Harga minyak bulanan merosot 20%, terendah sejak 2014
Harga minyak jatuh hampir 8% pada akhir perdagangan Jumat (23/11) waktu Amerika Serikat, ke tingkat terendah dalam lebih dari setahun .
Harga minyak jatuh hampir 8% pada akhir perdagangan Jumat (23/11) waktu Amerika Serikat, ke tingkat terendah dalam lebih dari setahun . Anjloknya harga minyak terjadi selama tujuh minggu secara berturut-turut, di tengah meningkatnya kekhawatiran kelebihan pasokan, sekalipun produsen-produsen utama mempertimbangkan pemotongan produksi.
Pasokan minyak, yang dipimpin oleh produsen AS, tumbuh lebih cepat daripada permintaan. Untuk mencegah penumpukan bahan bakar yang tidak digunakan seperti yang muncul pada 2015, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) diperkirakan akan mulai memangkas produksi setelah pertemuan pada 6 Desember 2018 nanti.
Namun, langkah ini dinilai masih minim untuk untuk menopang harga. Pasalnya, harga minyak tercatat telah turun lebih dari 20% dibandingkan posisi November 2018. Merosotnya harga minyak dalam satu bulan itu, merupakan yang terbesar sejak akhir 2014.
Perang dagang antara dua ekonomi dan konsumen minyak terbesar dunia, Amerika Serikat dan China, telah membebani pasar.
"Pasar sedang menetapkan harga dalam pelambatan ekonomi, pasar juga mengantisipasi bahwa pembicaraan perdagangan China tidak akan berjalan dengan baik," kata Phil Flynn, analis Price Futures Group Chicago, mengacu pada rencana pembicaraan antara Presiden AS Donald Trump dan rekan China-nya Xi Jinping pada KTT G20 di Buenos Aires, pekan depan.
"Pasar tidak yakin bahwa OPEC akan mampu bertindak cepat untuk mengimbangi pelambatan mendatang dalam permintaan," lanjut Flynn.
Minyak mentah Brent berjangka jatuh US$3,80 per barel, atau 6,1% menjadi sekitar di US$58,80. Selama sesi tersebut, patokan global ini sempat turun ke US$58,41, terendah sejak Oktober 2017.
Minyak mentah AS, West Texas Intermediate (WTI), merosot US$4,21 atau 7,7%, menjadi ditutup pada US$50,42, juga yang terlemah sejak Oktober 2017. Dalam perdagangan pascapenyelesaian, kontrak terus menurun.
Untuk minggu ini, Brent turun 11,3% dan WTI membukukan penurunan 10,8%, penurunan satu minggu terbesar sejak Januari 2016.
Kekhawatiran pasar atas melemahnya permintaan meningkat setelah China melaporkan ekspor bensinnya mencapai posisi terendah dalam lebih dari setahun, di tengah membanjirnya bahan bakar di Asia dan global.
Stok melipah
Timbunan bensin melonjak di seluruh Asia, dengan persediaan di Singapura, pusat penyulingan regional, naik ke tertinggi tiga bulan, sementara stok Jepang juga naik pekan lalu. Persediaan di Amerika Serikat sekitar 7% lebih tinggi dari setahun lalu.
Produksi minyak mentah juga meningkat pada tahun ini. Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan produksi non-OPEC saja naik 2,3 juta barel per hari (bph) tahun ini, sementara permintaan tahun depan diperkirakan tumbuh 1,3 juta barel per hari.
Menyesuaikan dengan permintaan yang lebih rendah, eksportir minyak mentah terkemuka Arab Saudi Kamis (22/11), mengatakan dapat mengurangi pasokan ketika mendorong OPEC untuk menyetujui pemotongan produksi bersama sebesar 1,4 juta barel per hari.
Namun, Trump telah menyatakan dengan jelas bahwa dia tidak ingin harga minyak naik, dan banyak analis berpikir Arab Saudi datang di bawah tekanan AS untuk menolak seruan anggota OPEC lain untuk produksi minyak mentah lebih rendah.
Jika OPEC memutuskan untuk memangkas produksi pada pertemuan bulan depan, harga minyak bisa pulih, kata para analis.
"Kami perkirakan OPEC akan mengelola pasar pada 2019 dan menilai kemungkinan kesepakatan untuk mengurangi produksi sekitar '2-in-3'. Dalam skenario itu, harga Brent kemungkinan pulih kembali ke US$70-an," kata ahli strategi komoditas Morgan Stanley Martijn Rats dan Amy Sergeant menulis dalam sebuah catatan kepada klien.
Jika OPEC tidak memangkas produksi, harga bisa bergerak jauh lebih rendah, berpotensi terdepresiasi menuju US$50 per barel, pendapat Lukman Otunuga, Analis Riset di FXTM.
Sumber : Antara