Rendahnya tax ratio di tengah tingginya korupsi dan penghindaran pajak
Tax ratio Indonesia menjadi salah satu yang rendah dibandingkan negara lain. Praktik korupsi dan penghindaran pajak menjadi penyebabnya.
Hal tersebut menjadi penting karena selama ini penerimaan pajak Indonesia ditopang oleh dua komponen, yakni Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh). Pada tahun lalu, penerimaan pajak dari PPh Non Migas mencapai Rp920,4 triliun, PPN dan PPnBM sebesar Rp687,6 triliun, PPh Migas sebesar Rp77,8 triliun, serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak lainnya sebesar Rp 31 triliun.
Sedangkan Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) memberikan sumbangan 22,7% terhadap penerimaan pajak. Selain itu, PPN Impor memberikan andil 15,8% terhadap penerimaan pajak 2022.
Pajak korporasi atau PPh Badan memberikan sumbangan 19,9% terhadap penerimaan pajak 2022. Sementara pajak karyawan atau PPh 21 memberikan sumbangan 10,2% terhadap penerimaan negara pada 2022, tumbuh 16,34% lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pada 2021 yang mencapai 6,26%. Meski begitu, pada tahun 2022 PPh OP justru minus 6,29%.
“Mengapa penerimaan PPh OP kita kecil? Karena basisnya kecil, pendapatan perkapita Indonesia kecil. Di sisi lain, PTKP (penghasilan tidak kena pajak) cukup tinggi. Jadi PPh OP hanya dikenakan ke sebagian dari penduduk Indonesia,” jelas Fajry.
Komponen pajak | Penerimaan pajak (Rp miliar) | Perubahan | Tax ratio (%) | Perubahan | ||
2020 | 2019 | 2020 | 2019 | |||
Pajak atas penghasilan, keuntungan, dan keuntungan modal | 594.033 | 772.266 | -178.232 | 3,8 | 4,9 | -1,1 |
Penghasilan pribadi, keuntungan dan keuntungan dari investasi | 168.15 | 179.37 | -11.22 | 1,1 | 1,1 | 0,0 |
Penghasilan perusahaan dan keuntungan investasi | 425.883 | 592.895 | -167.012 | 2,8 | 3,7 | -0,9 |
Kontribusi keamanan sosial | 91.024 | 79.631 | 11.393 | 0,6 | 0,5 | 0,1 |
Pajak atas barang dan jasa | 663.844 | 745.592 | 81.748 | 4,3 | 4,7 | -0,4 |
Pajak pertambahan nilai/pajak barang dan jasa | 441.773 | 515.972 | -74.199 | 2,9 | 3,3 | -0,4 |
Pajak atas barang dan jasa tertentu | 213.031 | 213.476 | -445 | 1,4 | 1,3 | 0,1 |
Cukai | 176.309 | 172.422 | 3.887 | 1,1 | 1,1 | 0,0 |
Bea cukai dan bea masuk | 32.443 | 37.527 | -5.083 | 0,2 | 0,2 | 0,0 |
Pajak lainnya | 206.43 | 237.223 | -30.793 | 1,3 | 1,5 | -0,2 |
Total | 1.555.331 | 1.834.711 | -279.38 | 10,1 | 11,6 | -1,5 |
Sumber: OECD
Bagaimana solusinya?
Untuk mendongkrak rasio pajak, pemerintah, melalui Kemenkeu, khususnya DJP, perlu lebih fokus dalam melanjutkan reformasi administrasi dan kebijakan perpajakan secara paralel. Sebab, kata Yusuf Wibisono, yang paling penting adalah bagaimana pemerintah dapat meningkatkan tingkat kepatuhan (tax compliance) dan mengurangi tindakan pengecualian pajak (tax expenditure).
“Yang paling penting adalah reformasi administrasi perpajakan, terutama pembenahan SDM (sumber daya manusia). Karena kualitas dan integritas SDM adalah komponen reformasi terpenting dan menjadi necessary condition bagi keberhasilan reformasi perpajakan lainnya,” kata Direktur IDEAS Yusuf Wibisono.
Reformasi perpajakan yang serius juga menjadi keniscayaan di tengah kritisnya rasio pajak negara. Kalau tidak segera dilakukan, ujar dia, penerimaan pajak yang menjadi tulang punggung penerimaan negara dikhawatirkan akan ikut melemah. Pada akhirnya, perekonomian nasional pun akan semakin rentan, karena bagaimanapun penerimaan pajak lah yang akan menentukan postur anggaran dan ruang fiskal yang dimiliki pemerintah.
“Defisit anggaran dan utang pemerintah banyak bersumber dari kelemahan kinerja perpajakan. Tekanan pembayaran utang akan mendongkrak pengeluaran, menurunkan ruang fiskal dan meningkatkan kebutuhan untuk utang baru, menciptakan lingkaran tak berujung,” tulis laporan IDEAS, dikutip Alinea.id, Minggu (14/5).
Menanggapi hal ini, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti menjelaskan, saat ini reformasi perpajakan sedang digulirkan pemerintah. Hal ini tak lain untuk meningkatkan kepatuhan sukarela, ekstensifikasi, dan inovasi perpajakan hingga penggalian potensi melalui pengawasan wajib pajak (WP) strategis. Kemudian, pengawasan pun kini dilakukan secara kewilayahan.
Ada pula upaya perluasan kanal pembayaran, optimalisasi data melalui AEoI (Automatic Exchange of Information) atau pertukaran informasi yang melibatkan transmisi massal informasi wajib pajak dari negara asal ke negara tempat wajib pajak terdaftar sebagai wajib pajak serta integrasi data dengan perbankan. DJP pun mulai melakukan pembaruan sistem teknologi di bidang perpajakan melalui core tax administration system.
Sedangkan kepada para pelanggar perpajakan, Dwi menegaskan, akan ada penegakan hukum yang adil. “Reformasi perpajakan yang saat ini sedang bergulir merupakan upaya DJP dalam menghadapi tantangan dalam meningkatkan tax ratio,” katanya, kepada Alinea.id, Senin (15/5).
Dwi menyebut rendahnya tax ratio di tanah air ketimbang negara lain terjadi karena beberapa faktor. Yakni adanya policy gap (perbedaan kebijakan), compliance gap (perbedaan kepatuhan), dan formula perhitungan tax ratio Indonesia yang berbeda dengan negara lain.
Policy gap timbul karena berkurangnya penerimaan pajak akibat adanya ketentuan khusus yang berbeda dari sistem perpajakan secara umum. Dwi mengontohkan insentif pajak seperti pemberian fasilitas berupa tarif pajak yang lebih rendah untuk wajib pajak yang tergolong sebagai usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan fasilitas lainnya. Sementara compliance gap terjadi karena adanya keterbatasan kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan pajak dan kapasitas pengawasan.
“Dari sisi formula, perhitungan tax ratio Indonesia berbeda dengan negara lain karena tidak memasukkan unsur pajak daerah dan jaminan sosial sehingga Indonesia memiliki komponen yang lebih kecil dibandingkan dengan negara lain,” tutup Dwi.