sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Marketplace pungut biaya jasa Rp1.000, masa bakar uang mulai berakhir?

Beberapa e-commerce mulai menerapkan biaya tambahan untuk jasa dan penanganan kepada pelanggan.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Senin, 15 Agst 2022 07:13 WIB
Marketplace pungut biaya jasa Rp1.000, masa bakar uang mulai berakhir?

Masa-masa pelanggan marketplace dan layanan aplikasi digital menikmati beragam promo dan diskon mulai usai. Setelah ‘menikmati’ tarif layanan normal, pelanggan kini bahkan harus ikhlas dengan tambahan biaya jasa pada setiap transaksi.

"Memang si cuma Rp1.000, tapi itu lumayan, ya. Apalagi kalau belinya enggak cuma di satu toko saja," kata salah seorang pelanggan Tokopedia, Fajar Soraya, saat berbincang dengan Alinea.id, Rabu (10/8).

Perempuan 27 tahun ini mencontohkan, ketika dia ingin membeli sepasang sepatu, tas dan alat tulis untuk keperluan kerja, terkadang dia tidak dapat membeli ketiga barang itu sekaligus di satu toko. Terkadang, Fajar harus membeli barang-barang itu di tiga toko terpisah. Artinya, dia harus mengeluarkan uang ekstra sebesar Rp3.000 untuk keperluan belanja online-nya.

"Kalau gitu kan jadi lebih boros tho. Mending kalau ada promo, bisa lebih murah, lebih membantu. Tapi kan sekarang jarang. Kalau ada biaya tambahan lagi, malahan jadi lebih mahal," keluhnya.

Adanya biaya tambahan tersebut membuat karyawan di salah satu perusahaan swasta di Semarang ini meragu terus berlangganan belanja di marketplace bercorak hijau itu. Sebab, dengan penghasilannya yang tak seberapa, barang dengan harga murah dan kualitas cukup baik adalah andalannya saat berbelanja.

"Kalau lebih mahal gini, ya bisa saja nanti cari barangnya di e-commerce lain, kan masih banyak juga. Pokoknya cari yang lebih murah," jelas Fajar sambil berkelakar.

Lain Fajar, lain pula Citra. Dengan pekerjaannya yang lebih banyak berada di lapangan, ketimbang di kantor, berbelanja di marketplace adalah jawaban baginya. Bahkan, perempuan 28 tahun ini memiliki akun di beberapa toko daring yang seluruhnya ia gunakan. Tokopedia, Shopee, Lazada, Blibli, Hallo Fresh, hingga toko daring milik Indomaret, Klik Indomaret ialah aplikasi-aplikasi e-commerce yang menghiasi tampilan depan telepon pintarnya.

"Kalau udah ke lapangan itu aku udah hampir pasti enggak ada waktu buat belanja. Boro-boro ke mal, enggak ada juga itu mal-nya kalau aku lagi di pedalaman. Jadi ya mau enggak mau lewat e-commerce," kata pegawai di Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem ini kepada Alinea.id, Rabu (10/8).

Sponsored

Ilustrasi belanja online. Foto Unsplash.com.

Bahkan, ketika berada di Jakarta, Citra masih sering menggunakan aplikasi lokapasar untuk sekadar berbelanja bahan makanan atau membeli makanan jadi di beberapa platform, seperti Shopee Food milik Shopee. Dia bilang, frekuensi berbelanjanya di aplikasi belanja online sedikitnya adalah dua kali dalam seminggu atau kadang bisa lebih.

Dengan ketergantungannya terhadap lokapasar, harga murah bukan jadi satu-satunya pertimbangan Citra untuk berbelanja di suatu platform. Kualitas dan kecepatan pengiriman adalah hal lain yang sangat penting baginya.

"Kalau pas sibuk banget gitu, ya udah tinggal check out-check out,  yang penting dapet barangnya cepat," lanjut dia.

Ia pun menilai pengenaan biaya jasa aplikasi atau penanganan, bukan masalah besar. Lagi pula, biaya jasa aplikasi yang dikenakan kepada konsumen hanya di kisaran Rp1.000 per transaksi. Itu pun tidak semua e-commerce menerapkan kebijakan pengenaan biaya jasa aplikasi atau penanganan ini.

Dari pengalamannya, ada beberapa e-commerce yang tidak mengenakan biaya jasa aplikasi atau penanganan untuk transaksi dengan metode pembayaran tertentu. "Kalau memang ada biaya tambahan, ya enggak masalah, asalkan pelayanannya ke kita lebih bagus, menurutku si oke saja," kata Citra.

