sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Meraba nasib waralaba F&B setelah bangkrutnya Pizza Hut

Pandemi telah mengubah semua proyeksi pertumbuhan waralaba di 2020.

Fajar Yusuf Rasdianto
Fajar Yusuf Rasdianto Senin, 20 Jul 2020 17:35 WIB
Meraba nasib waralaba F&B setelah bangkrutnya Pizza Hut

Akhir tahun lalu, para pelaku bisnis optimistis bahwa model usaha waralaba atau franchise akan tumbuh pesat tahun ini. Diperkirakan, pertumbuhannya bakal mencapai 20% dibandingkan tahun lalu. Pertumbuhan akan didominasi oleh waralaba food and beverage (F&B) yang diperkirakan mencakup 40% dari total keseluruhan.

Keyakinan itu muncul usai diterbitkannya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba pada November tahun lalu. Beberapa aturan yang sebelumnya ketat semakin longgar. Misalnya, dihapusnya batasan gerai waralaba, tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang sebelumnya wajib 80% kini hanya menjadi wajib, hingga batasan master franchise bagi pemberi waralaba asing.

Selain itu, beleid ini juga menyebutkan ada penyederhanaan proses permohonan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW) yang kini dapat dilakukan secara daring. Termasuk juga soal penyederhanaan dokumen STPW.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Suhanto menyatakan, aturan ini dibuat untuk mendorong bisnis waralaba lokal semakin berkembang dan mampu bersaing dengan waralaba asing.

“Kebijakan baru ini juga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan industrinya sebagai pemasok bahan baku dalam bisnis waralaba,” tutur Suhanto seperti dinukil dari laman resmi Kemendag, Sabtu (26/11/2019).

Berdasarkan data Kemendag, saat ini baru ada 370 waralaba lokal dan asing yang memiliki STPW. Angka ini tumbuh 10,4% setiap tahunnya. Diharapkan dengan adanya aturan baru tersebut, pertumbuhan waralaba di Indonesia bisa semakin pesat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Pandemi berkata lain

Optimisme itu pun kian gencar disampaikan oleh sejumlah asosiasi waralaba dalam beberapa kesempatan. Setidaknya hingga Februari 2020, dua asosiasi besar waralaba di Indonesia, yakni Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) serta Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (Wali) masih yakin bahwa bisnis waralaba akan tumbuh pesat tahun ini.

Sponsored

Namun kemudian, keyakinan itu perlahan buyar saat ‘nelangsa’ virus bernama SARS-Cov2 mulai menjalar ke Indonesia pada awal Maret 2020. Virus ini memaksa pemerintah memberlakukan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna menahan laju penyebaran virus korona baru tersebut.

Walhasil, masyarakat di sejumlah wilayah zona merah Covid-19 pun terpaksa berdiam diri di rumah. Dampaknya, jalan-jalan menjadi sepi, mal tutup, restoran kehilangan pelanggannya, aktivitas ekonomi membeku, dan dunia dilanda krisis terparah sepanjang sejarah.

Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyebut, dampak pandemi telah menjalar ke hampir seluruh sendi bisnis, termasuk waralaba. Sektor kuliner terpukul paling telak.

PSBB membuat sebagian besar pewaralaba tidak bisa memaksimalkan operasional perusahaan lantaran adanya kebijakan pembatasan pengunjung restoran menjadi hanya 50% dari kapasitas. Akibatnya, banyak restoran waralaba di Indonesia yang tutup dan berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sejumlah karyawan.

“Kedua, produksi ‘kan pasti mengalami penurunan. Jadi kalau dia enggak beroperasi, berarti penerimaan bahan baku dan lain sebagainya juga akan turun, sehingga nilai tambah pasti juga akan menurun,” terang Enny pekan lalu.

Terbukti, dua bulan setelah Covid-19 masuk ke Indonesia, PT Fast Food Indonesia Tbk. yang membawahi restoran cepat saji Kentucky Fried Chicken (KFC) pun menutup 115 gerainya di Indonesia.

Dikutip dari keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), pihak manajemen menyebut, penutupan gerai dilakukan lantaran perseroan telah menderita penurunan pendapatan sebesar 25%-50% semenjak tiga bulan terakhir. Penutupan itu menyebabkan 4.988 karyawan telah dirumahkan, sementara 4.847 lainnya harus menerima pemotongan gaji.

“Terdapat 115 gerai yang ditutup karena mal/plaza harus tutup karena dampak Covid-19 di berbagai kota di Indonesia,” terang surat manajemen Fast Food, (19/5).

Situasi nyaris serupa juga terjadi pada PT Top Food Indonesia. Perusahaan yang menaungi waralaba Es Teler 77 ini juga telah menutup sejumlah gerai di Indonesia. Direktur PT Top Food Indonesia Andrew Nugroho mengatakan, penutupan dilakukan lantaran perusahaan telah menderita penurunan pendapatan sebesar 80% semenjak pandemi.

