Ketegangan politik antara India dan Pakistan kembali berdampak pada aktivitas ekonomi lintas batas. Terbaru, larangan total India atas impor barang dari Pakistan, termasuk melalui negara ketiga, membuat pasokan garam merah muda Himalaya—komoditas populer untuk keperluan kuliner hingga lampu hias—terhenti total. Dampaknya langsung terasa: harga meroket, pedagang kelimpungan, dan rantai pasok terguncang.
Larangan ini diberlakukan tak lama setelah serangan mematikan yang menewaskan 26 orang—sebagian besar turis India—di kawasan Pahalgam, Kashmir yang dikelola India, pada April lalu. Pemerintah India menuding adanya keterlibatan kelompok militan dari Pakistan. Sebagai balasan diplomatik, New Delhi menghentikan seluruh bentuk perdagangan dengan Islamabad.
Vipan Kumar, pedagang asal Amritsar, Punjab, menjadi salah satu korban kebijakan tersebut. Selama lebih dari 30 tahun, ia mengimpor garam merah muda dari Pakistan dalam jumlah besar, yakni sekitar 2.000 hingga 2.500 ton per kuartal.
“Margin keuntungannya kecil, tapi volume penjualan membuatnya layak. Sekarang semua terhenti. Kami tidak tahu kapan bisa kembali beroperasi,” ujarnya kepada Al Jazeera.
Garam merah muda Himalaya, atau sering disebut Lahori namak, dikenal karena kandungan mineralnya yang memberi warna merah muda alami. Garam ini digemari masyarakat Hindu selama puasa keagamaan karena bukan berasal dari laut. Selain keperluan dapur, batuan garam ini juga diolah menjadi lampu hias dan produk spa.
Garam ini ditambang di Tambang Garam Khewra, Provinsi Punjab, Pakistan—tambang garam terbesar kedua di dunia setelah Tambang Sifto di Kanada. Setiap tahun, sekitar 0,36 juta metrik ton garam ditambang dari Khewra, dengan sekitar 30 persen diantaranya dipakai untuk konsumsi rumah tangga.
Selama ini, India menjadi pasar besar untuk garam tersebut. Impor dilakukan dalam bentuk mentah, lalu digiling dan dikemas ulang oleh pedagang India. Namun kini, sejak larangan diberlakukan, harga melonjak tajam. Sebelum larangan, garam merah muda dijual seharga 45–50 rupee per kilogram. Kini, harga di banyak kota mencapai 70–80 rupee per kilogram.
“Kami sudah merasakan dampaknya. Baru sebulan setelah larangan, harga sudah naik tajam,” keluh Gurveen Singh, pedagang lain di Amritsar. Di Kolkata, harga naik 15–20 persen, namun permintaan tetap tinggi, terutama selama musim festival.
Beberapa pedagang menyarankan pemerintah mencari alternatif negara pemasok. “Hubungan kita dengan Pakistan selalu labil. Kita perlu mencari sumber baru agar rantai pasok tidak mudah terganggu,” ujar Dinobondhu Mukherjee, pedagang garam di Kolkata.
Namun di sisi lain perbatasan, eksportir Pakistan justru melihat sisi positif dari larangan ini. Menurut mereka, larangan ini menghentikan praktik pedagang India yang membeli garam dalam bentuk mentah lalu menjualnya kembali di pasar internasional dengan merek sendiri. Faizan Panjwani, dari perusahaan RM Salt di Karachi, mengatakan, “Ini justru membuka jalan bagi kami untuk berkembang lebih jauh tanpa bersaing dengan label India. Kami ingin ekspor garam yang sudah diproses, bukan dalam bentuk mentah.”
Sebenarnya, hubungan dagang kedua negara memang sudah lama merosot. Sejak serangan Pulwama pada 2019 yang menewaskan 40 tentara India, New Delhi mencabut status "Most Favoured Nation" bagi Pakistan dan mengenakan tarif hingga 200 persen pada barang impor, termasuk garam merah muda. Meski saat itu barang-barang masih bisa masuk lewat negara ketiga seperti UEA, permintaan tetap tinggi dan bisnis tetap berjalan.
Namun kebijakan terbaru memutus total jalur tersebut. “Sebelumnya, tarif tinggi masih bisa ditoleransi karena permintaan besar. Tapi sekarang pemerintah melarang semua barang asal Pakistan, termasuk yang dikirim dari negara ketiga. Kami kehabisan pasokan,” kata Kumar.
Salah satu industri yang turut terdampak adalah produsen lampu dari batu garam. “Kami benar-benar bergantung pada garam batu dari Pakistan. Kalau harus mencari sumber lain, harganya bisa lebih mahal lagi,” kata Deep, pendiri Global Aroma.
Ketika api politik membakar jalur dagang, garam merah muda menjadi salah satu korban diam yang tak bisa berkata apa-apa—kecuali dengan harga yang terus naik dan pasokan yang kian langka. Bagi para pedagang di India, tak ada yang bisa dilakukan selain berharap situasi geopolitik kembali mencair.(aljazeera)