sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Integrasi pajak dan zakat untuk pengentasan kemiskinan

Zakat bisa menjadi instrumen untuk mengatasi kemiskinan. Realisasi penerimaan zakat perlu ditingkatkan, melalui integrasi dengan pajak.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Rabu, 12 Apr 2023 14:02 WIB
Integrasi pajak dan zakat untuk pengentasan kemiskinan

Membayar zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam, untuk yang memiliki harta cukup. Jika dioptimalkan, zakat bisa membantu mengentaskan kemiskinan di tanah air. Apalagi, realisasi pengumpulan zakat nasional terus meningkat tiap tahunnya.

Catatan Kementerian Agama (Kemenag),  sepanjang tahun 2022 penerimaan zakat, infak dan sedekah (ZIS), serta dana sosial keagamaan lainnya mencapai sekitar Rp22 triliun. Jumlah ini sudah jauh lebih tinggi dari realisasi penerimaan ZIS pada tahun-tahun sebelumnya.

Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama (Kemenag) Tarmizi Tohor bilang, naiknya penerimaan ZIS ini tak lain karena kesadaran masyarakat untuk membayar zakat, infak dan sadakah juga kian meningkat.

"Meningkatnya penghimpunan dana ZIS sangat berdampak pada kehidupan sosial-keagamaan, pengentasan kemiskinan, pemerataan pembangunan, pembangunan manusia, sampai pertumbuhan ekonomi," jelasnya kepada Alinea.id, pekan lalu.

Dana ZIS yang dihimpun Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) RI dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) tingkat nasional, BAZNAS provinsi/kabupaten/kota, LAZ tingkat provinsi dan kabupaten/kota ini disalurkan langsung kepada masyarakat yang membutuhkan. Realisasi penyaluran dana ZIS pada tahun lalu menyentuh Rp20 triliun atau sekitar 93,83% dari dana yang berhasil dihimpun. 

Ketua BAZNAS RI Noor Achmad merinci, dana ZIS yang terkumpul di tahun 2022 disalurkan pada lima aspek utama, yakni pendidikan kepada 45.814 penerima manfaat, kesehatan 371.500 penerima manfaat, sosial kemanusiaan 1.602.898 penerima manfaat, dakwah 76.391 penerima manfaat, dan ekonomi 19.335 penerima manfaat. Tidak hanya itu, dengan dana tersebut, 39.690 keluarga mustahik alias golongan orang yang berhak menerima zakat juga berhasil diangkat dari garis kemiskinan. 

"Keberhasilan tersebut merupakan 37% dari mustahik yang dibina BAZNAS RI. Di luar itu masih banyak lagi mustahik yang dibina oleh BAZNAS provinsi/kabupaten/kota, dan lembaga amil zakat resmi di seluruh Indonesia," ungkap Noor dalam keterangan yang diterima Alinea.id, Jumat (7/4).

Selama ini zakat memang sudah dikenal luas mampu mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan hasil penghitungan Indikator Kemiskinan 2021 untuk BAZNAS RI, penerima program penanggulangan kemiskinan yang berhasil dientaskan dari garis kemiskinan sebanyak 52.563 jiwa. Sedangkan jumlah penerima program penanggulangan kemiskinan yang berhasil bertransformasi menjadi muzaki atau melampaui nisab zakat sebanyak 39.690 jiwa. 

Sponsored

Selanjutnya, secara keseluruhan Lembaga Pengelola Zakat (LPZ) se-Indonesia berhasil mengentaskan kemiskinan garis kemiskinan sebanyak 397.419 jiwa. Adapun penerima program penanggulangan kemiskinan yang telah berhasil bertransformasi menjadi muzaki mencapai 99.355 jiwa.

Jika dilihat dari angka-angka tersebut kinerja zakat sebagai salah satu upaya pengentasan kemiskinan memang sudah cukup baik. Namun sebenarnya masih bisa ditingkatkan lagi perannya, mengingat potensi pengumpulan zakat nasional masih sangat besar. Berdasarkan hitungan Indikator Pemetaan Potensi Zakat, dengan jumlah penduduk muslim sebanyak 87,2% dari total penduduk, Indonesia seharusnya bisa mengumpulkan zakat hingga Rp327 triliun. 

