Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan, sawit bukan tanaman hutan. Sikap tersebut berdasarkan berbagai peraturan pemerintah, analisis historis, dan kajian akademis berlapis.
''Dari berbagai peraturan, nilai historis, kajian akademik, wacana umum dan praktik, sawit jelas bukan termasuk tanaman hutan," kata Dirjen Pengelolaan Hutan Lestasi (PHL) KLHK, Agus Justianto, Senin (7/2).
"Pemerintah belum ada rencana untuk merevisi berbagai peraturan tersebut," sambungnya, melansir situs web KLHK.
Meski tidak menyinggung secara langsung, tetapi pernyataan ini mengisyaratkan penolakan atas rekomendasi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), yang mendorong sawit sebagai tanaman hutan. Usulan itu tertuang dalam Naskah Akademik Kelapa Sawit sebagai Tanaman Hutan Terdegradasi yang terbit di Bogor, Januari 2022.
Naskah tersebut diinisiasi Fakultas Kehutanan IPB bersama Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo). Keduanya menggagasnya sejak Oktober 2021.
Agus melanjutkan, Peraturan Menteri (Permen) LHK P.23/2021 juga tidak memasukkan sawit sebagai tanaman rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).
Dirinya menerangkan, pemerintah kini lebih fokus menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi sejak beberapa dekade lalu, terutama masifnya ekspansi penanaman sawit di dalam kawasan hutan yang non-prosedural dan tidak sah.
Menurutnya, praktik kebun sawit yang ekspansif, monokultur, dan non-prosedural di dalam kawasan hutan menimbulkan beragam masalah hukum, ekologis, hidrologis, dan sosial yang harus diselesaikan.
"Mengingat hutan memiliki fungsi ekologis yang tidak tergantikan dan kebun sawit telah mendapatkan ruang tumbuhnya sendiri, maka saat ini belum menjadi pilihan untuk memasukkan sawit sebagai jenis tanaman hutan ataupun untuk kegiatan rehabilitasi," tutur Agus.
Mengenai infiltrasi yang tidak sah atau keterlanjuran sawit dalam kawasan hutan, KLHK mendorong penyelesaiannya memenuhi unsur-unsur keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Harapannya, penegakan hukum yang dilakukan memberikan hasil terbaik bagi masyarakat dan hutan.
Dicontohkan Agus dengan regulasi jangka benah sebagai upaya memulihkan fungsi kebun sawit rakyat monokultur menjadi kebun sawit campur dengan teknik agroforestri tertentu disertai komitmen kelembagaan dengan para pihak.
Dia melanjutkan, KLHK telah menerbitkan Permen LHK 8/2021 dan 9/2021, yang merupakan regulasi turunan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK). Di dalamnya memuat jangka benah dengan menanam tanaman pohon kehutanan di sela-sela tanaman sawit.
Jenis tanaman pokok kehutanan untuk hutan lindung dan hutan konservasi yang direkomendasikan berupa pohon penghasil hasil hutan bukan kayu (HHBK). Kemudian, dapat berupa pohon berkayu dan tidak boleh ditebang.
Di dalam peraturan tersebut juga memuat larangan menanam sawit baru dan setelah selesai satu daur, lahan wajib kembali diserahkan kepada negara.
Adapun kebun sawit yang berada dalam kawasan hutan produksi diperbolehkan satu daur selama 25 tahun. Sementara itu, yang berada di hutan lindung/konservasi hanya dibolehkan sekali daur selama 15 tahun sejak masa tanam dan bakal dibongkar, lalu ditanami pohon setelah jangka benah berakhir.
Jangka benah, terang Agus, wajib dilakukan sesuai tata kelola perhutanan sosial, penanaman tanaman melalui teknik agroforestri berdasarkan kondisi biofisik dan sosial, menerapkan sistem silvikultur atau teknik budi daya tanpa peremajaan tanaman sawit selama masa jangka benah.
"Pendekatan ultimum remedium diambil sebagai tindakan jalan tengah yang adil dan baik bagi semua pihak, termasuk untuk kelestarian hutan," ucapnya.
"Ruang tanam sawit secara sah sudah ada ruang mekanismenya dan sudah terang benderang pula pengaturannya. Saat ini, yang terpenting adalah bagaimana pelaksanaan PP 24/2021 dapat kita kawal bersama agar efektif implementasinya sehingga hutan bisa lestari dan rakyat tetap sejahtera" pungkas Agus.