Melalui akun Instagram, pada Jumat (23/5) pengelola restoran kuliner legendaris di Solo, Ayam Goreng Widuran, mengakui kremesan ayam goreng yang menjadi pelengkap dimasak menggunakan minyak babi. Pengumuman ini sontak menjadi sorotan karena pengelola baru mengumumkan hal itu belakangan. Padahal, Ayam Goreng Widuran sudah beroperasi sejak 1973.
Pada Senin (26/5) Pemkot Surakarta menutup sementara operasional Ayam Goreng Widuran. Disebut Wali Kota Surakarta Respati Ardi, penutupan itu dilakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen dan mengantisipasi segala hal yang tidak diinginkan.
Penutupan sementara itu juga diambil untuk melakukan asesmen terkait halal dan non-halal. Asesmen dilakukan organisasi perangkat daerah (OPD) terkait, mulai dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Surakarta hingga Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Surakarta.
Menurut Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) Tulus Abadi, permintaan maaf yang disampaikan pengelola restoran kepada publik tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan yang muncul. Tulus mengatakan, secara psikososial permintaan maaf memang penting, tetapi dalam kasus ini tidak dapat menjadi penyelesaian utama.
“Yang dilakukan oleh manajemen Ayam Goreng Widuran sudah berlangsung selama puluhan tahun dan bersifat sengaja. Ini jelas merugikan konsumen, baik dari sisi materiil maupun nonmateriil,” kata Tulus kepada Alinea.id, Kamis (29/5).
Dia menyebut, pelanggaran tersebut tidak hanya menyangkut konsumen Muslim, melainkan semua pihak yang merasa telah tertipu karena mengonsumsi produk yang tidak sesuai dengan standar mutu dan kehalalan pangan.
Lebih jauh, kasus ini dinilai telah melanggar berbagai ketentuan hukum, antara lain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Oleh karenanya, Tulus menegaskan, kasus ini masuk dalam kategori penipuan yang bisa diproses secara perdata maupun pidana.
“Secara diametral, apa yang dilakukan oleh pihak manajemen Ayam Goreng Widuran merupakan pelanggaran berat terhadap hukum dan etika bisnis. Sudah saatnya ada tindakan tegas dari aparat penegak hukum,” tutur Tulus.
Di sisi lain, Tulus menilai, kasus ini sebagai peringatan keras bagi pelaku usaha di bidang kuliner untuk tidak sembarangan dalam klaim terhadap produknya. Masyarakat juga diminta lebih kritis terhadap keaslian label halal dan mendesak adanya pengawasan ketat dari lembaga terkait.
Sementara itu, Kepala Subbagian Tata Usaha Pusat Data dan Informasi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Sugeng Pamuji mengatakan, pihaknya telah menurunkan tim pengawas jaminan produk halal untuk melakukan investigasi langsung di lapangan. Selain itu juga dilakukan koordinasi dengan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) karena kasus ini menyangkut hak-hak konsumen yang dilindungi oleh undang-undang.
“Pemerintah melalui regulasi berkepentingan memastikan bahwa produk halal memiliki kejelasan dan kepastian melalui sertifikasi halal. Demukian pula produk non-halal juga wajib dinyatakan secara terbuka melalui pencantuman keterangan tidak halal,” kata Sugeng, Jumat (30/5).
Mengenai produk non-halal, Sugeng mengacu pada Pasal 110 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, yang mewajibkan pelaku usaha yang menggunakan bahan haram untuk mencantumkan label tidak halal pada produknya. Label tersebut juga harus mudah dibaca, tidak mudah dihapus, dilepas, atau dirusak.
Lebih lanjut, dalam pasal 185 peraturan yang sama diatur soal pelaku usaha yang lalai mencantumkan keterangan tidak halal dapat dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, serta wajib menarik produk dari peredaran hingga label tidak halal dicantumkan secara benar.
Sugeng menegaskan, kasus Ayam Goreng Widuran merupakan peringatan keras bagi seluruh pelaku usaha makanan untuk taat hukum dan menjaga kejujuran dalam menjalankan usaha. Terutama terkait kehalalan produk yang sensitif bagi konsumen Muslim.
“Kejadian ini harus menjadi pelajaran penting agar transparansi dalam bisnis makanan ditegakkan. Ini bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal tanggung jawab moral dan perlindungan terhadap hak konsumen,” tutur Sugeng.