"Tapi jika melihat realisasi di tahun 2022, pengumpulan zakat kita tidak sampai 10% dari potensi yang ada. Kenapa selisihnya jauh sekali? Entah karena perhitungan potensinya yang terlalu tinggi atau memang realisasinya yang masih terlalu rendah," ujar Kepala Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Anggito Abimanyu kepada Alinea.id, Senin (10/4). 

Sebab, jika dihitung secara logis, zakat penghasilan sebesar 2,5% dari total penghasilan yang mencapai nisab (batasan harta seseorang yang diwajibkan membayar zakat), potensinya hanya sekitar Rp100 triliun. Mantan Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) itu menilai, meskipun zakat merupakan kewajiban bagi umat muslim yang mampu, namun pemungutannya bersifat sukarela dengan jumlah minimal hanya 2,5% dari total penghasilan yang didapatkan oleh muzaki. 

"Beda dengan pajak yang sifatnya wajib dan mengikat bagi wajib pajak (WP). Meskipun sama-sama wajib dikeluarkan untuk golongan penghasilan tertentu juga, nilai minimal yang harus dibayar WP juga lebih besar ketimbang zakat penghasilan," tuturnya. 

Pada tahun lalu misalnya, dengan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan 25% dan PPh Orang Pribadi (OP) 5% hingga 30%, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berhasil menghimpun penerimaan pajak PPh Badan (pasal 25/29) dan PPh OP (pasal 21 dan 25/29) sekitar Rp400 triliun. "Dari sini terlihat kalau masalah realisasi zakat ada di pengumpulannya," imbuh Anggito. 

Sampai saat ini, pengumpulan zakat masih digawangi oleh BAZNAS RI dan BAZNAS Daerah (BAZNASda) yang ditunjuk langsung oleh pemerintah. Selain itu ada pula LAZ yang juga sudah mendapat persetujuan oleh BAZNAS sebagai pengumpul ZIS. Namun pada kenyataannya koordinasi masih menjadi isu utama yang harus diselesaikan lembaga-lembaga tersebut. 

Bahkan, berdasar policy brief The Prakarsa, minimnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah, termasuk dalam hal ini BAZNAS dan LAZ resmi, banyak umat muslim yang lebih memilih menyalurkan langsung zakatnya kepada penduduk miskin di sekitar daerahnya. Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) dari kelompok-kelompok organisasi masyarakat seperti LAZIZNU dan LAZIZMU menjadi pilihan lain. 

Pada sisi lain, masyarakat yang mengumpulan zakatnya pada lembaga resmi seperti BAZNAS masih terbatas pada kewajiban pegawai dalam suatu perusahaan atau semacamnya, belum berupa kesadaran pribadi. "Praktik zakat yang berlaku selama ini juga merupakan praktik standar minimal untuk menggugurkan kewajiban agama, bukan dengan standar keutamaan," kata Ad Interim Economic Policy Officer The Prakarsa Samira Hanim saat dihubungi Alinea.id, Minggu (9/4). 

Integrasi dengan pajak

Sistem pengelolaan zakat di Indonesia pun dapat dikategorikan pada sistem yang dilakukan secara sukarela sehingga tidak terdapat sanksi hukum bagi yang tidak menunaikan kewajiban zakat. Karenanya, untuk memaksimalkan fungsi zakat, realisasi penerimaan zakat jelas perlu ditingkatkan, salah satunya melalui integrasi zakat dengan pajak. 

Samira bilang, upaya pegintegrasian zakat dan pajak sebetulnya sudah diterapkan di Indonesia, melalui Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas UU Nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan, mengatur perihal pembayaran zakat kepada lembaga resmi yang disahkan pemerintah dapat menjadi pengurang penghasilan yang akan dikenakan pajak. Kemudian, implementasi zakat di Indonesia yang diperlakukan sebagai pengurang pajak juga telah diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat pada Pasal 22 dan Pasal 23 Ayat 1 dan 2. 

