sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pengamat tolak wacana pemberlakuan DMO batu bara

kebijakan penghapusan DMO Batubara ini dinilai hanya menguntungkan pengusaha batu bara saja. 

Cantika Adinda Putri Noveria
Cantika Adinda Putri Noveria Selasa, 31 Jul 2018 17:32 WIB
Pengamat tolak wacana pemberlakuan DMO batu bara

Rencana pemerintah menghapus aturan harga khusus batu bara domestic market obligation (DMO) untuk Perusahaan Listrik Negara (PLN) ditolak sejumlah kalangan.

Direktur Eksekutif Center of Energy & Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman, menjelaskan, Undang-Undang Minerba menyebutkan energi merupakan kekayaan alam yang tidak terbarukan.

"Artinya kalau diambil secara berlebihan, tidak terpelihara secara baik akan habis. Oleh karena itu seharusnya negara bisa mengelolanya dan bisa memberi nilai tambah untuk hajat orang banyak," jelas Yusri, Selasa (31/7) dalam diskusi publik yang membahas ketahanan energi di Jakarta.

Itulah sebabnya aturan DMO Batu bara merupakan suatu kewajiban yang harus ada. Jika tidak ada jaminan ketersediaan batu bara, akan bermasalah pada harga batu bara. Di pasaran, harga batu bara mencapai US$ 105 dollar per matrix ton. Di mana untuk kebutuhan pembangkitnya, PLN membutuhkan 4.200 sampai dengan 5.500 ton. Kalau harganya tidak dipatok bisa berimplikasi ke produksi KWH PLN. "Kalau tidak menyesuaikan keuangan PLN bisa berdarah-darah," jelas Yusri. 

Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara. Dia mengindikasikan, kebijakan penghapusan DMO batu bara ini hanya menguntungkan pengusaha batu bara saja. 

Pemerintah sendiri telah menyiapkan DMO batu bara maksimum sebesar US$ 70. Itu mengartikan PLN bisa membayar lebih untuk menambah pasokan batu bara dengan membayar lebih rendah.

Jika aturan DMO dicabut, PLN harus membayar harga pasar. HPA US$ 104 dollar per ton. Sehingga beban meningkat 115% - 120% sehingga lima bulan ke depan atau Desember bisa mencapai Rp 11 triliun. Itulah sebabnya pemerintah harus mensubsidi, agar tidak membebani keuangan PLN. 

"Hanya segilintir pengusaha batubara, yakni, 1.000 - 2.000 pengusaha. Dibandingkan jumlah penduduk Indonesia 250 juta jiwa, yang seharusnya bisa nikmatin listrik lebih banyak. Negara seperti apa ini?," tegas Marwan. 

Sponsored

Ada baiknya pemerintah pusat koordinasi dengan pemerintah daerah, terutama di provinsi karena kebanyakan pusat usaha tambang batu bara ada di pelosok negeri. Ketika database sudah tersusun, pemerintah bisa menerapkan wind fall tax profit kepada mereka.

"Ini memang masalah juga bagi kita di Indonesia. Saya mengkhawatirkan yang ada di daerah-daerah ini tidak terdaftar. Bagaimana mau bayar pajak, dan menerapkan DMO. Terserah nanti yang memasok siapa, tapi harus dikompensasi dengan prinsip prorated," papar Marwan.  

Selain itu, sebaiknya pemerintah konsisten dengan aturan yang ada mengenai kebijakan energi nasional, yakni perlu ada konservasi dan konsisten. 

Misalkan saja, jika per tahunnya pelaku usaha hanya boleh memproduksi 400 ton batu bara, dan tahun depan turun menjadi 350 ton. Hal itu dilakukan guna menjaga keamanan pasokan energi untuk jangka panjang.

Terlebih PLN baru saja merealisasikan proyek 35.000 Megawat dan ke depan akan banyak membangun pembangkit primer batu bara. 

"Bagaiman batu bara bisa dipasok dan seperti apa ketahanan energi terjaga, kalau sekarang jor-joran," ujarnya. 

Untuk diketahui, pemerintah beralasan pembatalan DMO Batu bara bisa mendongkrak nilai ekspor batu bara guna menambah devisa untuk mengamankan defisit transaksi berjalan di Indonesia. 

Pada kesempatan yang sama, Ketua Harian YLKI Tulus Abadi, menjelaskan, dari sisi kebijakan publik, langkah yang akan ditempuh pemerintah merupakan sebuah kemunduran. 

Selama ini harga DMO batu bara ditetapkan pemerintah, sebesar US$70 per metrik ton. Bukan berdasar harga internasional. Jika wacana ini diterapkan maka artinya pemerintah lebih pro kepada kepentingan segelintir orang (pengusaha batu bara) daripada kepentingan masyarakat luas yakni konsumen listrik. 

"YLKI menduga wacana tersebut secara personal merupakan bentuk conflict of interest," paparnya. 

Selain itu, formulasi yang digagas Menko Maritim dengan menganalogikan dengan industri sawit, merupakan formulasi yang merendahkan martabat PT PLN sebagai BUMN dengan aset terbesar di negeri ini.

"Kepentingan nasional tidak bisa direduksi dan tidak boleh tunduk demi kerakusan kepentingan pasar," tegasnya.

YLKI mendesak pemerintah membatalkan wacana penghapusan DMO Batu bara tersebut, demi kepentingan yang lebih besar dan luas, yakni masyarakat/konsumen listrik di Indonesia. 

Jangan sampai formulasi ini memberatkan finansial PT PLN, dan kemudian berdampak buruk pada pelayanan dan keandalan PT PLN kepada konsumen listrik.

"Wacana Menko Maritim untuk mencabut DMO Batu bara harus ditolak," pungkas Tulus. 
 

Berita Lainnya
×
tekid