sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Catatan ekonomi, inflasi, dan kemiskinan di era Jokowi

Kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hampir berakhir. Bagaimana indikator ekonomi seperti laju inflasi dan pengentasan kemiskinan?

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Rabu, 07 Feb 2024 15:28 WIB
Catatan ekonomi, inflasi, dan kemiskinan di era Jokowi

Pemilihan presiden (Pilpres) 2024 akan berlangsung kurang dari sepekan lagi. Artinya, periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dimulai sejak Oktober 2019 hampir berakhir dan 2024 menjadi tahun ke 10 Jokowi menjabat sebagai presiden.

Presiden Jokowi memulai kepimpinannya pada Oktober 2014 bersama Wakil Presiden Jusuf Kala, dengan Kabinet Kerja. Lalu, dilanjutkan dengan Kabinet Indonesia Maju dengan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Pada tahun 2014, Presiden Jokowi memulai pemerintahannya dengan program prioritas ‘peningkatan produktivitas ekonomi, daya saing, dan kemandirian’, kemudian melanjutkan program ini pada periode selanjutnya, dengan narasi ‘melanjutkan peningkatan produktivitas
ekonomi, daya saing, dan kemandirian’.

Melalui berbagai racikan kebijakannya, Presiden Jokowi membawa ekonomi Indonesia tumbuh di kisaran 5,03% pada periode pertama dan 5,18% di periode kedua. Dengan di tahun ke-9 pemerintahannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada level 5,05%, angka ini lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi pada 2020 dan 2021, yang masing-masing di level minus 2,07% dan 3,7%, namun lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi di 2022, yang mencapai 5,31%.

“Meskipun ekonomi Indonesia tumbuh lebih cepat dibandingkan pada masa Presiden Megawati, pertumbuhan PDB (produk domestik bruto) relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan periode Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) di kedua periode pemerintahannya,” kata Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky, kepada Alinea.id, Selasa (6/2).

Sekadar catatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Presiden SBY ada di kisaran 6%, yang ditopang oleh ledakan harga komoditas (commodity boom) dunia. Sedangkan di masa pemerintahan Jokowi, ekonomi Indonesia sempat dibuat babak belur oleh pandemi Covid-19 yang terjadi pada 2020 hingga 2022.

“Dengan mengesampingkan fluktuasi selama Covid-19, pemerintahan Presiden Jokowi periode kedua telah berhasil meningkatkan pertumbuhan PDB. Ini adalah tugas yang tidak mudah mengingat sebagian besar periode terakhir Presiden Jokowi dihabiskan untuk mengelola pandemi Covid-19,” ujarnya.

Inflasi dan kemiskinan

Terpisah, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai, di balik keberhasilan Presiden Jokowi mengatasi dampak pagebluk dan mengerek pertumbuhan ekonomi Indonesia, tingkat inflasi menjadi catatan yang tak membaik. Dari periode ke periode, inflasi mengalami tren penurunan, yang di sepanjang tahun 2014 inflasi mencapai 8,36% menjadi hanya di level 3,35% pada 2015 dan 2,72% di 2019. 

Sponsored

Bahkan, saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia, inflasi mencapai tingkat terendah di sepanjang sejarah, yaitu sebesar 1,68%. Pada 2021, tingkat inflasi tercatat naik menjadi 1,87% dan mencapai rekornya dalam 8 tahun terakhir pada 2022, yakni di angka 5,51%.

Eko menyebut, tren landainya laju inflasi disebabkan oleh daya beli masyarakat yang merosot. Penyebabnya, harga bahan pokok terus meroket. 

“Kalau kita lihat, posisi sekarang (Januari 2024) sekitar 2,57% secara tren turun. Walaupun di akhir-akhir ini, saya nilai pemerintah sebetulnya gagal dalam konteks mengendalikan harga, terutama harga bahan pokok,” kata Eko, saat dihubungi Alinea.id, Senin (5/1).

Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi inti pada Januari 2024 sebesar 1,68% secara tahunan (year on year/yoy), lebih rendah dibanding bulan sebelumnya yang sebesar 1,80% yoy. Sedangkan inflasi kelompok volatile food tercatat sebesar 7,22%, naik dari bulan sebelumnya yang ada di angka 6,73%. Sementara inflasi kelompok harga yang diatur pemerintah (administered price) pada Januari 2024 tercatat 1,74%, yoy relatif stabil dari bulan sebelumnya yang sebesar 1,72% yoy.