Tertanggal 1 Agustus lalu, Tokopedia memang resmi membebankan biaya jasa aplikasi sebesar Rp1.000 untuk setiap transaksi produk fisik, baik melalui aplikasi maupun website kepada konsumen. Artinya, akan ada biaya tambahan Rp1.000 untuk setiap pembelian barang oleh konsumen.

Namun demikian, Head of External Communication Tokopedia Ekhel Chandra Wijaya memastikan bahwa biaya jasa aplikasi tidak berlaku untuk produk keuangan, produk digital, TopAds, zakat dan donasi. 

"Kecuali transaksi pembulatan emas, donasi, atau pulsa yang disertakan dalam pembelian produk fisik," katanya, kepada Alinea.id, Selasa (9/8).

Pengenaan biaya jasa aplikasi ini praktis menarik perhatian para pelanggan marketplace dalam Grup GoTo ini, maupun marketplace lainnya. Bagaimana tidak, setelah sebelumnya dimanjakan oleh banyak diskon, kini pembeli harus merogoh kocek agak lebih dalam untuk sekali transaksi pembelian barang.

Ekhel menjelaskan, biaya jasa aplikasi ini dilakukan Tokopedia untuk meningkatkan kualitas pengalaman pengguna (consumer experience). Biaya jasa aplikasi ini, menurutnya pun tak tinggi, lantara sudah mencakup biaya pajak pertambahan nilai (PPN).

"Biaya jasa aplikasi sebesar Rp1.000 ini juga sudah termasuk PPN yang sesuai ketentuan peraturan perundangan di bidang perpajakan yang berlaku," jelasnya.

Ilustrasi Pixabay.com.

Biaya jasa aplikasi atau penanganan sebenarnya adalah hal yang lumrah untuk dilakukan oleh lokapasar maupun perusahaan digital lainya, seperti ride-hailing alias ojek online, food delivery atau jasa pengantaran makanan, hingga teknologi finansial (tekfin). Mengutip aplikasi dan website beberapa e-commerce, Shopee terlihat mengenakan  biaya penanganan Rp1.000 untuk setiap transaksi dengan pembayaran selain cash on delivery (COD) atau pembayaran di tempat.

Sedangkan Blibli mengenakan biaya penanganan jika pembeli menggunakan metode pembayaran COD dan juga menggunakan pembayaran dengan kartu kredit dengan cicilan 0 persen tenor 6, 9, 12, 18 atau 24 bulan. Kemudian Lazada dan Bukalapak sama-sama mengenakan biaya jasa atau administrasi terhadap penjual, tapi tidak mengenakan biaya jasa aplikasi atau pembayaran untuk konsumen.

Masa bakar uang berakhir

Biaya ini juga dinilai masih lumrah, asal tidak terlalu membebani konsumen. "Biaya yang dikenakan juga masih wajar, hanya di kisaran Rp1.000. Selama tidak progresif dan tidak berbentuk persentase saya bisa bilang wajar," ujar Ekonom sekaligus Kepala Pusat Inovasi dan Ekonomi Digital Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda, kepada Alinea.id, Kamis (11/8).

Apalagi, saat ini e-commerce sudah mulai mengakhiri masa bakar uangnya dan berbalik untuk mendapatkan keuntungan. Strategi ini, lanjut Huda menjadi cara lain bagi e-commerce untuk mendapatkan keuntungan, selain dengan memaksimalkan mitra offline seperti yang dilakukan oleh PT Bukalapak.com Tbk.

Pada tengah tahun pertama 2022, perusahaan dengan kode emiten BUKA ini membukukan laba bersih sebesar Rp8,59 triliun atau naik 1,22% dari tahun sebelumnya yang mengalami kerugian senilai Rp763 miliar. Adapun total pendapatan Rp1,6 triliun atau naik 96% dari periode yang sama tahun sebelumnya yang senilai Rp863 miliar.

"Tokopedia menggunakan strategi ini yang saya rasa bisa menjadi salah satu alternatif meningkatkan pendapatan. Walaupun saya rasa tetap akan bersaing promo juga dengan Shopee," jelas Huda.

Selama ini pengguna sudah terlanjur dimanjakan dengan berbagai promosi, mulai dari potongan harga, diskon ongkos kirim, hingga cashback. Sebaliknya, beban atau biaya layanan biasanya akan dibebankan kepada penjual. Dengan keharusan e-commerce untuk membukukan keuntungan, kini konsumen pun dituntut pula untuk menanggung beban.

