Pemerintah berencana membentuk 70.000 Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih untuk mengelola rantai pasok sembako, produk pertanian, dan obat-obatan di desa. Untuk pembentukan 1 unit Kopdes Merah Putih, anggaran Rp5 miliar per desa bakal disiapkan. Rencananya, unit pertama koperasi itu akan diresmikan pada 12 Juli 2025 atau bertepatan dengan Hari Koperasi Nasional.
Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi mengatakan Kopdes Merah Putih dapat mengelola gerai sembako, obat murah, apotek desa, unit usaha simpan pinjam koperasi, klinik desa, fasilitas ruangan berpendingin, serta distribusi logistik. Duit Rp5 miliar dibutuhkan untuk membangun infrastruktur Kopdes Merah Putih.
"Ada bangun gudangnya, ada bangun cold storage-nya, ada bangun grei-nya, terus ada truk. Paling enggak ada dua truk. Truk dan bengkel. Jadi setiap desa punya dua truk," kata Budi kepada wartawan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (7/3) lalu.
Menurut Budi, koperasi tersebut akan menjadi agregator bagi upaya peningkatan harga produk pertanian dari desa sekaligus stabilisator inflasi. Keberdaan Kopdes Merah Putih diharapkan bisa menghindarkan warga desa dari jerat pinjaman online dan renternir.
Pakar kebijakan publik Achmad Nur Hidayat mempertanyakan urgensi pembentukan Koperasi Desa Merah Putih. Selama satu dekade terakhir, sudah ada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) didirikan di desa-desa yang memiliki peran menyerupai koperasi.
"Dengan peran yang mirip, kehadiran koperasi desa justru bisa menciptakan kompetisi yang tidak sehat di tingkat desa, memecah sumber daya yang seharusnya bisa dikonsolidasikan, serta menimbulkan ketidakefisienan dalam pengelolaan anggaran negara," kata Achmad kepada Alinea.id, Sabtu (9/3).
Ketimbang membentuk Koperasi Desa Merah Putih, menurut Achmad, sebaiknya pemerintah memperkuat BUMDes. Membangun ribuan koperasi baru akan menambah beban fiskal dan bakal lebih sulit dikelola. Di sisi lain, BUMDes memiliki pontensi lebih bisa dikembangkan karena telah memiliki akar dalam komunitas lokal.
"Dengan anggaran hingga Rp5 miliar per desa akan menelan biaya yang sangat besar. Jika dihitung secara kasar, total anggaran yang diperlukan bisa mencapai Rp350 triliun, angka yang luar biasa besar untuk sebuah program yang belum jelas efektivitasnya," kata Achmad.
Senada, peneliti di Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andy Ahmad Zaelany menilai peran Koperasi Desa Merah Putih bisa tumpang tindih dengan BUMDes. Ia khawatir eksistensi koperasi semacam itu justru membunuh bisnis toko kelontong atau UMKM yang menjual komoditi pertanian.
"Sentralisasi seperti itu hanya akan mematikan inisiatif lokal... Selain itu, penggunaan biaya Rp5 miliar per unit kontra produktif dengan semangat efisiensi yang sedang dilakukan oleh pemerintah Prabowo," kata Andy kepada Alinea.id, Sabtu (9/3).
Andy juga sepakat sebaiknya pemerintah mengembangkan lembaga yang sudah ada seperti BUMDes. Pengembangan BUMDes mesti fokus untuk memperbaiki kerja personel, mengadopsi inisiatif lokal, serta membangun mekanisme kerja yang memungkinkan koperasi mandiri dan menjalankan ekspansi bisnis.
Ia berkaca pada gagalnya koperasi unit desa (KUD) pada era Orde Baru. KUD, kata Andy, gagal berkembang karena sejumlah faktor, semisal ketidakjujuran pengurus, profesionalitas yang lemah dari pengurus, sistem pengawasan yang lemah dari koperasi, dan pengoperasian secara asal-asalan.
"KUD dikerjakan sebagai sambilan saja. Evaluasi pada BUMDes tidak jauh menyerupai KUD, yakni lemahnya SDM, sulit mencari pengurus yang kompeten. Imbasnya, BUMDes terlihat lemah dalam perencanaan, terlebih lagi dalam masalah pemasaran," kata Andy.