Selain inflasi, dari sisi tingkat kemiskinan, kebijakan pengentasan kemiskinan selama dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo juga masih jauh dari harapan. Berdasar survei yang dirilis BPS pada Maret 2023, tingkat kemiskinan Indonesia tercatat masih sebesar 9,36% atau sebanyak 25,90 juta orang.

Ilustrasi kemiskinan. Foto Freepik.

Sebenarnya, dibanding Maret 2022, jumlah orang miskin di tanah air mengalami penurunan, yaitu dari 9,54% atau sebanyak 26,16 juta orang. Namun, mengingat banyaknya bantuan sosial yang ditujukan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menurut Eko, seharusnya pemerintah bisa lebih menekan jumlah penduduk miskin.

“Perlinsos (perlindungan sosial) itu ada 10 jenis dan angkanya naik terus, bahkan angkanya mendekati Rp500 triliun. Seolah-olah, dari sekitar Rp200 hingga 300 triliunan dari sebelum Covid sampai sekarang itu enggak ada perubahan signifikan di dalam penanganan kemiskinan,” ujarnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani merinci, di sepanjang 2023, pihaknya telah menggelontorkan dana sebesar Rp443,4 triliun. Dengan bantuan yang diberikan kepada masyarakat miskin mulai dari Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Bantuan Langsung Tunai El-Nino, subsidi BBM (bahan bakar minyak), subsidi listrik, potongan bunga KUR (Kredit Usaha Rakyat), hingga bantuan pangan.

“Dengan pertumbuhan ekonomi yang bagus, program-program APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang sangat menekankan pada aspek bantuan sosial, keadilan kepada masyarakat paling rentan kita lihat tingkat kemiskinan kita menurun,” ungkapnya, dalam konferensi pers APBN 2023, di Jakarta, Januari lalu.

Sementara itu, menurut Eko, tingkat kemiskinan yang tidak sesuai harapan ini ialah karena dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024, pemerintah menargetkan tingkat kemiskinan turun di level 6,5% hingga 7,5% dan 0% untuk tingkat kemiskinan ekstrem. Padahal, menurut BPS, tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia pada September 2023 masih sebesar 1,74%, turun dari Maret 2022 yang sebesar 2,04%.

“ini menggambarkan program-programnya inefisien atau tidak optimal di dalam mengentaskan kemiskinan, termasuk kemiskinan ekstrem yang angkanya masih cukup tinggi, stunting itu 22%. Jadi itu udah alarm banget, karena kalau stunting dampaknya sudah ke jangka panjang,” jelas Eko, sembari mewanti-wanti tingkat stunting atau tengkes yang juga masih banyak terjadi di kalangan anak-anak.

Di sisi lain, dari sisi pemerataan pertumbuhan ekonomi, Eko juga menilai Jokowi gagal untuk membagi kue pertumbuhan ke seluruh negeri. Pasalnya, kalau dilihat dari rasio gini atau tingkat ketimpangan sejak sebelum pagebluk, angkanya terus mengalami kenaikan, dari 0,380 per September 2019 menjadi 0,388 pada September 2023.

Kondisi ini patut disayangkan, karena meskipun mencoba memeratakan tingkat pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah melalui investasi, namun pada kenyataannya pemerintah belum bisa menuntaskan masalah ini. Dari segi investasi, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memang telah berhasil membawa masuk para pemodal ke daerah-daerah di luar Jawa, namun sayang upaya ini belum mampu menurunkan jumlah masyarakat prasejahtera di sana.

“Ketimpangan dalam konteks porsi investasi mulai bergeser, cuma ketimpangan dalam konteks rasio gini belum. Pendapatan belum bisa bergeser karena investasi yang di luar Jawa lebih banyak yang padat modal, imbuh Eko.

Sementara, Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky justru mengapresiasi Jokowi karena sudah mampu menurunkan tingkat gini rasio, yang pada masa pemerintahan SBY di periode kedua mencapai 0,404. Padahal, dari tingkat pertumbuhan ekonomi, SBY mampu membawa ekonomi Indonesia tumbuh lebih tinggi dari era Jokowi.

“Ini menunjukkan bahwa meskipun ekonomi tumbuh relatif lebih lambat, pembagian kue ekonomi dilakukan lebih merata. Dari sisi distribusi kesejahteraan, perbaikan koefisien gini menunjukkan kualitas pertumbuhan yang lebih baik di era Presiden Jokowi dibandingkan dengan era Presiden SBY,” katanya.

Berita Lainnya
×
tekid