“Ada yang tutup permanen ada. Ada lah ada beberapa,” terang Andrew saat dihubungi Alinea.id pekan lalu.

Menurutnya, penurunan pendapatan terjadi sejak bulan Maret atau setelah adanya peraturan pembatasan sosial, termasuk soal pengunjung mal yang mulai dibatasi. Es Teler 77 pun tak tinggal diam dan akan berinovasi menghadapi situasi pandemi.

"Kan kita ada yang delivery, ada yang frozen food. Tapi 'kan juga semua melakukan yang sama ya, jadi persaingan di online lainnya juga meningkat ya," tambahnya.

Kondisi lebih parah menimpa waralaba asal Korea Selatan, Lotteria. Per 29 Juni 2020, restoran cepat saji yang pertama kali hadir di Indonesia pada 2011 itu resmi ditutup. Melalui akun Instagram @lotteriaindonesia, pihak manajemen Lotteria mengucapkan selamat tinggal bagi seluruh pelanggannya di Indonesia. Total sembilan gerai Lotteria ditutup serentak hari itu.

“Terima kasih atas kepercayaan Lotteria selama 9 tahun ini. Banyak kenangan manis yang kita lewati bersama. Dengan berat hati kami umumkan bahwa semua store Lotteria akan tutup secara permanen per tanggal 29 Juni 2020,” terang manajemen Lotte Grup lewat akun Instagram-nya, (20/6).

Global tumbang, lokal bangkit

Tidak hanya di Indonesia, nasib nahas juga menimpa pelaku waralaba di negeri Paman Sam. Awal Juli lalu, NPC Internasional Inc (NPC) pemegang hak merek waralaba Pizza Hut dan Wendy’s terbesar di dunia mengajukan Chapter 11 kepada pengadilan Texas, Amerika Serikat (AS).

Pengajuan Chapter 11 ini dilakukan NPC untuk melakukan pra-negosiasi utang perusahaan yang telah mencapai US$903 juta atau setara Rp13,35 triliun. Pihak manajemen NPC menyampaikan, perusahaan terpaksa mengajukan permohonan pailit lantaran pandemi Covid-19 telah memukul sebagian besar cabang restoran yang dimiliki perseroan.

Salah satu gerai Pizza Hut di Texas, Amerika Serikat terlihat sepi pada 2 Juli 2020. Foto Reuter.

Berdasarkan situs resmi perusahaan, saat ini NPC memiliki total 1.200 gerai Pizza Hut dan hampir 400 restoran Wendy’s. Total pekerja yang berada di bawah NPC mencapai 40.000 orang dan tersebar di 27 negara bagian AS.

Kabar ini pun langsung dikaitkan dengan nasib pewaralaba atau franchisor Pizza Hut di Indonesia, yakni PT Sari Melati Kencana Tbk. (PZZA). Isu tidak sedap itu secara tidak langsung telah memengaruhi laju nilai saham PZZA di lantai bursa.

Setidaknya sejak dua pekan terakhir, nilai saham PZZA terus mengalami kontraksi hingga pada Senin (20/7) ditutup melemah di level 645 basis poin (bps). Angka ini turun 2,7% dibandingkan penutupan bursa 17Juli 2020 yang masih di angka 660 bps. Pada 22 Juni lalu, saham PZZA masih bertengger di harga 860 per lembarnya.

Namun demikian, Direktur Operations & Marketing PT Sari Melati Kencana Tbk. Joe Sasanto tetap mengatakan bahwa kabar pailitnya NPC itu tidak ada pengaruhnya sama sekali bagi PZZA. Keduanya, kata Joe, merupakan dua badan hukum yang terpisah, baik dari sisi operasional maupun keuangan.

Sehingga apa yang terjadi pada NPC tidak ada akan bisa memberikan dampak langsung pada kinerja PZZA. Bahkan, sambungnya, saat ini Pizza Hut Indonesia masih menjalankan kegiatan usahanya secara normal dengan kondisi keuangan yang sehat.

Lebih dari itu, alih-alih menutup gerai, PZZA justru menambah jumlah cabang baru di beberapa kota. Total ada lima gerai Pizza Hut yang dibuka di tengah pandemi. Lima cabang itu berada di wilayah Cikupa, Pangkal Pinang, Bekasi, Cilacap dan Banyuwangi. Serta tambahan dua lainnya yang saat ini masih dalam tahap konstruksi di Palopo dan Singkawang.

Outlet baru Pizza Hut juga sudah mulai dilanjutkan kembali. Ya, yang sudah buka termasuk 1 PHD (Pizza Hut Delivery) di Padang,” tulis Joe melalui pesan singkat kepada Alinea.id, (14/7).

Diakui Joe, pandemi memang telah memberikan dampak bagi jumlah konsumen dine in (makan di tempat) Pizza Hut. Tetapi hal itu bisa dengan cepat diatasi PZZA lantaran perseroan sudah lama melakukan konsep penjualan melalui daring atau delivery.

