sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Dinar-dirham, dulu mata uang kini barang koleksi

Penyimpanan dinar dirham sah, namun tidak bisa digunakan sebagai alat tukar.

Nurul Nur Azizah
Nurul Nur Azizah Selasa, 09 Feb 2021 17:18 WIB
Dinar-dirham, dulu mata uang kini barang koleksi

Pasar Muamalah Depok belakangan santer diperbincangkan. Kisahnya viral pada 28 Januari 2021. Pasar kaget ini banyak disorot karena transaksi yang tak biasa: menggunakan koin dinar dan dirham alih-alih rupiah. 

Ialah Zaim Saidi, sosok pelopor yang juga membentuk jaringan Pasar Muamalah sejak 2014. Tujuannya tak lain membentuk pasar bagi komunitas masyarakat yang ingin berdagang dengan aturan seperti halnya pada pasar di zaman nabi. 

Koin dinar emas dan dirham perak yang digunakan untuk transaksi di Pasar Muamalah Depok dipesan dari PT Aneka Tambang (Antam). Pada koin tersebut ada ukiran bertuliskan 'Amir Zaim Saidi'.

Dinar yang digunakan merupakan koin emas sebesar 4,25 gram emas 24 karat seharga Rp4 juta per keping. Sementara itu, satu koin dirham berbobot hampir 3 gram dibanderol dengan harga Rp73.500 per keping.

Selayaknya alat tukar, koin tersebut bisa digunakan untuk  membeli aneka kebutuhan mulai dari "sandal nabi", parfum, pakaian, makanan ringan, kue, hingga madu.

Namun, tindakan transaksi memakai dinar dan dirham yang digerakkan Saidi itu lantas menuai masalah. Pemerintah menegaskan rupiah merupakan satu-satunya alat pembayaran yang sah di Indonesia merujuk Pasal 23 B UUD 1945 jo. Dengan kata lain, penggunaan alat transaksi selain rupiah seperti dinar dan dirham, dilarang di Indonesia.

Saidi dijerat Pasal 9 Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana dan Pasal UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dan terancam hukuman maksimal 15 tahun. 

Potret dinar dan dirham 

Sponsored

Berkaca dari itu, penggunaan dinar dan dirham sebagai alat tukar untuk transaksi di Tanah Air memang tak mendapatkan tempat. Penerapannya pun, dianggap sebagai pemicu kekacauan di dalam sistem ekonomi dan keuangan nasional. 

“Sistem negara kita kan ada aturannya, bagaimana transaksi itu diatur, ada ketentuannya tentang masalah keuangan, masalah ekonomi,” ujar Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin dikutip Alinea.id dari laman wapresri.go.id pada Selasa (9/2).

Seorang warga negara Libya menukar dirham Uni Emirat Arab menjadi dinar Libya di kantor penukaran dinar dirham di Tripoli, Libya. Foto Reuters/Ismail Zitouny.

Pasar berbasis syariah di Indonesia, menurut Ma'ruf, tetap harus menggunakan mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya, perbankan syariah yang memiliki payung hukum berupa undang-undang dan fatwa Majelis Ulama Indonesia.

Pengamat Ekonomi Islam Universitas Indonesia (UI), Yusuf Wibisono menyebut, mencuatnya pengaplikasian dinar dan dirham khususnya di Pasar Muamalah Depok ini dimungkinkan atas keyakinan keagamaan. Tapi, dia menilai, terlalu berlebihan jika sampai dikaitkan dengan fanatisme tertentu. 

"Orang beli emas dan perak (koin dinar dirham) enggak ada yang melarang. Enggak ada yang istimewa. Kalau kemudian dikaitkan dengan radikalisme sampai khilafah itu berlebihan," ujar Yusuf kepada Alinea.id, Senin (8/2). 

Yusuf berpendapat minat suatu kalangan terhadap dinar dan dirham yang berasal dari emas dan perak itu, bisa jadi karena nilainya yang lebih tahan dari inflasi (kenaikan harga) dibandingkan uang kertas.

