sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Duit tax amnesty siap-siap lari, RI di ambang resesi

Bayang-bayang resesi menghantui Indonesia lantaran sekitar 40% dari Rp146,7 triliun dana repatriasi diprediksi bakal hengkang dari Tanah Air

Syah Deva Ammurabi Fajar Yusuf Rasdianto
Syah Deva Ammurabi | Fajar Yusuf Rasdianto Senin, 03 Feb 2020 06:06 WIB
Duit tax amnesty siap-siap lari, RI di ambang resesi

Pajak merupakan sumber penerimaan utama negara seiring menurunnya kontribusi minyak dan gas (migas) yang sempat berjaya di era Orde Baru. Seolah menjadi tradisi, penerimaan pajak acapkali tidak mencapai target yang ditetapkan dalam APBN. 

Bahkan, penerimaan pajak terakhir mencapai target pada 2008 silam. Tak ayal, pemerintah terus menggenjot penerimaan negara melalui pajak, salah satunya melalui pengampunan pajak (tax amnesty) yang dilaksanakan pada 1 Juli 2016–31 Maret 2017 silam.

Melalui tax amnesty, diharapkan harta-harta yang selama ini tidak dikenakan pajak dapat terungkap, sehingga potensi pajak yang diraup pemerintah semakin besar. Program ini adalah wujud kepatuhan bagi wajib pajak yang turut serta.

Data dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan, jumlah harta yang dideklarasikan dalam program tax amnesty mencapai Rp4.865,8 triliun, di atas target pemerintah sebesar mencapai Rp4.000 triliun. 

Dari total tersebut, sebanyak Rp3.687,0 triliun berasal dari dalam negeri dan Rp1.178,8 triliun dari luar negeri. Namun, jumlah harta luar negeri yang dikembalikan ke Indonesia (repatriasi) hanya mencapai Rp146,7 triliun. 

Capaian ini jauh lebih rendah dari target Kemenkeu sebanyak Rp1.000 triliun. Harta repatriasi berada dalam bentuk kas dan setara kas sebesar Rp86,1 triliun, piutang dan persediaan sebesar Rp24,9 triliun, investasi dan surat berharga sebesar Rp 21 triliun, dan bentuk lainnya sebesar Rp14,7 triliun.

Selain itu, pemerintah juga mendapatkan uang tebusan sejumlah Rp114 triliun, pembayaran tunggakan sejumlah Rp18,6 triliun, dan pembayaran bukti permulaan Rp1,75 triliun.

Pelaksanaan tax amnesty dibagi menjadi tiga periode, yaitu Juli-September 2016, Oktober-Desember 2016, dan Januari-Maret 2017.

Sponsored

Sementara itu, holding period dana repatriasi dari program tax amnesty akan berakhir seutuhnya tahun ini. Bahkan, secara bertahap masa tahan dana repatriasi periode pertama dan kedua sudah berakhir sejak September dan Desember 2019 lalu. Sedangkan periode ketiga akan menyusul pada Maret 2020.

Dengan begitu artinya, para Wajib Pajak (WP) peserta tax amnesty bakal memiliki haknya kembali untuk memboyong uangnya ke luar negeri. Tidak ada lagi peraturan yang mengikat mereka untuk tetap bertahan di Tanah Air.

Skema holding period telah tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.141/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.16/2016 tentang Pengampunan Pajak.

Dalam beleid itu memang disebutkan bahwa, para peserta tax amnesty hanya diwajibkan menahan dana repatriasi selama tiga tahun di dalam negeri, terhitung sejak mereka menempatkan dananya di cabang bank persepsi yang ditunjuk pemerintah untuk program pemutihan pajak pada 2016-2017 lalu.

Ancaman capital outflow besar-besaran pun mengintai Indonesia. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira memprediksi, tak kurang 40% dari total dana repatriasi yang masuk ke Indonesia kemungkinan akan kembali lagi ke luar negeri.

Dalam kata lain, jika melihat total seluruh dana repatariasi yang sekitar Rp146,7 trilun, maka kemungkinan Indonesia bakal mengalami capital outflow setidak-tidaknya Rp58,68 triliun tahun ini.

“Kalau dengan kondisi kayak sekarang sih, kemungkinan besar ancaman dana yang keluar itu cukup besar. Ya sekitar 40%-lah,” terang Bhima saat dihubungi Alinea.id pekan lalu.

