sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Lingkaran setan marketing ‘bakar uang’ ala startup 

Sejumlah startup berguguran sejak beberapa tahun terakhir karena tak mampu mendapatkan pendanaan dan kesulitan berinovasi.

Kartika Runiasari
Kartika Runiasari Senin, 27 Des 2021 18:12 WIB
Lingkaran setan marketing ‘bakar uang’ ala startup 

Fabelio, startup distributor furniture karya anak bangsa dilanda kabar tak sedap. Jenama di bawah bendera PT Three Elora  Nusantara ini dikabarkan belum membayar gaji karyawan dan vendornya sejak September 2021 lalu. Beredar petisi atas nama karyawan Fabelio agar perusahaan rintisan ini segera memenuhi hak-hak karyawan dan vendor yang belum ditunaikan.

Utang gaji tersebut adalah hak karyawan di level 5 dengan kisaran Rp2,5 juta sampai Rp7 juta per bulannya. “Sampai saat ini, juga belum ada klarifikasi kepada kami, kenapa gaji kami belum dibayarkan. Pihak perusahaan juga tidak pernah mengumumkan, perusahaan ini apakah akan bangkrut atau terus berjalan. Termasuk pengumuman kapan gaji dibayarkan,” demikian bunyi petisi ‘Fabelio, Segera Bayarkan Gaji Karyawan dan Vendor dari Bulan September’ di laman Change.org yang sudah memperoleh 3.677 dari target 5.000 tanda tangan ini.

Marketplace furniture ini juga dilaporkan belum membayar kewajiban kepada vendor dan mengembalikan dana (refund) kepada konsumennya. Padahal, Fabelio mengklaim bisa menyediakan furniture berkualitas dengan harga yang lebih murah 70% dengan sistem bisnis yang dibentuknya.

Startup yang lahir 1 Juni 2015 ini sebenarnya tak hanya melayani pembelian online. Tepat setahun setelah berdiri yakni tahun 2016 Fabelio juga membuka gerai offline. Tercatat, ada 15 showroom yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya.

Sayangnya, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jawa Bali sejak awal 2021 telah melumpuhkan toko offline Fabelio. Inilah yang menggerus penjualan Fabelio secara keseluruhan. Hingga pada akhirnya, CEO sekaligus Co-Founder Fabelio Marshall Tegar Utoyo mengakui perusahaan mengalami kesulitan finansial karena dampak pagebluk.

Menurutnya, penjualan yang menurun drastis itu tengah menunggu solusi dari masuknya dana investasi yang kini berada di tahap finalisasi. Dia berjanji dana segar yang akan masuk itu akan langsung digunakan untuk membayar utang gaji karyawan dan lain-lain.

Sponsored

Sebelumnya, pada tahun 2020 startup yang juga menawarkan layanan tim desainer interior lewat Fabelio Projects ini juga mengantongi pendanaan seri-C sebesar US$9 juta atau sekitar Rp127 miliar. Pendanaan itu dipimpin oleh AppWorks, Endeavour Catalyst, dan MDI Venture, termasuk investor sebelumnya, yakni Aavishkaar Capital.

Pengamat startup dari Universitas Negeri Jakarta Dianta Sebayang mengatakan masalah finansial yang membelit Fabelio tak lepas dari sempitnya segmentasi startup tersebut. Bisnis furniture yang digadang-gadang Fabelio sebenarnya tak jauh beda dengan lini bisnis perusahaan besar yang terlebih dahulu bermain di sektor yang sama.

“Dia kalah gerak dengan e-commerce, karena e-commerce lama juga jualan furniture. Kedua pemain lama yang besar di offline, sudah terkenal dia bikin juga platform digital,” kata Koordinator Pusat Inovasi dan Inkubator Bisnis UNJ ini kepada Alinea.id, Senin (27/12).

Menurutnya, masuknya para pemain besar ke ranah digital kian menambah padat pemain bisnis furniture secara online. Alhasil, persaingan ketat pun tidak bisa dihindari.

Gagal tumbuh

Perjuangan Fabelio untuk bertahan dalam bisnis digital bukanlah hal baru bagi perusahaan rintisan. Tidak sedikit startup yang tumbang karena mengalami masalah finansial yang tidak teratasi. Pun demikian dengan startup yang gagal berinovasi sehingga kalah saing dengan pemain-pemain baru dan besar.

Alinea.id mencatat beberapa startup besar di Indonesia yang pada akhirnya tutup permanen setelah sebelumnya hadir dalam bisnis digital tanah air.

Pada Maret 2019, marketplace Qlapa mengejutkan para penggunanya saat membuka situs Qlapa.com. Toko daring khusus barang kerajinan tangan ini mengumumkan pamit mundur dari bisnis yang sudah berjalan selama empat tahun. Dengan misi memberdayakan perajin lokal, Qlapa nyatanya tak mampu bertahan. Predikat aplikasi mobile ‘Hidden Gem’ dari Google Play dan salah satu startup dengan pertumbuhan paling menjanjikan versi majalah Forbes pun tidak membuat aplikasi ini tetap berkibar.

