sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Huawei jadi mayoritas, Bakrie Telecom jajal bisnis TV digital

Setelah restrukturisasi utang Rp5,5 triliun berlangsung dan Huawei menguasai saham mayoritas, PT Bakrie Telecom Tbk. (BTEL) jajal TV digital

Annisa Saumi
Annisa Saumi Selasa, 09 Jul 2019 22:02 WIB
Huawei jadi mayoritas, Bakrie Telecom jajal bisnis TV digital

Setelah restrukturisasi utang Rp5,5 triliun berlangsung dan Huawei bakal menguasai saham mayoritas, PT Bakrie Telecom Tbk. (BTEL) menjajal bisnis TV digital.

Laporan keuangan emiten telekomunikasi milik Grup Bakrie tersebut kembali ditolak alias mendapatkan opini disclaimer dari akuntan publik. 

Opini ini didapatkan setelah emiten berkode saham BTEL tersebut tak mendapat cukup bukti atas usaha restrukturisasi utang Wesel Senior dengan pokok US$380 juta atau sekitar Rp5,5 triliun. 

Akibatnya, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan penghentian sementara alias suspensi perdagangan saham BTEL pada 27 Mei 2019.

Direktur Keuangan Bakrie Telecom Aditya Irawan mengatakan penyelesaian utang yang ada dilakukan melalui cicilan tunai dan penerbitan mandatory convertible bonds atau obligasi wajib konversi (OWK) yang dapat diubah menjadi saham BTEL.

Aditya mengatakan pemegang OWK terbesar Bakrie Telecom saat ini ialah Huawei Group. Masa konversi OWK ini akan berlangsung sampai 2024, dan jika tak dikonversi akan hangus. 

"Andai kata semua melakukan konversi 45%, termasuk Huawei di dalamnya, saham Huawei nanti jadi 9%, tapi tetap porsi kepemilikan paling besar milik Huawei," kata Aditya dalam paparan publik insidentil di Bakrie Tower, Jakarta, Selasa (9/7).

Huawei Group sebelumnya telah mengonversi OWK-nya ke dalam 6,18 miliar saham senilai Rp1,23 triliun pada 1 Maret 2017. Saat ini, Huawei Group memegang 16,83% saham BTEL.

Sponsored

Manajemen BTEL menargetkan proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) di Amerika Serikat yang dikenal dengan sebutan Chapter 15 dapat dikabulkan pada akhir tahun ini.

Permohonan Chapter 15 ke pengadilan AS pada 29 Januari 2018 dilakukan agar hasil PKPU perseroan di Indonesia dapat diakui sebagai penyelesaian bagi kreditur di Negeri Paman Sam. Sebab, hingga saat ini, kreditur BTEL di AS masih memiliki persoalan.

"Kami sedang menjalani proses Chapter 15 di AS dan juga masih dalam proses melakukan restrukturisasi untuk utang wesel senior," kata dia.

Direktur BTEL Andi Pravidia Saliman menjelaskan jika BTEL sukses mendapatkan Chapter 15 pada Desember tahun ini atau awal 2020, manajemen akan melakukan proses exchange offer

Penawaran itu berupa penugasan wesel senior yang saat ini dimiliki kreditur dengan wesel baru. Wesel baru itu terdiri atas OWK sebesar 70% dan porsi tunai 30% sesuai ketentuan PKPU.

Setelah exchange offer ini rampung, maka proses restrukturisasi selesai. BTEL kemudian dapat melanjutkan pengembangan usaha. Jika tidak, maka perseroan tidak dapat membangun bisnis yang baru.

Jika seluruh pemegang OWK menukar menjadi saham, totalnya mencapai 45% dari saham BTEL. Masa konversi akan dilakukan hingga 2024. 

Sebagai catatan, utang BTEL yang diselesaikan melalui PKPU per Maret 2019 adalah sebesar Rp6 triliun. Secara keseluruhan, utang BTEL mencapai Rp16,17 triliun per Maret 2019.

Besarnya nilai liabilitas itu membuat BTEL harus membukukan defisiensi modal atau ekuitas negatif hingga Rp15,46 triliun per akhir kuartal I-2019.

Selanjutnya, jika Chapter 15 diakui, maka hal tersebut akan dijadikan salah satu bukti untuk ditunjukkan ke BEI agar suspensi perdagangan saham BTEL dicabut. 

"Untuk membuka suspensi, kami tak harus mendapatkan opini yang bukan disclaimer. Kalau kami bisa membuktikan, bisa meyakinkan bursa kalau perusahaan kami masih baik, BEI bisa mempertimbangkan mencabut suspensinya, salah satunya dengan Chapter 15 di Amerika," kata Andi.

Andi melanjutkan, jika tahun depan kembali mendapatkan disclaimer untuk ketiga kalinya, perdagangan saham BTEL akan disuspensi lagi. Namun, jika tidak ada usaha dari BTEL untuk melakukan pemulihan diri, BEI akan melakukan delisting.

Jajal bisnis TV digital

Sementara itu, untuk melunasi utang perseroan, BTEL mengupayakan bisnis lain selain call solution dan call center. Untuk diketahui, bisnis call solution BTEL memberikan porsi pendapatan sebesar 70% dan sisanya berasal dari call center. 

Aditya mengatakan, tahun ini pengembangan bisnis baru BTEL akan mengeksplorasi bisnis infrastruktur Televisi Digital. Menurutnya saat ini stasiun TV banyak sifatnya analog, yang akan berubah menjadi TV digital di masa depan. 

"Stasiun TV butuh infrastruktur antara lain studio, tower, dan jaringannya. Kami akan melakukan pengembangan dari sisi jaringannya," kata Aditya. 

Aditya mencontohkan TV lokal yang memiliki konten, tapi tak punya jaringan digital karena mereka tak memiliki tower yang menyediakan jaringan digital. Melihat peluang tersebut, BTEL akan bekerja sama dengan tower provider untuk menghadirkan jaringan digital. 

"Pendanaan, kami masih dalam perhitungan, infrastruktur juga masih tunggu regulasinya. Kalau ada pendanaan paling sifatnya minimal, sampai akhir tahun kami masih fokus di voice solution," ujar Aditya. 

Aditya pun memperkirakan tahun ini BTEL masih akan mencatatkan kerugian dalam laporan keuangan karena masih memiliki utang. 

"Utang tahun ini cukup besar. Naik atau turunnya utang kami terpengaruh oleh kurs dolar," kata Aditya. 

Untuk diketahui, pada kuartal I 2019, BTEL masih mencatatkan rugi neto sebesar Rp133,723 miliar, dengan total aset lancar Rp2,629 miliar, dan pendapatan usaha Rp910 juta. 

Berita Lainnya
×
tekid