Terlebih, tambahnya, saat ini kondisi ekonomi dan politik Indonesia juga masih terbilang lesu. Bahkan, tren pasar keuangan Indonesia sepanjang 2019 juga tidak begitu menggembirakan indikator Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang hanya meningkat tipis dari tahun sebelumnya, yaitu 1,7%.

Hal ini diperparah dengan kinerja obligasi pemerintah yang juga tidak cukup meyakinkan. Berdasarkan data Trading Economics per 27 Januari 2020, nilai imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) seri FR0078 yang menjadi acuan tenor 10 tahun kembali masih di angka 6,67% atau lebih rendah sedikit dibandingkan negara-negara emerging market lainnya seperti India (6,55%), Filipina (4,61%), dan Malaysia (4,17%).

Untuk diketahui nilai yield dalam obligasi pemerintah selalu berbanding terbalik dengan harga. Artinya, semakin rendah nilai yield-nya, maka semakin tinggi harganya karena mengindikasikan banyak permintaan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat mengumumkan hasil tax amnesty. / Facebook Sri Mulyani

Bayang-bayang resesi

Sejumlah laporan stakeholder terkait yang dirilis tahun lalu pun seakan memperkuat kekhawatiran akan adanya bayang-bayang resesi.

Pada September 2019, Bank Dunia dalam laporan berjudul Global Economic Risks and Implications for Indonesia sempat menyampaikan bahwa potensi capital outflow Indonesia semakin tinggi di tengah memanasnya perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS).

Terbukti Bank Indonesia (BI) sempat melaporkan adanya capital outflow yang cukup besar pada pertengahan November 2019 atau kurang dari dua bulan sejak holding period dana repatriasi tahap pertama berakhir. Tercatat, hanya dalam rentang sepekan hingga 21 November 2019, Indonesia mengalami capital outflow sebesar Rp1,9 triliun.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara meyakini, dana repatriasi yang tersimpan tak akan kabur dari dalam negeri. “Dari laporan yang kita dapat dari manajer investasi yang mengurus dana-dana repatriasi yang terkena (holding period) tiga tahun, menurut pantauan tidak ada eksodus dana yang besar dari dalam negeri,” ujarnya kepada wartawan di kantornya. 

Suahasil menambahkan, tidak ada peningkatan arus keluar modal (capital outflow) dari dalam negeri secara signifikan selama triwulan III-2019, atau berakhirnya holding period tahap pertama. Pada tax amnesty jilid pertama yang holding period-nya berakhir pada September 2019, jumlah dana yang direpatriasi sebanyak Rp130 triliun atau 88,6% dari total dana repatriasi.

Apakah benar tidak ada peningkatan outflow yang signifikan seperti yang dikatakan Suahasil? Klaim itu bisa ditelisik dalam neraca pembayaran Indonesia (NPI) yang dikeluarkan oleh BI. 

Pada triwulan III-2019, NPI mengalami defisit US$46 juta. Defisit tersebut lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar US$1,98 miliar.

Jika ditilik lebih detil di dalam data NPI tersebut, surplus neraca transaksi finansial Indonesia naik dari US$6,47 miliar menjadi US$7,63 miliar. Hal ini menunjukkan adanya arus modal masuk (capital inflow) yang justru semakin kuat pada triwulan III-2019.

Apabila neraca transaksi finansial ditelaah lebih lanjut, neraca investasi langsung masih surplus US$4,80 miliar, meskipun turun dari US$5,42 miliar pada triwulan sebelumnya. Penurunan ini disebabkan oleh defisit neraca investasi Indonesia ke luar negeri yang meningkat dari US$378 juta pada triwulan II-2019 menjadi US$894 juta pada triwulan III-2019.

Defisit yang semakin lebar menunjukkan arus modal keluar oleh investor domestik semakin deras, baik dalam bentuk modal ekuitas maupun instrumen utang. Di sisi lain, tren capital inflow dari asing masih terus berlangsung.  

Hal ini terlihat dari surplus neraca investasi masuk ke dalam negeri sebesar US$5,69 miliar, turun tipis dari US$5,80 miliar pada triwulan sebelumnya.

Sebaliknya, neraca investasi portofolio menunjukan tren capital inflow. Gejala ini ditunjukkan oleh peningkatan surplus dari US$4,56 miliar pada triwulan II menjadi US$4,81 miliar pada triwulan III. 

Dalam instrumen surat utang, terjadi kenaikan surplus dalam bentuk rupiah dari US$1,53 miliar pada triwulan II menjadi US$2,90 miliar pada triwulan III. Namun, surat utang dalam bentuk valuta asing mengalami defisit sebesar US$322 juta, berubah arah dari surplus sebesar US$2,55 miliar pada periode sebelumnya.