"Ini kemudian yang banyak menimbulkan ketidakpuasan. Mereka cenderung menyimpan kekayaan salah satu yang favorit emas dibandingkan kertas," lanjutnya. 

Bahkan, lanjut dia, penggunaan koin emas dan perak sebetulnya bukan juga mutlak dominasi Islam, yang kebetulan bernama dinar dan dirham. Pasalnya, ada pula bangsa Eropa yang mempunyai koin emas Gulden seperti di Belanda hingga Sterling di Inggris.

"Koin emas bukan monopoli negara Islam saja sebenarnya," kata dia. 

International Journal of Islamic Economics and Finance (IJIEF) dalam publikasi jurnalnya bertajuk Islamic Gold Dinar: The Historical Standard karangan Ahamed Kameel Mydin Meera, mencatat bahwa dinar dan dirham memang bukan berasal dari bangsa Arab atau umat Muslim.

Emas dinar berasal dari koin emas (bezant) bangsa Romawi dan perak dirham diadopsi dari koin perak bangsa Persia. Jika ditilik, kata dinar berasal dari bahasa Romawi, yakni denarius, sedangkan dirham berasal dari bahasa Persia, yakni drachma.

Bangsa Arab pun, baru secara resmi memiliki koin dinar dan dirham beberapa dekade setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW yaitu pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan sekitar tahun 75 Hijriah atau 679 sebelum masehi. 

Uang dinar yang dipergunakan kala itu, setara dengan 4,25 gram emas dengan 22 karat berdiameter 23 milimeter. Sedangkan uang dirham setara dengan 2,975 gram perak murni. Standar inilah yang  menjadi acuan bagi World Islamic Trading Organization (WITO).

Ekspansi Islam ke berbagai wilayah ke kekaisaran Persia seperti Irak, Iran, Bahrain hingga Transoxania serta kekaisaran Romawi seperti Syam, Mesir, dan Andalusia menjadikan koin mata uang dinar dirham makin meluas. 

Penggunaan mata uang emas dan perak di berbagai negara pun sempat menjadi populer. Hingga kemudian, pada sekitar abad ke-19 banyak negara di dunia yang meninggalkan uang emas dan perak. Misalnya saja, Inggris yang tidak lagi menggunakan mata uang emas sejak 1931. 

Berbagai alasan pun menjadi sebab penggunaan mata uang dan perak itu tak lagi diterapkan. Pertama, sistem perekonomian semakin berkiblat pada global yang notabene mengandalkan dolar. Selain itu, juga dikaitkan dengan ketersediaan emas dan perak yang terbatas. 

Study of Implementation Gold Dinar as Currency (2012) mengatakan, penggunaan emas sebagai mata uang tersebut tidak lagi memungkinkan karena berbagai kekurangan. Terutama dalam penyediaan infrastruktur fisik yakni pasokan emas yang tidak memadai. 

Hal ini bisa jadi logis, sebab bahan baku emas dan perak tidak mencukupi. Apalagi dengan jumlah populasi dan kebutuhan manusia di berbagai belahan dunia yang semakin meningkat, dari waktu ke waktu. 

Kendati demikian, wacana penerapan kembali mata uang emas bukannya surut sama sekali. Terakhir, penggunaan alat transaksi pembayaran berupa emas dinar bahkan diserukan kembali oleh Perdana Menteri (PM) Malaysia Mahathir Mohamad sekitar tahun 2019 lalu.

Koin perak islami E-Dirham dan koin emas E-Dinar ditampilkan di Dubai, Uni Emirat Arab. Foto Reuters/Anwar Mirza.

Melansir dari Reuters, kala itu Mahathir menyebut negara seperti Iran, Malaysia, Turki, dan Qatar mempertimbangkan untuk berdagang emas di antara mereka sendiri. Langkahnya dilakukan melalui sistem barter sebagai lindung nilai terhadap sanksi ekonomi di masa depan. 

Di akhir KTT Islam di Malaysia, Mahathir bahkan memuji Iran dan Qatar karena menahan embargo ekonomi. Menurutnya, penting bagi dunia Muslim untuk mandiri dalam menghadapi ancaman di masa depan.

