sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Rumah mewah diobral: Orang kaya berburu cash kala krisis

Kalangan super kaya mulai melepas aset di kala krisis ekonomi.

Nurul Nur Azizah
Nurul Nur Azizah Rabu, 21 Jul 2021 16:41 WIB
Rumah mewah diobral: Orang kaya berburu cash kala krisis

"HOT DEAL JUAL CEPAT. TURUN HARGA JARANG ADA. For sale Menteng jual BU (Butuh Uang)," demikian bunyi sebuah iklan yang menjual rumah elit di situs Rumah.com. 

Alinea.id menemukan iklan tersebut pada Rabu (21/70). Penawaran rumah dua lantai di Pondok Indah itu dibanderol seharga Rp23 miliar dengan SHM (Sertifikat Hak Milik). Rumah mewah di kawasan elit Jakarta Selatan ini memiliki luas bangunan 485 meter persegi dan luas tanah 612 meter persegi.

Di masa pandemi ini, penjualan rumah di kawasan elit ibu kota seperti Pondok Indah hingga Menteng tampak kian menjamur. Harganya pun cukup mencengangkan, dari belasan hingga puluhan miliar rupiah.

Bahkan, di platform jual beli online, rumah-rumah tersebut terang-terangan dijual cepat. Aneka diskon hingga iming-iming bisa nego pun ditawarkan agar pembeli terpikat. 

Di situs yang sama, ada pula rumah mewah yang ditawarkan seharga  Rp55 miliar dengan tawaran nego. Luas bangunan mencapai 940 dan lebar 693 meter persegi. Adapun fasilitasnya mencakup tempat parkir tertutup, keamanan 24 jam hingga kolam renang. 

Dengan fasilitas yang hampir serupa, ada pula rumah di kawasan Menteng yang dijual seharga Rp16,5 miliar dengan luas bangunan 350 dan luas tanah 505 meter persegi.

Hingga saat ini, Rumah.com setidaknya menawarkan penjualan sebanyak 22.136 properti dan perumahan yang dijual di Pondok Indah dan 8.661 unit di Menteng.  

Country Manager Rumah.com Marine Novita mengatakan penjualan rumah mewah di kawasan elite Jakarta seperti Pondok Indah dan Menteng, memang mengalami peningkatan sejak semester-II tahun 2020. Memasuki periode 2021, kenaikan masih terjadi namun tidak setinggi periode sebelumnya. 

Sponsored

Peningkatan penjualan tersebut menjadikan suplai rumah mewah di kawasan ibu kota kelebihan pasokan hingga berdampak pada penurunan harga jual. Apalagi, sulitnya penjualan lantas menyebabkan tren harga kian menurun. 

"Tingkat penurunan sempat berkurang, bahkan bertahan di penghujung 2020, namun kembali turun pada kuartal-I tahun 2021," ujarnya dalam keterangan pers dikutip Sabtu (10/7).

Berdasarkan data Indonesia Property Market Index per kuartal-II tahun 2021, harga rumah di sejumlah wilayah di DKI Jakarta memang mengalami penurunan yang relatif merata sekitar 0,44%. 

"Penurunan harga perumahan mewah, memang telah terjadi, namun kemungkinan besar para pemilik masih mampu menahan sehingga tidak mengobral begitu saja," katanya.  

Pencarian properti di kawasan Jabodetabek saat ini, kata dia, masih didominasi pencarian rumah tapak yakni 90% dengan lokasi pencarian terpopuler di kawasan Jakarta Selatan (24%). 

Sementara kisaran harga yang paling diminati adalah di kisaran Rp300 juta hingga Rp750 juta sebesar 27%. Jika diakumulasikan, mayoritas menginginkan hunian di bawah Rp1 miliar yakni sebesar 56%. 

Bagi para pencari properti untuk tujuan investasi, Marine menyebut, peluangnya bisa tampak pada daerah tengah kota seperti Cempaka Putih, Jakarta, yang mempunyai kisaran harga relatif terjangkau. Selain itu, juga karena pergerakan suplai dan harganya dinamis serta lebih mudah diminati. 

