sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

KIARA kritik pengesahan PP Penangkapan Ikan Terukur: Pintu masuk eksploitasi berkedok investasi

KIARA mencatat sedikitnya ada 7 masalah mendasar materiil PP Penangkapan Ikan Terukur (PIT).

Fatah Hidayat Sidiq
Fatah Hidayat Sidiq Kamis, 09 Mar 2023 20:43 WIB
KIARA kritik pengesahan PP Penangkapan Ikan Terukur: Pintu masuk eksploitasi berkedok investasi

 
Pemerintah dinilai mengabaikan aspirasi pulik lantaran mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PP PIT), Selasa (6/3). Langkah tersebut disebut kian mengukuhkan watak asli rezim saat ini sekadar mementingkan investasi tanpa mementingkan aspek keberlanjutan ekologi dan stok sumber daya perikanan (SDI).

"[PP] Penangkapan Ikan Terukur menjadi pintu masuk eksploitasi dengan kedok investasi dan penangkapan yang terukur. Pengesahan ini jelas bertentangan dengan prinsip/asas keadilan dan kelestarian sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang tentang Perikanan," kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, dalam keterangannya, Rabu (9/3).

Menurutnya, penerbitan PP PIT mestinya melalui proses uji coba berbasis ilmiah dan merujuk Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) Nomor 19 Tahun 2022. Pangkalnya, potensi SDI dan tingkat pemanfaatan yang berada mayoritas wilayah pengelolaan perikanan (WPP) menunjukkan status full dan overexploited.

Karenanya, Susan berpendapat, PIT sebagai alat mencapai keberlanjutan menjadi masalah mendasar materiil PP PIT. "Terminologi penangkapan ikan terukur juga tidak ditemukan dalam Undang-Undang Perikanan sehingga perumusan kebijakan ini bukan merupakan mandat konstitusi."

Kedua, kategori skala tonnase kapal nelayan kecil dalam PP PIT tidak disebutkan sehingga menjadi celah bagi nelayan yang bukan skala kecil untuk memproduksi di daerah penangkapan ikan terbatas. Ketiga, pemberian kuota industri bakal menjadi masuknya penanaman modal asing (PMA) di zona 01-04 sehingga bertentangan dengan semangat UU Perikanan, yang memandatkan usaha perikanan di WPP Indonesia hanya boleh dilakukan WNI atau badan hukum Indonesia. 

Keempat, ada ambiguitas dalam defenisi nelayan kecil dan nelayan lokal dalam PP PIT serta pemberian kuota nelayan lokal akan membatasi daya jelajah nelayan maksimal sejauh 12 mil. Kebijakan tersebut bertentangan dengan daya jelajah nelayan tradisional dan kecil di berbagai tempat, seperti di Kepulauan Riau, Jawa Timur, Sulawesi Utara, dan sebagainya, yang melewati 12 mil.

Kelima, pengenaan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) kepada kuota industri, kuota nelayan lokal, bahkan kuota kegiatan bukan tujuan komersial. "Ini menunjukkan bahwa semangat PP Penangkapan Ikan Terukur hanya berorientasi pada penarikan PNBP di sektor perikanan dan kelautan, karena nelayan lokal dibawah 10 GT dan kegiatan bukan komersial juga akan dikenakan pungutan tersebut," sambungnya.

Keenam, PP PIT akan melanggengkan praktik alih muatan (transhipment) di tengah laut. Pangkalnya, kontrol dan pengawasan yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) hingga kini masih minim. Ketujuh, minimnya hukuman pidana yang memberikan efek jera terhadap pelaku pelanggaran lantaran mengedepankan sanksi administratif.

Sponsored

KIARA pun mendesak pemerintah mencabut PP PIT lantaran bertentangan dengan prinsip keberlanjutan SDI dan kelautan serta menabrak UU Perikanan. Negara mestinya mengedepankan prinsip paritisipasi publik untuk keberlangsungan kekayaan di bawah laut dan meningkatkan pengawasan.

"Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan berkelanjutan, perlu ditingkatkan peranan pengawas perikanan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan di bidang perikanan secara berdaya guna dan berhasil guna serta sesuai dengan kebutuhan nelayan dan masyarakat bahari lainnya," tuturnya.

Berita Lainnya
×
tekid