sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ekonom Core: Masalah utang tidak hanya dialami Indonesia

Untungnya Indonesia masih didominasi oleh nilai mata uang rupiah dengan bentuk utang melalui penerbitan surat utang oleh pemerintah.

Davis Efraim Timotius
Davis Efraim Timotius Selasa, 31 Agst 2021 11:38 WIB
Ekonom Core: Masalah utang tidak hanya dialami Indonesia

Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy mengatakan, masalah peningkatan utang yang terjadi di masa sekarang akan berdampak pada negara-negara berkembang atau low income countries di masa mendatang.

“Masalah utang ini tidak dialami oleh Indonesia saja, banyak juga negara yang mengalami peningkatan utang yang cukup signifikan akibat terjadinya pandemi. Masalah utang ini juga masalah yang sering dibicarakan oleh berbagai ekonom dan juga lembaga internasional. Tidak hanya peningkatan utang yang terjadi di masa sekarang tetapi juga dampak yang bisa diberikan kepada negara-negara berkembang atau low income countries di masa mendatang,” ujar Yusuf Rendy dalam acara Market Review 31 Agustus IDX Channel, Selasa (31/8).

Menurutnya masalah utang ini dalam konteks Indonesia menjadi tidak terhindarkan, apalagi sebelum pandemi ada tren peningkatan utang yang dilakukan oleh pemerintah karena berbagai alasan. Yang menjadi hal penting adalah bagaimana sebenarnya proporsi utang. Apakah lebih banyak didominasi mata uang asing atau mata uang rupiah dan juga tenornya apakah jangka pendek, menengah, panjang.

“Karena ini akan berkaitan tidak dengan nominal utang saja, tetapi misalnya berbicara keberlanjutan fiskal kita dalam jangka menengah sampai panjang nanti,” tutur Yusuf

Yusuf juga menjelaskan, bahwa jika melihat dari nilai mata uang, untungnya Indonesia masih didominasi oleh nilai mata uang rupiah dengan bentuk utang melalui penerbitan surat utang oleh pemerintah. Ini merupakan pilihan yang harus diambil pemerintah, mengingat surat utang ini lebih fleksibel bentuknya dibandingkan dengan bentuk utang dari pinjaman lembaga internasional. Hal ini juga memperkecil risiko dari volatilitas yang mungkin muncul ketika melakukan utang dalam valuta asing.

“Rasio utang 60% itu masih menjadi perdebatan antara para ekonom dan analis. Apakah kemudian angka tersebut masih relevan, khususnya bagi negara-negara berkembang atau low income countries, misalnya Indonesia. Karena kita tahu bahwa rasio utang 60% tersebut diadopsi dari negara-negara Eropa yang tentu struktur ekonominya berbeda dengan Indonesia,” ucap Yusuf.

Beberapa ekonom juga menyebutkan bahwa negara-negara berkembang atau low income countries, harusnya memiliki rasio utang yang lebih rendah batas amannya, tidak sampai sebesar 60%, tetapi bisa 40% sampai 45%, walaupun hal ini masih menjadi perdebatan.

Ia juga menjelaskan bahwa angka rasio utang yang saat ini di kisaran 40%, harus mendorong pemerintah lebih berhati-hati, serta menggunakan utang untuk hal-hal yang sifatnya produktif dan juga menjaga proporsi utang untuk keberlanjutan khususnya fiskal dalam jangka menengah dan panjang.

Sponsored
Berita Lainnya
×
tekid