"Harga per meternya masih lebih terjangkau, hampir sepertiga dari wilayah Menteng," kata dia. 

Dilansir Rumah.com, properti rumah di Cempaka Putih memang dijual dengan harga yang relatif lebih murah seperti seharga Rp7,8 miliar (SHM) dengan luas bangunan 500 dan luas tanah 415 meter persegi.

Orang kaya pegang uang cash? 

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Properti dan Kawasan Ekonomi mengatakan, maraknya penjualan properti yakni rumah miliaran rupiah memang tak bisa dilepaskan dari kondisi pandemi. 

Bagi pemilik properti di kisaran Rp2 miliar, Sanny menyebut, penjualan properti itu bisa dikaitkan dengan kebutuhan atau kesulitan dalam mengangsur. Namun dia mengatakan, kebanyakan properti tersebut juga bukan merupakan hunian utama sehingga berperan sebagai aset.

"Dulu punya dana kemudian dia simpan dalam bentuk tanah atau bangunan, karena harganya enggak naik-naik. Ada juga kebutuhan lain kemudian dilepas, dalam konteks dia butuh duit," ujar Sanny kepada Alinea.id, Selasa (20/7). 

Kalangan tersebut, Sanny menyebutnya golongan orang kaya 'menengah'. Sebab, orang kaya yang betul-betul kaya (super kaya), menurutnya tidak akan begitu terguncang dengan kondisi saat ini. 

"Kalau buat kategori orang kaya (super kaya), nilai segitu mungkin harusnya bisa menutup," tegasnya.  
   
Sementara itu, Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudhistira berpendapat sejak awal pandemi memang ada kecenderungan orang kaya banyak yang membutuhkan uang tunai (cash). Baik untuk pembayaran kebutuhan hingga membiayai bisnis agar tetap bisa bertahan akibat tertekannya cash flow di masa pandemi. 

"Jadi kan ada prinsipnya, Cash is King dalam situasi krisis," ujar Bhima kepada Alinea.id, Selasa (20/7). 

Di sisi lain, kata Bhima, maraknya penjualan aset berupa properti atau rumah itu terjadi juga akibat adanya kekhawatiran akan terjadinya penurunan harga yang lebih dalam. 

"Penurunan harga dikhawatirkan berlanjut. Apalagi, di tempat-tempat premium," kata dia.  

Meski begitu, penjualan rumah mewah pada orang kaya ini, menurutnya bisa jadi hanya sebagai upaya perputaran aset. Sebab, banyak di antaranya yang bukan merupakan hunian utama namun aset. 

Ilustrasi Pixabay.com.

"Dia menjual hunian kedua, ketiga. Artinya, dia juga banyak melepaskan warisan/aset untuk bisa mendapatkan cash," imbuhnya.

Di masa seperti saat ini, dia menyebut, motif orang-orang kaya ini memegang cash adalah sebagai simpanan jangka pendek. Ada pula yang masuk instrumen investasi yang lebih berpeluang menguntungkan dibandingkan properti. Misalnya, surat utang pemerintah, investasi kripto seperti bitcoin hingga menyuntik modal ventura atau membeli saham startup digitech.  

"Ada pula potensi lain yang mulai bergeser, orang-orang kaya mulai ke ekonomi digital. Jadi fix aset (properti) itu dikurangi," katanya.  

Kilas balik ke masa krisis tahun 1998, Bhima menyebut, fenomena penjualan properti atau rumah itu sebetulnya tidak mengagetkan. Banyak orang kaya yang memilih menyimpan uangnya atau bahkan menjual aset agar bisa berpindah negara. Beberapa bahkan pindah kewarganegaraan seperti ke Singapura atau Amerika Serikat. 

"Dia (orang kaya) juga melihat, kenapa saya kaya kalau sakit? Jadi ini fenomena orang kaya yang pergi ke AS untuk dapat vaksinasi yang lebih bagus di sana," ujarnya. 