Dengan begitu, kata ia, penurunan pendapatan dari konsumen dine in pun bisa lekas ditutupi seiring meningkatnya penjualan daring. “Selain itu kami juga rutin mengadakan inovasi produk baru, promosi paket diskon dan kerja sama pembayaran kartu kredit dan e-payment,” katanya.

Penjualan daring bukan solusi

Memang, penjualan secara daring barangkali bisa menjadi salah satu solusi pamungkas waralaba mengatasi pandemi. Tetapi, berjualan secara daring pun bukan berarti tanpa risiko. Ketua Perhimpungan Waralaba dan Lisensi Indonesia (Wali) Levita Supit mengatakan, ada hal-hal yang akan dikorbankan jika seluruh aktivitas penjualan waralaba dilakukan secara daring.

“Skenario terburuk adalah semua penjualan dilakukan melalui online sehingga mengurangi cost untuk tempat, utility, tenaga kerja, dan lain-lain” kata Levita kepada Alinea.id pekan lalu.

Untuk itu, lanjut ia, para pelaku waralaba tidak bisa hanya mengandalkan penjualan daring untuk mengatasi pandemi. Mereka harus berupaya mencari inovasi dan kreativitas baru untuk mencari cara lain agar terlepas dari cengkeraman Covid-19.

“Contohnya sejak pandemic banyak diproduksi makanan frozen (beku) dan direspons baik oleh masyarakat,” imbuhnya.

Pernyataan senada juga disampaikan Ketua Asoasiasi Franchise Indonesia (AFI) Anang Sukandar. Menurutnya, berjualan secara daring saja tidak bisa menjamin para pelaku waralaba dapat bertahan. Sebab saat ini, katanya, hampir semua bisnis waralaba telah melakukan penjualan daring.

Sebaliknya, persaingan ketat dalam penjuaran daring ini justru akan menjadi ‘seleksi alam’ tersendiri bagi para pelaku waralaba. Mereka yang mampu memenangkan persaingan ini akan bertahan. Sementara yang kalah akan bubar.

Karena itu, hemat Anang, saat ini justru waktu paling tepat untuk menguji kembali projected income statement para pelaku waralaba dalam menjalankan bisnisnya. Para pelaku waralaba itu perlu berkaca kembali apakah selama ini mereka telah menjalankan bisnis dengan benar atau—meminjam istilah Anang—hanya melakukannya dengan ‘asal-asalan’.

“Jangan asalan, harus punya ciri keunikan, ciri khas supaya mereka bisa bertahan, dan punya pengelolaan yang benar,” terang Anang saat dihubungi Alinea.id.

Sementara pakar pemasaran Yuswohady punya pandangan yang sedikit berbeda. Ia menilai bahwa yang menjadi kunci keberhasilan waralaba atau bisnis secara keseluruhan lolos dari krisis adalah dengan cara mengenali perilaku konsumen semasa pandemi.

Menurut Yuswohady, perubahan perilaku konsumen saat ini telah mengarah kembali pada kebutuhan yang paling dasar. Jika sebelumnya konsumen kerap berpretensi pada produk-produk yang memiliki tipikal berkelanjutan, berkualitas dan terjangkau, kini kebutuhan konsumen mulai kembali pada kebutuhan insaninya, yaitu keselamatan dan keamanan.

“Sekarang ini prioritas sampai dengan akhir tahun depan, dalam jangka short term itu setiap pemain termasuk waralaba itu adalah meyakinkan konsumen itu bahwa ke resto itu aman, ke mal itu aman, naik pesawat itu aman, ke pasar itu aman,” papar ia.

Dengan cara ini, ia meyakini bahwa ke depan konsep waralaba bakal tetap menjadi salah satu bisnis yang cukup digandrungi semasa atau pascapandemi. Apalagi jika mengingat konsep waralaba ini merupakan bisnis dengan skema asset light atau kepemilikan aset sedikit.

Dibandingkan konsep usaha lain, waralaba atau kemitraan termasuk salah satu bisnis yang paling minim risiko. Faktornya, kata ia, kepemilikan aset dan modal yang digelontorkan pengusaha akan jauh lebih kecil dibandingkan jika mereka harus membuka usaha baru.

Selain itu, kekuatan jenama atau merek dari waralaba juga akan meminimalisir risiko kerugian yang mungkin terjadi di tengah ketidakpastian seperti sekarang. Posibilitas profit pun dapat dikalkulasi dengan cermat dengan berkaca pada sejumlah gerai yang sudah eksis.

“Contoh gampangnya aku mau bikin restoran. Daripada aku bikin sama sekali baru ‘kan risikonya tinggi ‘kan. Aku lebih baik akan makai franchise, yang memang secara hasil pasti dibagi kepada franchisor. Tetapi secara risko lebih kecil,” pungkasnya.


 

Berita Lainnya
×
tekid