Ilustrasi Pexels.com.

Meski memiliki keunikan tersendiri, bisnis Qlapa ternyata tidak cukup prospektif untuk berkembang. Padahal, setelah dua tahun beroperasi, pada Maret 2017 Qlapa sempat mengumumkan  perolehan pendanaan Seri A dari Aavishkaar, perusahaan investasi asal India.

Tidak diketahui nilai investasi tersebut namun pendanaan yang dipimpin Aavishkaar Frontier Funds (AFF) juga menggandeng investor lain diantaranya Kapan Lagi Network (KLN), Global Founders Capital (GFC), dan Budi Setiadharma (angel investor). Sayangnya, marketplace yang menjadi andalan bagi para UMKM kerajinan tangan memasarkan produknya ini kalah bersaing dengan hadirnya e-commerce lain.

Sebelumnya, aplikasi Qlapa juga sempat mengumumkan restrukturisasi operasional kepada para pelanggannya sejak 13 Desember 2018 yang membuat akses dari situs maupun aplikasi ditutup. Qlapa juga mengklaim telah menyalurkan puluhan miliar rupiah ke para perajin lokal selama hampir empat tahun beroperasi.

Startup lain yang juga cukup bersinar dan kemudian redup adalah Tokobagus. Boleh dibilang, Tokobagus ini menjadi pionir dalam perkembangan e-commerce di tanah air. Aplikasi yang beroperasi sejak 2005 ini sempat mengalami kejayaan pada tahun 2012 yang mencatat jumlah pengunjung dalam sehari mencapai 1 miliar. 

Marketplace ini menjadi platform untuk mengunggah dagangan dan mencari barang dengan model bisnis consumer to consumer (c-to-c). Pada akhirnya, Tokobagus diakuisisi oleh Naspers dan kemudian berganti nama menjadi OLX Indonesia. Sebagai induk, Grup OLX yang didirikan oleh Fabrice Grinda dan Alec Oxenford pada tahun 2006 sendiri saat ini sudah berada di 106 negara. 

Adapun Naspers masuk sebagai investor strategis di OLX, setelah dikabarkan berinvestasi sebesar US$20 sampai US$40 juta. Sebelum masuknya Naspers, OLX telah mendapat pendanaan sebesar US$28.5 juta dari beberapa investor yaitu Bessamer Venture Partners, Founders Fund, DN Capital, General Catalyst Partners, dan Nexus Ventures. Sayangnya setelah berganti nama, kepopuleran OLX memudar dan kalah saing dengan e-commerce seperti Blibli, Bukalapak, maupun Tokopedia

Selain Traveloka, situs aplikasi perjalanan wisata Valadoo juga pernah mewarnai dunia digital tanah air. Setelah berdiri pada tahun 2010 lalu, Valadoo akhirnya resmi tutup pada tahun 2015 atau hanya berumur 5 tahun. Startup ini sempat mendapatkan pendanaan tahap awal (seed funding) dari Wego senilai US$ 550.000.

Founder Valadoo, Jaka Wiradisuria mengakui tutupnya Valadoo sebagai kegagalan karena dirinya sering terlambat dalam menentukan langkah-langkah strategis.  Menurutnya, membuat layanan travel sebenarnya tidaklah sulit.

Namun pilihannya ada pada strategi untuk menjadi layanan yang hanya fokus pada satu destinasi pariwisata atau sebaliknya menyediakan layanan untuk seluruh destinasi di Indonesia, tapi jadi yang terbaik dalam hal platform. 

“Untuk memilih dua jalur tersebut, saya akui ketika itu saya terlambat. Sebagai leader, saya juga belum terlalu matang dalam memutuskan hal hal yang berat," imbuhnya saat acara Workshop Gerakan Nasional 1.000 Startup Digital, di Jakarta, beberapa tahun lalu.

Ketiga startup tersebut menjadi contoh dari banyaknya perusahaan rintisan yang gulung tikar. Padahal, Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan startup cukup subur. Bahkan, Indonesia menduduki posisi kelima negara dengan jumlah startup terbanyak di dunia.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan Indonesia telah memiliki lebih dari 2.100 perusahaan rintisan atau startup.

“Sampai September 2021 terdapat tujuh unicorn dan dua decacorn. Tumbuhnya inovasi ini tidak lepas dari kebijakan otoritas yang tidak membatasi, tapi mendorong kehadiran digitalisasi,” kata Wimboh dalam OJK Virtual Innovation Day 2021 secara daring yang dipantau di Jakarta, Senin (11/10).

Menteri Komunikasi dan Informasi Johnny G Plate menambahkan selain satu decacorn yakni Gojek, Indonesia telah  memiliki delapan unicorn antara lain Tokopedia, J&T Express, Traveloka, OVO, Bukalapak, OnlinePajak, Xendit, dan Ajaib. Terbaru, CB Insights melansir ada tambahan jumlah unicorn baru di tanah air yakni Kopi Kenangan yang mendapatkan pendanaan seri C sekitar Rp1,3 triliun.

