Peluncuran Solar Academy Indonesia menandai pergeseran fokus dalam proyek energi surya nasional. Tantangan utama bukan lagi pada kesiapan infrastruktur, melainkan pada ketersediaan dan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni di bidang ini.
Pemerintah menargetkan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebesar 17,1 gigawatt hingga 2035. Target ini menjadi bagian dari peta jalan energi nasional dan digadang-gadang sebagai proyek energi surya terbesar dalam sejarah Indonesia.
Namun, pertanyaan yang muncul bukan hanya siapa yang akan membangun panel surya, tetapi siapa yang mampu menjalankan, merawat, dan mengelola sistemnya dalam jangka panjang.
Ini merupakan tantangan yang harus dijawab generasi muda Indonesia dengan mempersiapkan diri untuk merebut peluang tersebut, jika tidak ingin hanya menjadi penonton di industri energi masa depan ini.
SDM Lokal: Faktor Kunci untuk Energi Surya
Wakil Ketua Dewan Pakar Bidang Riset dan Teknologi, Asosiasi Energi Surya Indonesia, Arya Rezavidi, MEE, Ph.D, yang hadir dalam peluncuran Solar Academy Indonesia, Kamis (19/6) menyoroti perlunya distribusi teknisi yang merata secara geografis.
“Kalau ada PLTS di Indonesia Timur rusak, tapi semua teknisinya ada di Jawa, coba bayangkan berapa biaya akomodasi dan waktu yang dibuang. Proyek PLTS ini memerlukan investasi yang tinggi dan jangka waktu operasional yang lama, kualitas SDM menjadi faktor yang krusial,” ujarnya.
Sementara itu, Philip Effendy, Vice President of Operations Xurya Daya Indonesia, menekankan pentingnya pembangunan kapasitas tenaga kerja lokal.
“Solar Academy Indonesia bukan sekadar pelatihan, tapi wujud komitmen kami membangun ekosistem green jobs dari akar rumput. Kita butuh SDM yang tidak hanya bisa pasang panel, tapi juga bisa merancang dan mengelola sistem energi surya ke depan,” katanya.
Green Jobs Bukan Sekadar Tren
Dalam kesempatan yang sama, pakar komunikasi keberlanjutan Glenn Jolodoro menyampaikan bahwa persoalan utama dalam pengembangan proyek PLTS tidak terletak pada teknologi, melainkan pada kesiapan manusia yang akan menjalankannya.
“Jika target PLTS ingin tercapai, kita butuh lebih dari 300 ribu orang dari level teknisi sampai direktur. Tantangannya bagaimana mencetak manusia yang bisa mengisi peran-peran strategis tersebut dalam waktu cepat,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan institusi pendidikan untuk mempercepat kesiapan SDM.
“Pendidikan kita harus berlari secepat proyek ini dibangun. Kalau tidak, kita PLTS tidak akan menjadi solusi lapangan kerja di kalangan Gen Z,” katanya.
Glenn menambahkan bahwa dalam konteks transisi energi dan ekonomi hijau, peluang kerja ramah lingkungan atau green jobs bukan lagi sekadar tren global, melainkan realitas yang harus segera dijemput oleh generasi muda.
“Kalau Gen Z tidak ambil bagian hari ini, besok kursinya akan diisi tenaga kerja asing,” ujarnya.