Dari data-data tersebut, nampaknya klaim Suahasil ada benarnya, mengingat holding period tax amnesty periode pertama baru selesai tanggal 30 September. Namun, tren capital outflow investor domestik pada investasi langsung perlu diwaspadai, mengingat dana repatriasi mayoritas dalam bentuk kas dan setara kas, bukan surat berharga (portofolio) yang tengah menjadi primadona investor.

Direktur Riset Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam meyakini bahwa dana repatriasi takkan meninggalkan Indonesia. Ia beralasan Indonesia masih menarik bagi investor karena menawarkan return yang lebih tinggi. 

Hal ini terlihat dari neraca investasi portofolio sebagaimana yang ditunjukkan sebelumnya. Dia menambahkan, faktor-faktor yang membuat investor enggan masuk sudah terpenuhi dalam tax amnesty.“Kalau sekarang mereka masuk tax amnesty, ngapain keluar lagi?” ujarnya secara terpisah.

Selain itu, Piter berpendapat para peserta tax amnesty sudah tahu persis mengenai tingkat risiko dan potensi investasi di Indonesia.  

Akan tetapi, apakah akan ada tren capital outflow dari investor domestik yang lebih besar pada triwulan IV-2019 dan triwulan I-2020 ketika holding period sudah selesai? 

Alinea.id telah berupaya menghubungi Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman untuk menanyakan apakah capital outflow yang besar itu berasal dari dana repatriasi, ia enggan menjawab. Hingga artikel ini dinaikan, Luky hanya membalas singkat pesan teks kami.

“Kita tidak melihat adanya pergerakan berarti dari dana repatriasi,” kata dia, Kamis (23/1).

Namun terlepas dari manapun dana keluar itu berasal, capital outflow yang besar selalu menimbulkan kekhawatiran di benak investor. Pasalnya, kata Bhima, capital outflow dengan nilai besar bisa menjadi indikasi adanya situasi yang kurang baik dalam suatu negara.

Dampak kekhawatiran itu secara otomatis akan mengungkung pertumbuhan ekonomi Indonesia ke arah negatif. Selanjutnya, jika tren penurunan terus terjadi selama dua periode berturut-turut, maka resesi nicaya akan terjadi.

Objek pajak disegel lantaran menunggak pajak. / Antara Foto

Omnibus law

Berbeda dengan Bhima, Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan Badang Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) Ajib Hamdani, justru meminta agar pemerintah tidak perlu begitu khawatir dana repatriasi sebanyak Rp140 triliun lebih akan cabut lagi ke luar negeri.

Pasalnya, kata dia, jika dibandingkan negara-negara emerging market lainnya, kondisi politik dan ekonomi di Indonesia masih terbilang cukup aman dan stabil. 

“Kecenderungannya kalau saya melihat enggak ada ke arah sana. Orang kecenderungannya mengalirkan uang ke luar ‘kan kalau mereka merasa keamanan dan kenyamanan.” ujar pengusaha yang sekaligus mantan Ketua Tax Center Hipmi saat berbincang belum lama ini.

Di samping itu, terlepas dari adanya pro-kontra di kalangan akar rumput, Ajib juga mengatakan bahwa wacana pengesahan omnibus law yang sedang digodok DPR kelak akan menjadi salah satu faktor ‘penjaga’ dana repatriasi agar tetap bertahan di dalam negeri. Menurutnya, peraturan yang ada dalam ‘undang-undang pengganti’ tersebut akan menjadi daya ungkit investasi di Tanah Air.

“Apalagi bahkan juga dijaga oleh omnibus law. Di omnibus law bahkan uang yang berputar di sini lebih banyak fasilitas,” katanya.

Sekarang, kata dia, masalahnya hanya tinggal bagaimana pemerintah berupaya menjaga dana repatriasi itu tidak lari dengan memaksimalkan kerja sama internasional melalui program Automatic Exchange if Information (AEoI) untuk memantau harta warga negaranya yang berada di luar negeri.

Sistem ini bisa menjadi alat bagi otoritas fiskal untuk bisa mematri dana repatriasi agar tetap berada di Indonesia. Bahkan, program tax amnesty jilid kedua juga bisa menjadi opsi bagi pemerintah.

Infografik tax amnesty. Alinea.id/Dwi Setiawan

Berita Lainnya
×
tekid