Ekspektasi masyarakat terhadap kondisi ekonomi Indonesia ke depan menurun, apa artinya?
Indeks Ekspektasi Kondisi Ekonomi Desember 2022 lebih rendah daripada bulan sebelumnya.

Ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi hingga 6 bulan ke depan dilaporkan menurun. Ini terlihat dari Indeks Ekspektasi Kondisi Ekonomi (IEK) Desember 2022 yang lebih rendah daripada November 2022, dari 127,9 menjadi 127,3.
Faktor utama penurunan ini, menurut Bank Indonesia (BI), disebabkan merosotnya ekspektasi terhadap ketersediaan lapangan kerja dan kegiatan usaha, masing-masing turun 2,5 poin dan 0,6 poin. Pada November, ekspektasi ketersediaan lapangan kerja ada di level 126,4 dan kegiatan usaha level 125,2, lalu masing-masing turun menjadi 123,9 dan 124,6 pada pada Desember.
Pada ekspektasi ketersediaan lapangan kerja, penurunan terjadi di seluruh kategori pendidikan kecuali sarjana. Dari aspek usia, penurunan terdalam ekspektasi ketersediaan lapangan kerja terjadi pada usia 20-30 tahun.
Lalu, penurunan terdalam indeks ekspektasi kegiatan usaha terjadi pada responden dengan pengeluaran Rp2,1 juta-Rp3 juta per bulan. Adapun kelompok usia yang mengalami penurunan terdalam rentang 41-50 tahun.
Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Muhammad Faisal, menilai, masih banyak sektor yang hingga kini mengalami tekanan pascapandemi Covid-19. Pertumbuhan ekonomi makro dari sisi produk domestik bruto (PDB) diprediksi masih di level 4,5%-5% pada 2023.
"Memang ada tekanan yang berpotensi kita rasakan dan meningkat ke depannya, yang itu tidak tergambarkan hanya dengan melihat pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan PDB," kata Faisal saat dihubungi Alinea.id, Selasa (10/1).
Jika dilihat secara mikro, menurut Faisal, ada beberapa sektor yang belum pulih sehingga berdampak kepada konsumen. Ini diperkuat dengan tekanan inflasi yang tinggi pada 2022 dan masih akan berlanjut pada 2023.
"Dampak dari itu semua tentu akan memengaruhi daya beli masyarakat, penciptaan lapangan kerja yang terbatas, dan akhirnya dirasakan oleh konsumen," ujarnya.
Katanya, sektor yang bergantung terhadap pasar ekspor, seperti industri tekstil, pakaian jadi, dan sepatu, masih belum pulih secara total sehingga muncul tren pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Penurunan permintaan membuat produksi ikut menyusut dan memengaruhi penciptaan lapangan pekerjaan.
Faisal menambahkan, sektor ritel (retail) pada Desember 2022 juga hanya mengalami kenaikan tipis, 0,06% (yoy). Menurutnya, kenaikan yang terjadi mestinya lebih besar.
"Ini sebagai sinyal juga, seharusnya pada Desember ada harapan dorongan demand lebih besar secara agregat. Artinya, efek Natal dan tahun baru terhadap sektor retail tidak terlalu besar pada Desember kemarin," tuturnya.

Derita jelata, tercekik harga pangan yang naik
Senin, 21 Feb 2022 17:25 WIB
Menutup lubang “tikus-tikus” korupsi infrastruktur kepala daerah
Minggu, 13 Feb 2022 15:06 WIB
Segudang persoalan di balik "ugal-ugalan" RUU IKN
Minggu, 23 Jan 2022 17:07 WIB
Musabab di balik meningkatnya angka kejahatan
Rabu, 22 Mar 2023 06:10 WIB
Cerita mereka yang direpresi di BRIN: Dari teguran hingga pemotongan tukin
Selasa, 21 Mar 2023 12:10 WIB