Iran dan Qatar merupakan dua negara yang mendapat sanksi ekonomi oleh Amerika Serikat (AS). Sanksi kepada Iran dan Qatar tak hanya diterapkan oleh negara adidaya itu. Sanksi serupa juga diberlakukan sekutu AS di Timur Tengah yakni Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain dan Mesir.

“Dengan dunia menyaksikan negara-negara membuat keputusan sepihak untuk memberlakukan tindakan hukuman semacam itu, Malaysia dan negara-negara lain harus selalu ingat bahwa hal itu dapat dikenakan pada siapa pun di antara kita,” kata Mahathir, dikutip dari Reuters (20/12/2021). 

Dinar dan dirham ini dinilai unggul karena memiliki nilai intrinsik. Koin ini dinilai lebih stabil dibandingkan dengan uang. Hal tersebut menjadi salah satu alasan oleh PM Mahathir menyerukan kembali penggunaan koin dinar.

"Saya telah menyarankan untuk melihat kembali ide transaksi perdagangan menggunakan emas dinar dan sistem barter di antara kita (negara-negara Muslim)," kata Mahathir.

Kaitannya dengan ini, emas bisa pula dipandang sebagai salah satu cadangan devisa suatu negara. Namun emas yang digunakan sebagai cadangan devisa bukan emas perhiasan yang banyak beredar di pasar.

Peluang investasi

Yusuf yang juga merupakan Direktur Utama Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) mengatakan, peristiwa Pasar Muamalah Depok ini semestinya bisa menjadi momentum pemerintah untuk mengedukasi masyarakat. 

Alih-alih fokus pada persepsi-persepsi yang merugikan, dia menekankan, koin emas dan perak ini justru bisa dimanfaatkan sebagai upaya membumikan investasi. 

Ia berpendapat, masih banyak masyarakat umum yang menyimpan uang dalam bentuk konvensional seperti ditabung secara tunai yang bisa dengan mudah tergerus inflasi. Karenanya, mengalihkan simpanan tunai ke investasi koin emas atau perak nilainya akan relatif stabil dan lebih menguntungkan.

"Sepanjang emas dan perak tidak ada embelnya macam-macam, ini bisa jadi investasi emas koin. Kan mencetaknya juga di Antam jadi secara hukum enggak melanggar," pungkas Yusuf. 

Perencana Keuangan Mitra Rencana Edukasi Mike Rini Sutikno menambahkan soal harga emas dan perak ini sepenuhnya disetir oleh permintaan pasar. "Kita perlu pahami dulu, yang buat harga emas yang bisa berubah-ubah itu apa," katanya kepada Alinea.id, Selasa (9/2). 

Dus, menurutnya, masyarakat bisa mengoptimalkan investasinya kepada koin seperti emas dan perak. "Beli pas lagi semurah-murahnya dan jual semahal-malahnya. Karakternya perak juga kurang lebih sama," tambahnya.

Dia menyarankan emas sebagai investasi harus memiliki bentuk paling sederhana. Dengan begitu, tidak ada tambahan untuk ongkos sebagaimana dalam membentuk emas perhiasan. "Kalau bentuk dinar, itu seperti orang memberi emas perhiasan, ada seleranya," katanya.

Menurutnya, koin dinar yang beredar selama ini dibeli untuk koleksi. Pasalnya, koin ini memiliki bentuk yang artistik. Karena itu pula, untuk menjual emas dinar pasarnya sangat terbatas. "Jadi, segmented dan harus pintar cari pasar kalau mau simpan ini," sarannya.

Sebagai informasi, harga dinar dan dirham sebagai produk logam mulia oleh PT ANTAM yang di update pada 8 Februari 2021, berada di kisaran Rp3.527.520 untuk Au 91,7% Dinar 1 berbobot 4,25 gram. Sedangkan, Dinar 2 dengan bobot 8,5 gram dibanderol seharga Rp6.985.919. Lalu dirham berbobot 2,975 gram dihargai dengan Rp95.270.

Berita Lainnya
×
tekid