Perlu diketahui, pada pasal 22 disebutkan bahwa zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau OPZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak, yang kemudian BAZNAS atau OPZ wajib memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzaki.

"Di mana bukti setoran zakat tersebut digunakan sebagai pengurangan atas penghasilan kena pajak," ujar Peneliti The Prakarsa tersebut. 

Kebijakan atas zakat sebagai pengurang pajak penghasilan memiliki tujuan agar wajib pajak muslim tidak terkena beban ganda. Di sisi lain kebijakan ini juga bisa sekalius meningkatkan kepedulian masyarakat untuk membayarkan zakat atas kewajibannya sebagai umat Islam. 

"Sayangnya integrasi ini belum berjalan maksimal. Karena tidak semua pekerja di Indonesia merupakan pekerja formal dan sudah terdaftar sebagai wajib pajak," lanjut Samira. 

Padahal, ada tiga peluang yang dapat dimanfaatkan untuk penerapan pajak kekayaan di Indonesia, pertama adanya kelompok kelas menengah muslim baru di Indonesia yang melihat agama sebagai hal penting dalam kehidupan mereka. Kedua, beragamnya pemahaman masyarakat terkait pajak dan zakat dimana tidak semua berpikiran jika sudah membayar pajak berarti sudah tidak perlu zakat atau sebaliknya. Masyarakat menyadari kewajiban pajak merupakan hal yang berbeda dengan zakat begitupun pada kelompok super kaya (high-net-worth individual/HNWI ). 

Selanjutnya, adanya kelompok HNWI yang butuh dukungan pengelolaan kekayaannya sebagai bentuk niat kebaikan. Misalnya seseorang yang sangat kaya menyumbangkan hartanya untuk membangun fasilitas tertentu yang dikreditkan padanya, ini dapat meningkatkan willingness (kepatuhan) HNWI untuk mengeluarkan hartanya.

"Walaupun terdapat perbedaan di kalangan ahli fiqih mengenai hubungan zakat dan pajak, tetapi pajak dan zakat saling menegasikan, sehingga keduanya dapat dipadukan. Baik kekayaan yang disalurkan melalui negara (pajak kekayaan) atau disalurkan melalui lembaga amil zakat (zakat), akan bermuara untuk kepentingan kesejahteraan rakyat," tegas Samira. 

Pengurang pajak

Namun, untuk mendorong pelaksanaan integrasi pajak dan zakat ini, interkoneksi antara Kementerian Agama dan Kementerian Keuangan dalam pengelolaan dan pemanfaatan alokasi zakat demi pengentasan kemiskinan dan pembangunan diperlukan. Selama ini Kementerian Keuangan sudah mengakui legalitas pembayaran zakat kekayaan yang disetorkan wajib pajak orang perorangan kepada lembaga amil zakat, baik melalui OPZ yakni BAZNAS atau OPZ yang terdaftar. 

"Hanya saja sosialisasinya harus lebih ditingkatkan lagi," lanjutnya. 

Ekonom Pembangunan Syariah dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Irfan S. Beik pun sepakat dengan hal ini. Menurutnya, sosialisasi terkait zakat sebagai pengurangan pajak perlu dimasifkan lagi baik oleh lembaga pengumpul zakat yang dipimpin BAZNAS maupun oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang berperan langsung sebagai pengumpul zakat dan pajak. 

Dalam hal ini, sosialisasi setidaknya dapat dilakukan lewat dua cara, yakni langsung kepada Wajib Pajak yang juga merupakan muzaki. Juga, dengan pembuatan logo bersama yang melambangkan kebijakan dan program pembayaran zakat sebagai pengurang pajak penghasilan. 