“Jumlah pengguna internet yang mencapai 202,6 juta orang per Januari 2021. Di samping itu, pengguna layanan digital di Indonesia juga mengalami pertumbuhan sebesar 37% selama pandemi Covid-19,” jelasnya pada kesempatan acara yang sama.

Merugi karena bakar uang

Di sisi lain, menjamurnya jumlah startup terlebih di masa pandemi mendatangkan tantangan yang tak kalah besar. Pengamat startup Dianta Sebayang menyebutkan startup baru banyak bermunculan di masa pandemi karena ini waktu yang tepat untuk mengenalkan produk-produk baru. Namun, tantangan utama startup di saat yang sama adalah mendapatkan investor untuk keberlanjutan bisnis dan upskilling

“Banyak investor menahan dananya karena selama pandemi banyak bisnis-bisnis tidak berjalan dengan terlalu baik,” katanya. 

Ia mencontohkan salah satu investor besar dan terkenal adalah Softbank dari Jepang yang menjadi investor di berbagai unikorn dan dekakorn di Indonesia maupun Asia Tenggara. “Itu aja lagi mengalami kesulitan cash flow juga. Jadi memang masalah utamanya di investornya,” sebutnya.

Ilustrasi Pixabay.com.

Belum lagi dengan banyaknya startup-startup lain yang bermunculan tentunya membuat ruang hadirnya pendanaan kian sempit. Termasuk pula dengan hadirnya pemain-pemain besar yang turut terjun ke dunia perusahaan rintisan seperti Air Asia.

“Bisnisnya lumayan terkenal bagus tapi karena pandemi dia masuk ke startup logistik,” paparnya.

Selain itu, Dianta juga menekankan strategi ‘bakar uang’ yang jamak dilakukan startup menjadi hal pemberat di masa pandemi ini. Menurutnya, untuk merebut hati konsumen, startup menggunakan strategi promo gila-gilaan yang menggerus profit. 

“Semakin ketat, pemain juga semakin lama berlomba bakar uang. Karena salah satu perbedaan bisnis konvensional dan bisnis digital adalah marketing bakar uang. Itu enggak umum di bisnis konvensional,” ujarnya.

Lantas berapa lama seharusnya aksi bakar uang bisa dijalankan hingga akhirnya bisnis untung? Dianta menilai semua hal ini belum dapat dipastikan. Pasalnya, startup besar kelas dunia seperti Uber misalnya, masih merugi walaupun sudah beroperasi selama 15 tahun. Karenanya, lamanya startup mendulang keuntungan ini menjadi tantangan besar tak hanya bagi startup itu sendiri tetapi juga investornya.

Belum lagi dengan beredarnya kabar bahwa petinggi startup kerap diberi gaji dan insentif yang jor-joran. Menurut Dianta, hal itu terjadi karena minimnya sumber daya manusia di bisnis digital. Sementara, duplikasi model bisnis startup sangat mudah dilakukan.

“Itu dilakukan agar SDM yang mereka miliki enggak pindah ke tempat lain karena sangat mudah orang membuat startup sejenis,” sebutnya.

Dia menambahkan, banyak startup yang harus berjibaku agar bisnisnya sustainable baik dalam hal inovasi maupun dalam hal cash flow. Padahal, tidak dimungkiri marketing bakar uang akan membuat cash flow jomplang dan merugi. 

Cash flow yang bermasalah karena masih terlalu besar beban biaya marketing ini adalah lingkaran setan marketing ala startup,” tutupnya.

Sementara itu, Pakar marketing Hermawan Kartajaya menilai investor startup sebenarnya tidak masalah jika perusahaan rintisan yang dibiayai masih merugi. Asalkan, perusahaan rintisan masih mempunyai prospek untuk tumbuh. 

“Investor awal masuk di seri A sudah dianggap cash flow, kalau dulu cash flow dari profit. Sekarang yang penting investor siapa yang masuk. Kalau Alibaba, Astra yang masuk orang lain percaya, ikut semua,” katanya dalam channel Youtube Hermanto Tanoko yang dirilis 19 Oktober 2021 lalu.

Menurutnya, startup yang merugi namun tetap tumbuh akan membuat marketing capitalnya naik. Bahkan, banyak investor yang pada akhirnya melirik startup-startup rugi namun potensial untuk tumbuh. Karena itu, dia menilai perusahaan rintisan harus memilih untuk menjadi perusahaan yang berorientasi pada profit atau pada pertumbuhan itu sendiri.

“Kalau profit dinilai wajar, tapi kalau tumbuh marketing capnya akan naik,” tambahnya.

Ia mencontohkan startup Amazon yang mengalami kerugian selama 10 tahun sebelum menjadi seperti saat ini. Begitu juga dengan e-commerce tanah air seperti Bukalapak yang baru melantai di bursa dan GoTo yang hingga saat ini belum mendulang laba.

Berita Lainnya
×
tekid