sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Terdampak pandemi, INDEF sarankan UMKM adopsi jasa ekonomi digital

peran dan kontribusi UMKM di Indonesia mendominasi struktur unit usaha hingga 99,9%.

 Kania Nurhaliza
Kania Nurhaliza Jumat, 10 Des 2021 08:20 WIB
Terdampak pandemi, INDEF sarankan UMKM adopsi jasa ekonomi digital

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eisha M. Racbini, mengungkapkan, peran dan kontribusi UMKM di Indonesia mendominasi struktur unit usaha hingga 99,9%. Pun bekonstribusi terhadap 60,51% GDP dan menyerap 96,9% total lapangan pekerjaan.

"Dilihat dari struktur usaha, UMKM terbesar berada di sektor pertanian [50%], lalu perdagangan dan logistik/komunikasi dan industri hanya sekitar 6%-7% saja. Jika dilihat dari sektor usaha, masih didominasi oleh sektor pedagangan [63,5%]. Namun dari sektor usaha menengah, UMKM masih sangat kecil, yakni hanya 0,9%," ucapnya dalam webinar, Rabu (9/12).

Meskipun perannya begitu besar terhadap struktur usaha, GDP, dan penyerapan tenaga kerja, tetapi UMKM di Indonesia masih banyak mengalami hambatan. Sebesar 75% sulit mengakses sektor keuangan, terutama modal saat membuka dan menjalankan usaha serta cicilan pembayaran.

Saat puncak pandemi Covid-19, sebanyak 53,7% UMKM di Indonesia mengalami penurunan usaha sampai 50%. Meski pada gelombang kedua penurunan usaha tinggal 41,5%, tetapi 67,77% UMKM pada puncak serangan mengalami penurunan usaha signifikan.

Elisa pun menyarankan UMKM beradaptasi saat pandemi dengan menggunakan jasa ekonomi digital lebih banyak. Selain itu, berpartisipasi dalam ekspor dan global value change (GVC).

"Terbukti kemudian, UMKM yang menggunakan teknologi digital pada saat pandemi ternyata menerima pendapatan 1,14 kali lebih besar dibandingkan sebelum pandemi. Teknologi digital ini memang harus dimasuki oleh UMKM karena melihat potensi penduduk RI yang saat ini didominasi oleh usia produktif sebesar 191,08 juta penduduk," tuturnya.

Pada kesempatan sama, Ekonom INDEF lainnya, Imaduddin Abdullah, menyoroti sektor energi yang juga terpengaruh signifikan oleh pandemi.

"Seperti sektor-sektor lain dari pertumbuhan ekonomi suatu negara masa Covid-19, begitu pula tinjauan stimulus fiskal terhadap sektor energi yang dialami sektor kelistrikan yang masih mampu bertahan dibanding sektor energi lainnya," paparnya.

Sponsored

Menurutnya, sektor transportasi global yang memiliki peran vital masih terpukul. Ini ditandai dengan pertumbuhan sektor penerbangan masih di bawah level sebelum wabah terjadi.

"Demikian pula tingkat kemacetan yang menurun di berbagai negara. Akibatnya, permintaan terhadap energi di seluruh dunia menjadi terpukul, kecuali di China," ujarnya.

Penurunan permintaan sektor energi, kata Imaduddin, paling rendah di masa pandemi sejak perang dunia ke-2. "Itu juga berdampak pada harga komoditas energi dunia yang mengalami penurunan paling rendah."

"Uniknya setelah melewati masa buruk pandemi, indeks harga komoditas energi dunia pada 2021 melesat jauh ke angka 120 ketimbang sebelum pandemi yang hanya sekitar 80," lanjutnya.

Dirinya berpendapat, itu terjadi karena adanya perbaikan ekonomi di sejumlah negara di mana demand terhadap energi mengalami peningkatan cukup signifikan. Meski suplai terhadap energi di sejumlah negara masih tertahan karena protokol kesehatan (prokes).

"Ke depan, sektor energi masih mengalami tantangan besar, terutama dari mutasi virus Covid-19 ataupun dari keberadaan vaksinasi yang timpang di berbagai negara. Kemudian juga tantangan dari target energi nasional terutama pada bauran energi baru dan terbarukan (EBT) dari 10,5% [2015] menjadi 23% pada 2025. Tak ketinggalan juga tantangan dari stimulus fiskal yang diberikan pemerintah Indonesia yang cukup besar terhadap sektor lain, tetapi hanya sedikit terhadap sektor energi khususnya EBT," urainya.

Ekonomi INDEF lainnya, Riza Annisa Pujrama, menyatakan, mobilisasi penerimaan dapat berjalan dengan pembenahan sistem perpajakan. Berlakunya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), seperti naiknya pajak pertambahan nilai (PPN), diyakini akan meningkatkan rasio perpajakan.

"Tax ratio kita rendah dan trennya terus menurun. Berisiko atau tidaknya [lonjakan utang], menurut saya, ada risiko mengingat kemampuan pajak kita rendah," tandasnya.

Berita Lainnya
×
tekid