“Sama halnya dengan yang pernah dilakukan oleh perbankan-perbankan syariah dulu saat proses pembentukan BSI (Bank Syariah Indonesia) mereka kan juga membuat logo. Selain sebagai sarana promosi dan edukasi, juga bisa menandakan komitmen pemerintah untuk menjalankan kebijakan ini,” jelas Irfan Melalui sambungan telepon, kepada Alinea.id, Minggu (9/4). 

Ilustrasi zakat. Foto Freepik.

Sementara itu, sosialisasi menjadi penting dalam penerapan program pembayaran zakat sebagai pengurang pajak penghasilan ini. Sebab, sepengamatan Irfan, sejak diterapkan pada 2008 lalu, realisasi program ini masih sangat mini bahkan bisa dikatakan tidak laku. Salah satu penyebabnya karena WP yang juga muzaki belum tau tentang manfaat program ini. 

“Padahal kalau muzaki membayar zakat melalui BAZNAS atau LAZ resmi, dia akan mendapatkan pengurangan pajak penghasilan ketika melaporkan bukti pembayaran zakatnya di dalam SPT (surat pemberitahuan) tahunan. Artinya, dia tidak harus membayar dua tanggungan, pajak dan zakat,” kata dia. 

Sosialisasi, selain dilakukan oleh pemerintah pusat, juga oleh pemerintah daerah (Pemda). Menurut Irfan, saat ini hanya Aceh yang dengan serius menerapkan kebijakan ini. Penerapan zakat sebagai pengurang pajak pun sudah dilegalkan oleh pemerintah melalui UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Pasal 192. Di mana pasal ini menyatakan bahwa zakat yang dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terutang WP, dengan lembaga pemungut zakat ialah Baitul Mal Aceh (BMA) dan Baitul Mal Kabupaten. 

Selain UU No.11 tahun 2006, zakat juga diatur dalam Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2018 tentang Baitul Mal yang kedudukannya dipersamakan dengan peraturan daerah. “Jadi pendapatan dari zakat ini nanti akan masuk ke PAD (pendapatan asli daerah) Aceh,” lanjutnya. 

Selain itu, untuk meningkatkan realisasi kebijakan zakat sebagai pengurangan pajak, dibutuhkan juga sinergi antara DJP Kementerian Keuangan dengan BAZNAS. Sinergi dalam hal ini erat kaitannya dengan ketersediaan data wajib pajak, baik OP maupun badan (perusahaan) yang dapat digolongkan sebagai muzaki. 

“Jika sudah bersinergi, penting juga bagi kedua lembaga ini untuk saling menjaga, agar tidak terjadi fraud. Karena sekalinya terjadi kecurangan pada salah satunya, dua-duanya yang akan rusak. Kepercayaan masyarakat dalam hal ini akan jadi taruhannya,” tegas Irfan. 

Pada kesempatan terpisah, Direktur Keuangan Sosial Syariah Komite Nasional Keuangan Syariah Ahmad Juwaini bilang, integrasi zakat dan pajak penghasilan yang diterapkan Indonesia selama ini memang baru sekadar pengurangan pajak apabila muzaki membayar zakat. Pengurangannya pun diakuinya masih tergolong mini, baru sekitar 2,5% hingga 5% atau paling tinggi hingga 10% jika zakat yang digelontorkan WP sangat besar. 

Sementara itu, realisasi kebijakan ini bisa saja lebih ditingkatkan lagi, sehingga zakat penghasilan atau kekayaan ini akan semakin besar. Namun menurutnya hal ini akan sangat sulit dilakukan, karena DJP bakal beranggapan bahwa ada pendapatan negara (pajak) yang hilang jika pengurangan pajak melalui pembayaran zakat ini semakin ditingkatkan, apalagi kalau zakat diberlakukan sebagai pengganti pajak seperti yang diterapkan oleh Malaysia. 

“Jadi untuk saat ini DJP belum menerima ide atau usulan zakat sebagai pengganti pajak, hanya sebatas zakat sebagai pengurang pajak,” ungkap Ahmad kepada Alinea.id, Senin (10/4). 