"Karena kalau tidak begini, e-commerce tidak bisa menunaikan kewajibannya untuk membayar kembali nilai investasi yang telah diberikan oleh investor. Nah kalau enggak mengembalikan juga nantinya malah akan jadi masalah bagi e-commerce itu sendiri," ujar Ketua Umum Indonesia E-commerce Association (idEA) Bima Laga saat dihubungi Alinea.id, Kamis (11/8).

Menurutnya, pengenaan biaya jasa aplikasi atau penanganan ini pun sudah melalui banyak pertimbangan, mulai dari harga barang hingga minat belanja masyarakat. Beban biaya jasa aplikasi ini pun memungkinkan pelanggan beralih ke platform dagang-el lainnya. Tinggal seberapa elastis harga barang di suatu platform e-commerce.

"Semakin tinggi harga saya rasa semakin inelastis, yaitu tidak terpengaruh oleh platform fee. Tapi mungkin bagi barang dengan harga relatif rendah, maka semakin elastis atau semakin bisa pindah ke platform lainnya," ujarnya.

Dengan masih wajarnya besaran biaya aplikasi kepada konsumen, baik Bima maupun Huda pun sepakat bahwa pemerintah tak perlu sampai turun tangan untuk mengatur perkara pembebanan biaya jasa aplikasi ini.

Namun, perusahaan harus dapat memastikan bahwa penarikan biaya ini adalah untuk keperluan peningkatan pelayanan. Selain itu, marketplace yang menarik biaya jasa aplikasi baik kepada konsumen maupun penjual juga harus memastikan transparansi berapa besaran biaya yang akan mereka tarik dan juga akan digunakan untuk apa saja biaya tersebut nantinya.

Ilustrasi Unsplash.com.

"Dan yang paling penting juga adalah pihak e-commerce harus memberitahukan jauh-jauh hari sebelumnya kepada konsumen atau penjual soal penarikan biaya jasa aplikasi ini. Jadi mereka enggak kaget dan enggak merasa kok tiba-tiba ada biaya tambahan waktu belanja," jelas Bima.

Belum perlu diatur

Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan (PKTN Kemendag) Veri  Anggrijono mengatakan, pihaknya juga belum merasa perlu untuk mengatur permasalahan terkait pembebanan biaya jasa aplikasi atau penanganan ini. Sebab, selain memang masih dalam tahap wajar, lokapasar pun juga dinilai sudah seharusnya mendapatkan keuntungan.

Namun demikian, dia memastikan bahwa pihaknya akan terus menjamin kepastian hukum dalam memberikan  perlindungan  kepada  seluruh konsumen  lokapasar. Hal ini menjadi penting, lantaran seiring dengan meningkatnya aktivitas transaksi elektronik di platform digital, potensi masalah yang terjadi kepada konsumen pun ikut meningkat.

Berdasarkan catatannya, dari seluruh laporan yang masuk 95,3% diantaranya berasal dari laporan konsumen di sektor layanan online. "Mulai dari makanan dan minuman, jasa transportasi,  dan pengembalian  dana (refund)," bebernya, kepada Alinea.id, Jumat (12/8).

Kemudian, ada pula laporan terkait pembelian  barang  yang  tidak  sesuai  dengan perjanjian  atau  rusak,  barang  tidak  diterima  konsumen,  pembatalan  sepihak oleh pelaku usaha,  dan waktu  kedatangan  barang  tidak  sesuai  dengan  yang  dijanjikan.

Lalu, banyak juga laporan penipuan seperti penipuan belanja daring, serta penggunaan aplikasi media sosial yang tidak berfungsi. Dari jumlah laporan di sektor aplikasi marketplace, dirinya telah menyelesaikan 99,2% atau 9.318 pengaduan yang ada.

Sedangkan,   yang   saat   ini   masih berproses sebanyak tujuh kasus pengaduan. Pengaduan  yang  dinyatakan  dalam  proses merupakan pengaduan yang masih menunggu kelengkapan data dari  konsumen, dalam proses analisis dokumen,  menunggu klarifikasi dari pelaku  usaha  atau  konsumen,  dan  juga  sedang  dalam  proses  mediasi.

“Penyelesaian pengaduan konsumen akan terus kami tingkatkan sebagai  wujud pemerintah hadir  dalam  melindungi  konsumen  Indonesia  dan  menciptakan  konsumen  berdaya, serta pelaku usaha yang tertib,” tutup Veri.
Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia. 
 

Berita Lainnya
×
tekid