sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

FLAIMM tolak penerapan bea masuk impor bahan baku

Pemberlakuannya berpotensi menyebabkan guncangan besar terhadap industri makanan minuman. 

Eka Setiyaningsih
Eka Setiyaningsih Kamis, 19 Apr 2018 14:28 WIB
FLAIMM tolak penerapan bea masuk  impor bahan baku

Pelaku industri makanan dan minuman yang tergabung pada Forum Lintas Asosiasi lndustri Makanan dan Minuman (FLAIMM) menolak penerapan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap impor bahan baku kemasan pIastik.  

FLAIMM terdiri dari Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI),  Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM), Asosiasi Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan (ASPADIN) dan Asosiasi Roti Biskuit dan Mie (Arobim).

Para pelaku usaha tersebut menilai jika pemerintah jadi menerapkan bea masuk terhadap impor bahan baku kemasan plastik, berpotensi menyebabkan guncangan besar terhadap industri makanan minuman. 

“Usulan Komite Anti Dumping Indonesia mengenakan pajak antara 5% - 26% terhadap bahan baku plastik kemasan selama Iima tahun, akan berdampak secara langsung terhadap industri, yang pada akhirnya akan menempuh langkah efisiensi," tutur juru bicara Forum Lintas Asosiasi lndustri Makanan dan Minuman (FLAIMM) Rachmat Hidayat, Kamis (19/4) di Jakarta.

Pengenaan bea masuk tersebut diajukan Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI) kepada Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) terhadap Polyethylene therephthalate (PET). PET diduga dumping dari China, Korea dan Malaysia. Hasil investigasi KADI menyatakan ketiga negara tersebut terbukti melakukan dumping. Sehingga diperlukan kebijakan BMAD sebanyak 5%-26%. 

Jika BMAD diberlakukan, diyakini memberatkan industri makanan minuman yang memberikan sumbangan bagi pertumbuhan ekonomi. "Pada 2016, industri makanan dan minuman mencatatkan ekspor setara US$ 26,3 miliar atau surplus US$ 16,8 miliar,” kata Rachmat.

Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah, menambahkan, CORE Indonesia mencatat hingga 2017, industri makanan dan minuman merupakan penyumbang terbesar Produk Domestik Bruto (PDB) dari sektor non migas, yakni sebesar 34,34%. Sedangkan serapan tenaga kerja lebih dari 4 juta orang. Itu belum termasuk multiplier effect industri makanan minuman yang rata-rata mencapai empat kali lipat sejak hulu hingga hilir.

Di tengah perlambatan ekonomi pun, neraca perdagangan produk makanan dan minuman sanggup mencatatkan tren positif. Pada 2016, industri makanan dan minuman sanggup mencatatkan nilai ekspor setara US$26,3 miliar atau surplus US$16,8 miliar.

Sponsored

Melihat capaian kinerja yang secara konsisten, tidak mengherankan jika industri makanan dan minuman ditempatkan pemerintah dalam urutan teratas industri prioritas nasional dalam Rancangan Pengembangan Industri Nasional 2015-2035.

Setidaknya ada dua hal yang mungkin terjadi, jika pemerintah menjalankan usulan KADI mengenakan BMAD terhadap impor PET.

Pertama, menyebabkan biaya industri makanan dan minuman meningkat. Memaksa kalangan industri meningkatkan harga jual. Pada akhirnya akan menurunkan permintaan pasar yang berakibat pada turunnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh). “Penurunan permintaan akibat pengenaan BMAD sekitar sebesar 11-12% dengan penerimaan PPN berpotensi menurun sekitar Rp 230 miliar," kata Piter.

Kedua, dengan asumsi bahan baku produksi dalam negeri memiliki kualitas yang sama dan Iebih murah. Industri makanan dan minuman akan memilih membeli produksi dalam negeri yang akibatnya menurunkan impor dan penerimaan bea masuk akan menurun drastis.

Oleh karena itulah FLAIMM berharap pemerintah tak jadi menetapkan BMAD terhadap PET pekan depan. "Sebab, kebijakan perdagangan ini kurang mendukung industri makanan dan minuman Indonesia," ujar Rachmat.

Rekomendasi penerapan kebijakan BMAD PET terhadap impor sebenarnya pernah diajukan KADI pada 2013. Namun, rekomendasi tersebut ditolak Kemendag dengan berbagai pertimbangan yang mengarah pada dampak terhadap industri makanan dan minuman lndonesia.

Berita Lainnya
×
tekid