DPK melebar

Di tengah situasi 'ramai-ramai' menjual rumah mewah itu, himpunan dana masyarakat di perbankan nyatanya semakin gemuk. Fenomena itu tergambar dalam data Bank Indonesia (BI) yang mencatat dana pihak ketiga (DPK) melonjak 11,5% (year on year/yoy) menjadi Rp6.558 triliun per April 2021.

Dibandingkan bulan sebelumnya, jumlah DPK tersebut mengalami kenaikan signifikan. Mengingat pada Maret 2021, DPK perbankan hanya tumbuh 9,5% (yoy) menjadi Rp6,549,3 triliun.  

Jika dirinci berdasarkan komponen pembentuknya, giro melesat 19,5% (yoy) menjadi Rp1.664,5 triliun. Selanjutnya, tabungan juga tumbuh 12,8% (yoy) menjadi Rp2.197,7 triliun. Sedangkan, deposito tumbuh 6,1% (yoy) menjadi Rp2.695,8 triliun. 

Menariknya, giro milik perorangan melonjak 56% (yoy) menjadi Rp241,7 triliun. Sementara, giro korporasi tumbuh 17,8% (yoy) menjadi Rp1.193,7 triliun pada April 2021.

Beberapa waktu lalu, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menyampaikan pertumbuhan DPK kuartal pertama tahun 2021 yang mencapai 9,49% (yoy), tak lepas kaitannya dengan pola masyarakat yang terus menahan konsumsi. Seperti, memangkas anggaran piknik hingga urung membeli baju baru akibat pandemi. 

"Sekarang tabungan banyak, makanya DPK naik," kata Wimboh, Senin (3/5).

Ilustrasi Pixabay.com.

Data ini diperkuat oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Sampai Mei 2021, kepemilikan simpanan terdiri dari simpanan dari bank lain sebesar 26.056 dan DPK sebesar 361,58 juta akun. Adapun jumlah DPK tercatat sebesar Rp6.820 triliun. Ini terdiri dari simpanan di bawah atau sama dengan Rp2 miliar sebanyak Rp2.926 triliun dan simpanan lebih dari Rp2 miliar sebesar Rp3.894 triliun.

Adapun cakupan penjaminan (Rp2 miliar) mengalami kenaikan pada penjaminan penuh yaitu kurang lebih sama dengan Rp2 miliar menjadi 361,31 juta akun naik 3,2% (year to date/ytd). Sedangkan, penjaminan sebagian (lebih dari Rp2 miliar) mengalami penurunan 0,2% (ytd) menjadi 300,507 juta.

Konsekuensi dan tantangan 

Banyaknya orang kaya yang menyimpan dana di perbankan bukannya tanpa konsekuensi. Tanpa adanya penyaluran kredit, Bhima menyebut, kondisi itu akan menjadi masalah bagi likuiditas di tengah masyarakat. 

Di sisi lain, orang-orang kaya yang menjual aset properti kemudian masuk ke sektor keuangan saham hingga kripto itu, juga bisa berimbas ke investasi sektor riil yang seret. 

"Karena uang cash banyak yang masuk ke portofolio keuangan. Nanti investasi sektor riilnya bagaimana, siapa yang mau mendorong sektor properti atau konstruksi misalnya," kata ekonom yang pernah menjadi peneliti INDEF tersebut.  

Guna mengatasi situasi ini, mau tak mau menurutnya situasi pandemi harus ditangani dengan tepat. Dengan begitu, perekonomian pun bisa lebih stabil. 

"Kelas atas ini sebetulnya yang paling sensitif soal pandemi. Karena dia bisa berspekulasi soal keuangannya," kata dia. 

Maka dari itu, pemulihan penanganan pandemi ditambah dengan kepercayaan kepada pemerintah serta komunikasi efektifnya adalah kunci. Pemerintah, lanjutnya, juga harus menjaga rasa aman para kelas atas ini. 

"Cara konsumsi kelas atas bisa bergerak lagi, harus ada confident," pungkasnya. 

Berita Lainnya
×
tekid