansyah.

Menurut Chelly, konsumen bisa melakukan komplain atau penukaran dengan barang yang baru, jika mendapat barang yang tidak sesuai. Ia menargetkan, pada 2020 akan ekspansi ke beberapa kota di Sumatera dan Sulawesi.

Ia pun menargetkan, pihaknya bisa melakukan sebanyak 1 juta order hanya dalam waktu empat jam. Sebab, saat ini pihaknya baru mampu melakukan pengiriman sebanyak 10.000 dalam sehari.

Tak hanya sayur, TukangSayur.co juga menjual buah-buahan, produk UMKM, daging ayam, ikan, bumbu, dan kebutuhan dapur lainnya.

Dihubungi terpisah, CEO dan CO-Founder TaniHub Group Ivan Arie Sustiawan mengatakan, TaniHub mengalami tren pertumbuhan yang sangat pesat pada 2019. "Mencapai 268,2% dibandingkan tahun 2018," kata Arie saat dihubungi, Senin (30/12).

TaniHub merupakan e-commerce platform business-to-business (B2B) dan business-to-consumer (B2C) produk pertanian, yang bertujuan menghubungkan petani dengan berbagai jenis usaha.

Hingga kini, menurut Arie, TaniHub sudah punya fasilitas distribusi regional yang tersebar di lima titik kota, yakni Bogor, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Denpasar.

“2022 kita targetkan bisa menjangkau seluruh kota di Indonesia,” ujar Arie.

Arie menilai, Indonesia memiliki potensi pasar yang sangat besar untuk bisnis semacam ini. Berdasarkan data yang diperoleh dari TaniHub, Indonesia punya 5.700 produsen di industri pengolahan makanan dan lebih dari 30.000 outlet ritel modern.

"Saat ini, lebih dari 1,6 juta UMKM dan 200.000 outlet hotel, restoran, dan katering beroperasi di Indonesia," katanya.

Menurut Arie, sejak tiga tahun terakhir, pihaknya sudah membantu meningkatkan produksi petani sebesar 30% dan pendapatan mereka secara umum sebesar 50%. Ia mengklaim, kehadiran TaniHub mendapatkan respons yang positif dari para petani.

"Yang kami prioritaskan adalah mendukung para petani dengan lahan kecil atau para smallholder farmers, dengan rata-rata ukuran lahan sekitar 0,5 hektare sampai maksimal satu hektare," ujarnya.

Ia mengaku, tidak mudah mendirikan TaniHub. Tantangan utamanya, kata dia, mengubah kultur yang sudah berjalan sekian puluh tahun di sektor pertanian.

Menurutnya, mayoritas petani di Indonesia masih belum mengandalkan teknologi untuk membantu pekerjaan mereka. Perusahaan yang berdiri sejak 2016 ini, selalu mengampanyekan supaya lebih banyak yang tertarik dan melakukan perubahan pola produksi menggunakan teknologi.

"Karena teknologi adalah salah satu pilar kami, sehingga kami harus selalu mencari cara terbaik untuk terdepan dalam pengembangan teknologi sebagai penunjang bisnis," ucapnya.

Tantangan sayur online

Meski Chelly dan Arie sama-sama mengakui bisnisnya sedang tumbuh pesat, tetapi pengamat pemasaran Yuswohady punya pendapat lain. Ia mengatakan, perkembangan bisnis jual sayur online akan sangat lambat. Penyebabnya, masyarakat akan lebih memilih layanan pesan makanan siap saji, seperti GoFood.

"Yang digandrungi masyarakat itu yang siap dimakan, kalau sayur kan tidak. Memang simpel, belinya via online. Tapi kan butuh perjuangan untuk memasak, dan orang enggak terlalu suka," kata Yuswohady saat dihubungi, Senin (30/12).

Menurut dia, yang menjadi persoalan bukan hanya mudahnya dalam mendapatkan sesuatu, namun barang yang didapatkan juga harus mudah untuk langsung bisa dikonsumsi.

"Makanan siap saji itu harganya murah, dan tidak butuh effort banyak," katanya.

Belum lagi, kata dia, masyarakat kota mayoritas sudah banyak mengurangi aktivitas memasak di dapur. Mereka lebih memilih membeli makanan di luar.

"Orang kalau tidak masak berarti kan tidak beli sayur," kata dia.

Infografik bisnis belanja online sayur. Alinea.id/Dwi Setiawan.

Yuswohady memprediksi, belanja online sayur ke depan justru akan banyak dimanfaatkan memenuhi kebutuhan, seperti hotel, apartemen, atau restoran. Tempat-tempat itu justru cocok memanfaatkan layanan sayur online karena butuh sayur segar.

Ia mengatakan, keberadaan bisnis belanja online sayur perlahan-lahan akan menggeser keberadaan pasar tradisional. Namun, hal itu masih sangat jauh karena belum berkembang minat orang untuk membeli sayur secara online.

"Akan terjadi efisiensi itu ya pasti, ini kan dampak digitalisasi. Tapi bagus untuk konsumen karena mereka dapat harga dan pelayanan yang cepat dan terjangkau," kata dia.

Yuswohady menilai, proses peralihan ke digital merupakan sesuatu hal yang positif. Meski dampaknya terhadap efisiensi, tetapi kelak akan membentuk pola ekosistem bisnis yang baru.

"Saat ini kan pelaku usahanya sudah ada, tinggal didukung oleh kebiasaan masyarakat, baru pasar tradisional lain akan menyesuaikan juga nantinya," katanya.

Berita Lainnya
×
tekid