sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

IPO Bukalapak, jangan asal nge-hype

Pemesanan saham Bukalapak mengalami kelebihan permintaan meski secara kinerja e-commerce itu masih merugi.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Kamis, 22 Jul 2021 16:55 WIB
IPO Bukalapak, jangan asal nge-hype

Pasar saham Tanah Air bakal diramaikan dengan kedatangan salah satu raksasa e-commerce nasional, Bukalapak. Sebagai perusahaan teknologi pertama yang masuk ke pasar saham Indonesia, IPO (Initial Public Offering/penawaran umum perdana saham) ini mendapat sambutan baik dari berbagai pihak, utamanya para investor ritel.

Aksi korporasi publik lokapasar ini juga digadang-gadang akan menjadi IPO terbesar selama sepuluh tahun terakhir. Perusahaan yang disokong Grup Emtek ini akan melepaskan 25,76 miliar saham ke publik atau setara 25% dari total saham. Lepasnya kepemilikan itu ditargetkan dapat mendatangkan dana segar hingga Rp21,9 triliun.

”Kami bersyukur sejauh ini sambutan yang kami peroleh terhadap rencana IPO sangat baik, di mana antusiasme masyarakat yang tergambar dari kehadiran dan pertanyaan yang muncul dalam public expose sangat banyak,” kata Presiden Direktur Bukalapak, Muhammad Rachmat Kaimuddin, kepada Alinea.id, Senin (12/7).

Tidak hanya di Indonesia, perusahaan yang berdiri lebih dari satu dekade lalu ini juga dikabarkan bakal melantai di bursa saham Amerika Serikat (dual listing).
 
Rencananya, IPO akan dilangsungkan pada 28-30 Juli 2021. Kemudian, penjatahan pada 3 Agustus 2021, dan distribusi saham elektronik beserta pengembalian uang pemesanan pada 5 Agustus 2021.

Selanjutnya, Bukalapak akan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 6 Agustus 2021 dengan kode saham BUKA. Sementara itu, Mandiri Sekuritas dan Buana Capital Sekuritas akan berperan sebagai penjamin pelaksana emisi efek dalam IPO Bukalapak. Sedangkan penjamin emisi efek akan dipercayakan pada UBS Sekuritas dan Mirae Asset Sekuritas Indonesia.

Bukalapak mengidentifikasikan dirinya sebagai marketplace yang berusaha memberdayakan UMKM di Indonesia. Kini, Bukalapak bertengger di posisi kelima perusahaan dengan predikat unikorn dengan valuasi di atas US$1 miliar di Indonesia.

Per Oktober 2020, Bukalapak mencatatkan valuasi sebesar US$2,5 miliar, berada di bawah valuasi perusahaan teknologi Indonesia lainnya yaitu Gojek, Tokopedia, Traveloka, dan OVO.

Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.

Sponsored

Nantinya, dana yang diperoleh dari hasil IPO akan digunakan untuk tambahan modal kerja perseroan. Selain itu, diharapkan pula dapat mendukung rencana strategis bisnis perusahaan ke depan. 

Salah satu penjamin emisi IPO Bukalapak, PT Buana Capital menguraikan, rencana penggunaan dana IPO sekitar 66% untuk modal kerja. Sisanya sekitar 15% akan digunakan untuk anak usaha perseroan, PT Buka Mitra Indonesia dan 15% untuk anak usaha Buka Usaha Indonesia.

"Masing-masing satu persen untuk Buka Investasi Bersama, Buka Pengadaan Indonesia, Bukalapak Pte Ltd, dan Five Jack,” ujar Direktur PT Buana Capital Ratna Karim saat dikonfirmasi Alinea.id, Kamis (22/7).

Tak moncer?

CEO PT Indosurya Bersinar Sekuritas William Surya Wijaya mengatakan, aksi korporasi e-commerce ini dipastikan memancing para investor terutama ritel. Apalagi, Bukalapak merupakan perusahaan teknologi berstatus unikorn pertama yang melantai di bursa saham nasional.

Meski begitu, pihaknya tidak bisa memastikan apakah saham yang ditawarkan Bukalapak akan langsung moncer atau justru sebaliknya. Sebab, meski sudah IPO, saham yang ditawarkan akan masih bersifat spekulatif sampai beberapa waktu ke depan.
 
"Karena sekarang perusahaan atau masyarakat yang punya usaha sudah bisa mengembangkan bisnis mereka sendiri. Jadi enggak perlu bantuan e-commerce," katanya kepada Alinea.id, Rabu (21/7).

William mencontohkan Kimia Farma kini tidak perlu lagi menjual obatnya di Bukalapak atau Tokopedia. Karena perusahaan pelat merah itu bisa membuat aplikasi sendiri untuk menawarkan produk mereka kepada konsumen. 

Dengan kondisi tersebut, jelas ke depannya keberadaan perdagangan daring akan terkena dampak dari perubahan sistem pemasaran berbagai bisnis. “Silakan investor menilai," tegas dia.

Meski begitu, untuk jangka pendek, William mengakui prospek saham lokapasar ini akan sangat bagus. Apalagi, sejak masa penawaran dibuka pada Jumat (9/7) hingga Senin (19/7) kemarin BUKA mengalami kelebihan permintaan (oversubscribed). Bahkan, menurut sumber Reuters, permintaan mencapai US$6 miliar atau setara dengan Rp87 triliun. Artinya ada oversubscribed hingga empat kali.

Agar tak terjerumus ke lubang hitam kerugian, William menyarankan agar calon investor benar-benar mempertimbangkan niat mereka untuk membeli saham e-commerce ini. Tak hanya melihat keuntungan jangka pendek saja atau karena mengikuti hype IPO Bukalapak. Investor juga harus melihat keuntungan dan risiko dalam jangka waktu menengah hingga panjang. 

"Ini bersangkutan sama uang. Kalau enggak mempertimbangkan risiko artinya tidak memiliki plan (rencana) dalam berinvestasi,” imbuhnya.

Dihubungi terpisah, Analis MNC Asset Management Edwin Sebayang menilai, euforia IPO Bukalapak yang kemudian menyebabkannya kelebihan permintaan, dinilai hanya akan terjadi dalam dua minggu saja. Setelahnya, investor bakal mencermati fundamental marketplace bercorak merah itu. 

Aplikasi dan logo Bukalapak. Foto Reuters.

Apakah setelah IPO kinerja fundamental perusahaan akan mengalami perbaikan, atau sebaliknya perseroan masih tetap mengalami kerugian. Di saat yang sama, investor juga akan memperhatikan volume perdagangan saham BUKA. 

Jika volume perdagangan mulai sepi lantaran banyak investor merasa nilai valuasi saham Bukalapak terlampau mahal, perlahan para investor bisa jadi akan mencabut modalnya dari perusahaan tersebut.

"Apalagi ternyata di tahun 2021, kinerja fundamental saham BUKA masih merugi yang artinya tidak bisa bagi dividen maka saham BUKA akan ditinggalkan investor," ungkapnya, kepada Alinea.id, Rabu (21/7).

Sementara itu, Direktur Ekuator Swarna Investama Hans Kwee menilai tak masalah jika Bukalapak masih merugi di sepanjang 2020. Sebab, saat melihat prospek bisnis perdagangan elektronik ke depannya, dia yakin Bukalapak dapat semakin berkembang. 

Dengan demikian, pendapatan yang didapatkan perusahaan juga akan semakin besar. Pada akhirnya, kerugian akan semakin berkurang hingga dapat mencapai keuntungan. Menurut Hans, perbaikan kinerja perusahaan sudah mulai terlihat sejak tahun lalu. Karena meski merugi, kerugian yang dicatatkan Bukalapak tak sebesar di tahun 2019.

Pada 2020, Bukalapak rugi bersih mencapai Rp1,35 triliun, turun dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp2,79 triliun. Adapun rugi bersih per saham yang dapat diatribusikan kepada pemegang saham entitas induk Rp171,48, berkurang dari sebelumnya Rp365,79. Sementara pendapatan bersih Bukalapak di tahun 2020 sebesar Rp1,35 triliun, naik 25,56% dibanding tahun sebelumnya yang sebesar Rp1,07 triliun.

"BUKA itu cukup prospektif. Ditambah ke depannya teknologi akan terus berkembang dan masyarakat akan masuk ke industri itu," jelasnya, kepada Alinea.id, Senin (12/7).

Meski begitu, dengan kondisi keuangan perusahaan yang masih rugi, investor akan mendapatkan hasil maksimal dalam waktu yang lebih panjang. Lantaran selama beberapa waktu ke depan perseroan akan menggunakan dana yang ada untuk menutup kerugian terlebih dulu. 

Pasar modal makin berkembang

Di sisi lain, Ekonom & Praktisi Pasar Modal Lucky Bayu Purnomo menganggap aksi korporasi yang dilakukan Bukalapak merupakan salah satu langkah untuk mendapatkan alternatif permodalan. Di tengah kerugian yang sampai saat ini masih dialami, IPO juga bisa menjadi jalan keluar atau exit strategy yang lebih menguntungkan ketimbang merger atau akuisisi.

"Walaupun rugi ini bukan berarti dia enggak berani IPO, justru ini jadi terobosan bagaimana caranya mendapatkan alternatif permodalan," kata dia, Sabtu (17/7).

Exit strategy sendiri merupakan strategi yang direncanakan investor atau pemodal untuk mengakhiri pendanaan atau investasinya melalui cara-cara yang dapat memaksimalkan keuntungan atau meminimalkan kerugian. Pendanaan yang diperoleh dari hasil IPO pun beragam, tergantung kapitalisasi perseroan setelah menjadi perusahaan publik. 

Makin besar kapitalisasi sebuah startup pada saat IPO, makin banyak investor yang tertarik untuk mendanainya.

Namun demikian, salah satu pemegang saham utama Bukalapak Pandu Patria Sjahrir menyangkal bahwa IPO yang dilakukan Bukalapak ini merupakan exit strategy. Sebab, dana yang masuk dari hasil melantai di bursa merupakan dana segar dari investor baru. 

Tidak hanya itu, dana hasil IPO yang didapatkan perseroan pun murni akan digunakan untuk perbaikan kinerja perusahaan. 

"Kita akan gunakan dana itu untuk penguatan teknologi dan mencari sumber daya manusia (SDM) yang benar-benar berkualitas. Ini semua enggak lain buat memperbaiki pelayanan BUKA ke customers," katanya, saat dikonfirmasi Alinea.id melalui pesan singkat, Kamis (22/7).

Pandu yang juga Komisaris BEI ini optimistis masuknya Bukalapak ke lantai bursa akan membuat pasar modal semakin dinamis. Terutama di paruh kedua tahun ini. Di sisi lain, unikorn atau e-commerce lain yang melakukan IPO akan memberikan tambahan pilihan emiten jumbo yang berkualitas bagi para investor.

“Dengan masuknya Bukalapak ke bursa itu akan memberikan tambahan quality of emiten yang besar-besar, jadi saya rasa positif,” tutur Pandu.

Meksipun diperkirakan bakal terjadi IPO bernilai jumbo, dari sisi penyerapan Pandu menyebut harga saham calon emiten teknologi masih akan terjangkau oleh investor. Apalagi dengan potensi pertumbuhan yang menjanjikan.

Ilustrasi Pixabay.com.

Dihubungi terpisah, Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Laksono Widito Wibowo menjelaskan, dengan adanya kelebihan permintaan pada saham BUKA, BEI lantas akan menggunakan aturan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SE OJK) Nomor. 15/SEOJK.04/2020. Aturan itu untuk memperhatikan penjatahan investor ritel. Harapannya, ini akan mengurangi potensi ketidakpuasan para investor karena jatahnya dikurangi. 

"Kalau demand (permintaan investor) ritelnya besar, akan dialokasikan juga ke mereka secara lebih besar. Tapi tidak menutup kemungkinan juga ada risiko penurunan harga setelah IPO akibat aksi ambil untung sesaat investor ritel," kata dia, kepada Alinea.id, Jumat (16/7).

Meski begitu, menurut Laksono, hal ini sudah umum terjadi di pasar saham. Selain itu, ada opsi penjatahan lebih atau greenshoe yang bisa dipakai, seperti pada umumnya IPO-IPO lain. Namun dalam IPO Bukalapak, lanjut Laksono, mereka tidak mengagendakan opsi tersebut. 

"In case-nya BUKA, mereka harus claw back dari investor institusi. Mereka tidak pakai opsi penjatahan lebih," ujar Laksono.

Adapun aturan claw back ini mengatur kondisi bila terjadi kelebihan pemesanan (oversubscribed) pada penjatahan terpusat (pooling) investor ritel. Kelebihan itu dengan persentase tertentu akan diambil dari penjatahan pasti (fix allotment) yang umumnya diperuntukkan bagi investor institusi.
 

Berita Lainnya
×
tekid