Pemerintah belum serius

Tantangan lain penerapan integrasi zakat dan pajak lain datang dari sisi supply. Head of Islamic Finance Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fauziah Rizki Yuniarti bilang, implementasi kebijakan ini belum memiliki lembaga khusus yang dapat menerbitkan surat tanda terima zakat yang bisa menjadi bukti pengurangan pajak. Padahal surat ini penting untuk memudahkan muzaki dalam mengurus zakat sebagai pengurang pajak. 

Selain itu, tidak adanya keseriusan dari pemerintah untuk membuat zakat sebagai kredit pajak. Karena secara nominal akan ada pengurangan penerimaan pajak yang cukup besar, meskipun dampak sosial ekonomi dari zakat sangatlah besar. “Tantangan dari sisi demand, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga formal zakat masih perlu ditingkatkan. Mayoritas masyarakat indonesia masih memilih membayar pajak melalui jalur informal, contohnya masjid, kiai, dan lain sebagainya,” beber Fauziah kepada Alinea.id, Sabtu (8/4).

Padahal selain berpotensi mengurangi kemiskinan, kebijakan zakat sebagai pengurang pajak juga diharapkan bisa lebih memotivasi orang untuk membayar zakat melalui lembaga formal. Sebab, kredit pajak yang diterima dalam hal ini ialah pembayaran zakat melalui amil zakat resmi. 

Terkait keseriusan pemerintah, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengungkapkan, pada tanggal 22 Maret 2023 lalu, pihaknya sudah melakukan audiensi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk bersilaturahmi dan membahas beberapa hal. 

“Salah satu yang dibahas adalah posisi zakat dalam sistem perpajakan di Indonesia,” katanya, dalam pesan singkat yang diterima Alinea.id, Senin (10/4).

Sayangnya, Dwi enggan menjelaskan hasil terkait audiensi dengan MUI tersebut. 

Potensi zakat

Sementara itu, beberapa waktu lalu Direktur Kajian dan Pengembangan Zakat Infak Sedekah dan Dana Sosial Keagamaan Lainnya (ZIS-DSKL) BAZNAS Muhammad Hasbi Zaenal menjelaskan, ada dua zakat yang wajib ditunaikan umat muslim. Pertama, zakat fitrah yang ditunaikan sebelum Idulfiitri atau saat ramadan. Kedua, zakat mal atau harta yang diberikan oleh muzaki dari kepemilikan harta berupa uang, emas, dan sebagainya. 

Dari kedua jenis zakat itu, potensinya di Indonesia pada tahun lalu ialah sebesar Rp327 triliun. Terdiri dari zakat pertanian Rp19,79 triliun, peternakan Rp9,51 triliun, tabungan dan deposito Rp58,76 triliun, pendapatan dan jasa aparatur sipil negara (ASN) Rp9,15 triliun, individu dan non-ASN Rp Rp129,8 triliun, serta badan (perusahaan) Rp99,99 triliun.

“Tapi kami baru bisa menghimpun kurang lebih Rp22 triliun. Padahal harapan kami zakat bisa menjadi trickledown effect (aktivitas investasi kekayaan) yang memberikan manfaat secara luas bagi masyarakat. Sehingga timbul pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, sekaligus bisa mengentaskan kemiskinan,” jelas Hasbi kepada Alinea.id, akhir bulan kemarin.

Meski begitu, pihaknya menilai, jumlah zakat yang terhimpun, yakni sekitar Rp22 triliun tersebut pada dasarnya memiliki kontribusi yang sama dengan program perlindungan sosial pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) senilai Rp431,513 triliun. Sebab, zakat dan pajak yang terhimpun dalam APBN sama-sama berkontribusi 5% untuk mengentaskan kemiskinan. 

“Karena itu, jika potensi zakat Rp327 triliun tadi tercapai, maka hampir setara dengan anggaran perlindungan sosial. Artinya, nanti ya sudah anggaran perlindungan sosial kami yang handle. Kalau dimaksimalkan, kemiskinan di Indonesia bisa diselesaikan dengan zakat,” tutur Hasbi.

Berita Lainnya
×
tekid