sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kesejahteraan dan pendidikan petani di Indonesia disebut masih rendah

Kesejahteraan petani Indonesia juga masih rendah, sehingga banyak kemiskinan di pedesaan.

Erlinda Puspita Wardani
Erlinda Puspita Wardani Selasa, 20 Des 2022 10:21 WIB
Kesejahteraan dan pendidikan petani di Indonesia disebut masih rendah

Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Raharjo mengatakan, kesejahteraan petani di Indonesia masih rendah. Bahkan, akses untuk pangan juga masih terbilang rendah, sehingga ketahanan dan kedaulatan pangan tak mengalami peningkatan.

Kondisi itu terlihat dari skala usaha tani Indonesia yang menunjukkan terjadinya guremisasi petani. Petani gurem adalah petani dengan penguasaan lahan usaha tani kurang dari 0,5 hektare (ha).

Berdasarkan data yang disampaikan Raharjo, pada 2003 rerata luas penguasaan lahan oleh petani seluas 0,8 ha. Besaran tersebut terus turun hingga 2013 yang hanya menjadi 0,3 ha. 

Kemudian, dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang juga diungkapkan Rachmat, pada 2019 yang memiliki luas lahan di bawah 0,50 ha hanya 16,2 juta orang; lalu luas lahan 2 ha sampai 2,99 ha sekitar 1,6 juta orang; dan yang memiliki lebih dari 10 ha hanya mencapai 87 ribu orang. Sedangkan, total petani saat itu yang memiliki kuasa atas lahan sebanyak 27,6 juta orang.

“Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1961 yang merupakan kelanjutan dari UU Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 menyatakan bahwa pemilik lahan agar sejahtera harus memiliki lahan minimal 2 ha. Walaupun ada UU tersebut, tidak ada program peningkatan skala usaha tani,” tutur Raharjo dalam pemaparannya  bertajuk Pangan Berdaulat, Generasi Sehat, Bangsa Bermartabat di Rapat Terbuka Puncak Peringatan Dies Natalis ke-73 UGM, Senin (19/12).  

Menurut Raharjo, di zaman orde baru terdapat program transmigrasi yang memberikan lahan 2,25 ha kepada petani. Namun, sejak reformasi, tidak ada lagi transmigrasi nasional. Dia menyebut, yang ada hanya transmigrasi lokal dari provinsi ke provinsi dengan jumlah lebih kecil.

Selain itu, program food estate, menurut Raharjo, belum jelas organisasi dan kelembagaannya. Dia berpandangan, jika program tersebut berjalan dengan jelas dan sesuai, maka program peningkatan ketersediaan pangan akan terjadi juga perbaikan struktur kepemilikan lahan petani menjadi lebih ideal. 

Dia memberikan contoh, negara yang berhasil menjalankan program tersebut antara lain Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Korea Selatan yang skala usaha taninya berhasil meningkat jauh di atas rata-rata kepemilikan lahan petani di Indonesia.

Sponsored

“Dengan kecilnya kepemilikan lahan oleh petani, pemerintah perlu diingatkan untuk membuat program peningkatan skala usaha tani seperti transmigrasi lokal dan nasional, konsolidasi lahan dan reforma agraria. Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan besar pertanian akan segera berakhir, sehingga perlu dipikirkan akan program peningkatan skala usaha tani ini bagi rakyat banyak,” ujarnya.

Lebih lanjut Raharjo mengungkapan, kesejahteraan petani Indonesia masih rendah, sehingga banyak kemiskinan di pedesaan. Ia menuturkan, rerata pendidikan petani hanya setingkat Sekolah Dasar (SD) yang ini berdampak pada rendahnya kemampuan manajemen dan adopsi teknologi pada pertanian Indonesia, dan akhirnya membuat pengembangan usaha pertanian sulit terealisasi.

“Pertanian presisi yang akan dikembangkan pun terkendala pendidikan yang rendah. Pendidikan yang rendah juga tidak memungkinkan akses ke pekerjaan selain di pertanian,” tutur Raharjo.

Dengan demikian, menurutnya, perkembangan teknologi pertanian tidak akan terjadi tanpa didukung sumber daya manusia (SDM) yang unggul. Oleh karena itu, Raharjo mengingatkan pemerintah kembali, untuk mengoptimalkan bonus demografi yang akan menjadi peluang dalam menciptakan petani-petani muda berkompeten, inovatif, berdaya saing, dan memiliki jiwa agropreneur.

“Poin penting dari bonus demografi periode 2020-2030 akan didominasi masyarakat desa. Artinya, kita perlu mempersiapkan lahirnya petani muda yang mampu mengembangkan inovasi dan kreativitas dalam pengelolaan sumber daya lokal dengan menggunakan paket teknologi menuju pertanian dan peternakan berdaya saing guna mendukung ketahanan pangan dan ekonomi nasional,” tuturnya.

Salah satu solusi yang bisa dilakukan untuk meningkatkan mutu SDM di bidang pertanian, yakni melalui Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di bidang agro dan perikanan. Raharjo menyatakan, SMK di bidang tersebut juga memiliki peran penting dalam menyikapi isu industrialisasi pertanian untuk mencetak petani muda dan baru, juga dalam upaya meningkatkan pertumbuhan di sektor pertanian.  

Berita Lainnya
×
tekid