close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
es krim. Foto: Pixabay
icon caption
es krim. Foto: Pixabay
Bisnis
Minggu, 08 Juni 2025 19:50

Harga es krim dunia melonjak, ternyata penyebabnya dari Indonesia dan Filipina

Indonesia dan Filipina menyumbang sekitar 75 persen pasokan minyak kelapa global.
swipe

Siapa sangka, musim panas di negara-negara barat tahun ini terasa lebih mahal hanya karena satu bahan yang akrab di dapur-dapur Indonesia: minyak kelapa. Kenaikan tajam harga minyak kelapa di pasar global telah membuat es krim, camilan favorit musim panas, ikut naik harga. Ironisnya, penyebab utamanya justru berasal dari kawasan tropis Asia Tenggara, termasuk Indonesia sendiri.

Menurut laporan terbaru yang dirilis sejumlah media internasional dan dikaji oleh konsultan bisnis Inggris RIFT, harga grosir minyak kelapa dari Filipina yang dikirim ke Rotterdam (Belanda)—yang menjadi patokan industri dunia—telah melonjak dua kali lipat menjadi 2.800 dolar AS per ton pada akhir Mei 2025 dibandingkan tahun sebelumnya.

Lonjakan ini telah berdampak langsung ke harga es krim, bahkan di supermarket Inggris harga cone es krim dan es loli naik hingga 7,6 persen dalam sebulan terakhir.

Apa Hubungannya Kelapa dan Es Krim?
Minyak kelapa merupakan bahan penting dalam pembuatan es krim, terutama yang diproduksi secara massal. Fungsinya menjaga tekstur es krim tetap padat meskipun berada di suhu ruangan, tanpa merusak rasa. Minyak kelapa dianggap lebih stabil dan alami dibandingkan pengganti lainnya, membuatnya sangat digemari produsen makanan dunia.

Indonesia dan Filipina di Tengah Krisis Cuaca Global
Indonesia dan Filipina menyumbang sekitar 75 persen pasokan minyak kelapa global. Namun sejak pertengahan 2024, kedua negara ini dilanda pola cuaca ekstrem akibat El Nino. Cuaca panas dan kekeringan yang berkepanjangan membuat pohon kelapa—yang butuh waktu setahun untuk menghasilkan buah—mengalami stres dan menurunkan hasil panen di tahun 2025.

Departemen Pertanian AS bahkan memperkirakan bahwa produksi global minyak kelapa turun hingga 10 persen, menjadi hanya 3,6 juta ton.

Dan situasi ini belum akan membaik dalam waktu dekat. Dengan potensi La Nina menggantikan El Nino, banjir diperkirakan akan memperparah tantangan di sisi panen dan logistik di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Biofuel: Rebutan Minyak Kelapa
Masalah bukan hanya pada cuaca. Filipina—yang juga produsen utama—telah mulai menggunakan minyak kelapa untuk campuran biodiesel. Pemerintah Filipina meningkatkan target pencampuran coco methyl ester dari 2% menjadi 3% tahun lalu, dan akan meningkat lagi hingga 5% pada akhir 2026.

Setiap kenaikan 1 persen dalam campuran itu berarti 900 juta buah kelapa harus dialokasikan untuk bahan bakar, bukan makanan. Artinya, pasokan minyak kelapa untuk industri makanan dan kosmetik menjadi semakin terbatas, dan harganya naik.

Bukan Cuma Es Krim, Cokelat Pun Terimbas
Tingginya harga kakao yang sempat menyentuh rekor $12.931 per ton juga membuat produsen cokelat mulai mencari alternatif, dan lagi-lagi minyak kelapa jadi pilihan utama. Dalam pembuatan cokelat vegan atau bebas susu, minyak kelapa sudah lama dikenal sebagai pengganti mentega kakao yang efektif. Dengan kakao tetap mahal, permintaan terhadap minyak kelapa pun terus naik.

Minyak Kelapa dan Tren Kesehatan Global
Minyak kelapa juga sedang naik daun di kalangan pengguna media sosial dan penggiat gaya hidup sehat. Dari TikTok hingga Instagram, kelapa dipromosikan sebagai bahan ajaib untuk segala hal, mulai dari diet keto, kosmetik alami, hingga pengobatan rumahan. Klaim ini—meskipun masih diperdebatkan oleh pakar kesehatan—menambah tekanan terhadap pasokan global.

Bisakah Produksi Kelapa Ditingkatkan?
Sayangnya, memperluas kebun kelapa tidaklah mudah. Dibutuhkan setidaknya satu tahun bagi pohon kelapa untuk mulai berbuah. Selain itu, kekhawatiran terhadap penggundulan hutan dan regulasi lingkungan, terutama dari Uni Eropa, membuat ekspansi kebun kelapa baru menjadi tantangan berat.

“Petani tidak bisa serta-merta menambah lahan. Dan dengan perubahan iklim yang makin sulit diprediksi, mereka juga menghadapi risiko panen gagal atau terganggu,” jelas Felipe Pohlmann Gonzaga, seorang pedagang komoditas yang berbasis di Swiss.(aljazeera)

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan