sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kejanggalan kesepakatan Freeport dan pemerintah

Usai melewati sejumlah pertemuan dan negosiasi, akhirnya Kamis (12/7), Freeport melepas saham sebesar 51% kepada pemerintah Indonesia.

Purnama Ayu Rizky
Purnama Ayu Rizky Minggu, 15 Jul 2018 08:21 WIB
Kejanggalan kesepakatan Freeport dan pemerintah

Usai melewati sejumlah pertemuan dan negosiasi, akhirnya Kamis (12/7), Freeport melepas saham sebesar 51% kepada pemerintah Indonesia.

Divestasi saham Freeport dicapai melalui penandatanganan Pokok-Pokok Perjanjian (Head of Agreement/HoA) antara Freeport-Mcmoran Inc (FCX), Rio Tinto, dan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) di Jakarta. Setelah penjualan selesai, kepemilikan Inalum di PTFI meningkat menjadi 51% dari sebelumnya 9,36%.

Penandatanganan perjanjian awal berupa HoA ini dihadiri Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, Direktur PT Inalum Budi Gunadi Sadikin, dan Chief Executive Officer (CEO) Freeport McMoran Richard Adkerson.

Ada lima poin dari perjanjian antara pemerintah Indonesia dan Freeport. Pertama, landasan hukum PT Freeport Indonesia (PTFI) akan berupa izin usaha pertambangan khusus dan bukan kontrak karya (KK). Kedua, pengalihan 51% saham PTFI untuk kepemilikan nasional Indonesia. Ketiga, Freeport membangun smelter di dalam negeri. Keempat, penerimaan negara secara agregat akan lebih besar dibanding penerimaan dengan skema kontrak karya selama ini. Terakhir, perpanjangan operasi 2 x 10 tahun diberikan ke PTFI jika memenuhi kewajiban IUPK. PTFI mendapat perpanjangan operasi sampai 2041.

Pokok-pokok perjanjian ini selaras dengan kesepakatan yang diteken pada 12 Januari 2018 antara pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi Papua, dan Pemerintah Kabupaten Mimika. Dalam kesepakatan itu, pemerintah daerah akan mendapatkan saham sebesar 10%, dari kepemilikan saham PTFI.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kesepakatan ini jadi wujud komitmen pemerintah menjaga iklim investasi yang kondusif. Dengan penandatanganan perjanjian tersebut, kerja sama Freeport dan lnalum diharapkan mampu meningkatkan kualitas dan nilai tambah industri ekstraktif ke depan, serta memberi nilai kemakmuran bagi masyarakat Indonesia.

Inalum akan mengeluarkan dana sebesar US$ 3,85 miliar untuk membeli hak partisipasi Rio Tinto di PTFI dan 100% saham FCX di PT Indocopper lnvestama, yang memiliki 9,36% saham di PTFL.

Para pihak sendiri disebut-sebut akan menyelesaikan perjanjian jual beli ini sebelum akhir 2018.

Sementara itu, Presiden dan CEO Freeport-McMoran Inc Richard Adkerson menuturkan, perpanjangan izin operasi akan memberikan jaminan bagi investasi bernilai miliaran dolar. Ini juga mampu memberikan kepastian bagi seluruh pemegang saham PT Freeport Indonesia.

Terkait perpanjangan izin usaha pertambangan pertambangan khusus operasi produksi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengatakan, PTFI dijatah maksimal dua kali sepuluh tahun.

Ia menginginkan nilai tambah komoditas tembaga dapat meningkat. Caranya melalui pembangunan pabrik peleburan tembaga berkapasitas 2 hingga 2,6 juta ton per tahun dalam waktu lima tahun.

Ada yang janggal

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyebut, klaim Indonesia telah berhasil menjadi pemegang saham 51% sebaiknya disetop. Pasalnya, meskipun HoA itu telah ditandatangani PT Inalum (Persero), Freeport McMoRan Inc, dan Rio Tinto, HoA bukan perjanjian yang mengindikasikan telah selesainya transaksi jual beli saham.

Ia mengutip pernyataan Head of Corporate Communications & Government Relations Holding Industri Pertambangan Inalum Rendi Witular yang mengungkapkan, HoA masih akan dituangkan dalam perjanjian yang lebih detail.

Pernyataan itu, kata Hikmahanto, perlu diapresiasi mengingat jelas HoA bukanlah perjanjian yang mengindikasikan telah selesainya transaksi jual beli participating interest dari Rio Tinto dan jual beli saham dari Freeport. Dari pernyataan Rendi sendiri bisa disimpulkan, ada serangkaian proses tambahan yang perlu dilakukan agar saham PT FI berada di tangan Indonesia melalui Inalum.

Langkah berikut adalah negosiasi untuk perjanjian teknis. Bukannya tidak mungkin langkah ini gagal di tengah jalan. Suatu hal yang tentu tidak diharapkan.

Rendi Witular, dalam pernyataannya juga menyinggung empat isu lain selain divestasi. Salah satunya adalah akan diadakannya perjanjian stabilisasi investasi. Isu itu menurutnya terasa janggal bila termaktub dalam HoA. Pasalnya, Inalum bukan regulator yang menentukan besaran pajak dan royalti. Pihak yang menentukan pajak dan royalti adalah pemerintah.

Oleh karena itu, tidak seharusnya isu besaran pajak dan royalti diatur dalam HoA. Tidak mungkin Inalum memerintahkan pemerintah. Freeport seharusnya menandatangani perjanjian stabilisasi investasi dengan pemerintah.

Namun, bila pemerintah melakukan hal ini, berarti kedaulatan negara akan dibelenggu dengan sebuah kontrak atau perjanjian oleh entitas swasta. Bila ini terjadi, sambungnya, Indonesia seolah kembali ke era VOC, masa sebuah perusahaan swasta membelenggu berbagai kerajaan di Nusantara.

Di samping itu, perjanjian stabilisasi investasi sangat bertentangan dengan Pasal 169 (a) Undang-Undang Mineral dan Batu Bara yang menyatakan, setelah kontrak karya berakhir maka tidak ada lagi perjanjian.

Hikmahanto menerangkan, perjanjian stabilisasi antara Freeport dan pemerintah pun akan bertentangan dengan Pasal 1337 KUHPerdata, yang menekankan, perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Hal janggal lain dalam HoA adalah diaturnya perubahan dari kontrak karya (KK) ke izin usaha pertambangan khusus (IUPK).

"Mengapa janggal? Janggal karena seharusnya masalah ini sudah tidak ada lagi dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017," ungkap dia.

Dalam PP tersebut, jika Freeport tetap ingin melakukan ekspor, mereka harus mengubah KK menjadi IUPK. Bila tidak, pemerintah sudah seharusnya melarang ekspor. Hasil tambang Freeport pun harus dimurnikan di Indonesia.

Dari berbagai kejanggalan tersebut, negosiasi pemerintah dan Inalum dengan Freeport tidak didampingi oleh penasihat hukum yang ahli dalam dua masalah sekaligus, yaitu perdata dan publik.

Sponsored

Sumber: Antara

Berita Lainnya
×
tekid