sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Waspada tahun politik, ekonomi Indonesia tetap tumbuh 5,3%,

Situasi ekonomi dinilai tidak selalu mudah, Indonesia lebih memilih untuk menciptakan cadangan fiskal

Mona Tobing Cantika Adinda
Mona Tobing | Cantika Adinda Rabu, 07 Feb 2018 22:53 WIB
Waspada tahun politik, ekonomi Indonesia tetap tumbuh 5,3%,

Saat ini, lembaga ekonomi dunia menatap Indonesia layaknya gadis muda yang seksi. Banyak yang memuji bahkan tergoda untuk selibat dengan Indonesia. Semisal, Bank Dunia lewat Rodrigo Chaven selaku Kepala Perwakilan Bank Dunia memuji ekonomi Indonesia lebih baik ketimbang kondisi ekonomi global.

Bahkan Bank Dunia secara terang menawarkan utang untuk menyokong pembangunan infrastruktur saat ini. Tahun ini, ramalan Bank Dunia pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 5,3% lebih tinggi dibandingkan Brazil dan Meksiko. 

Sebelumnya, Asian Development Bank (ADB) juga menilai penguatan sektor investasi dan ekspor Indonesia akan menggerakkan pertumbuhan ekonomi di 5,3%. Terbaru, International Monatarary Fund (IMF) menyatakan ekonomi tanah air pun dapat tumbuh di 5,3%. Bahkan dalam jangka panjang bukan mustahil ekonomi tanah air bergerak di 6,5%. 

Asumsinya, konsumsi rumah tangga akan terus meningkat dibantu pulihnya harga komoditas. Bantuan program pemerintah berupa dana bergulir atau dana desa turut menyokong pertumbuhan ekonomi. Plus, peningkatan upah minimum. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, penilaian IMF atas perekonomian Indonesia telah mempertimbangkan banyak hal. Salah satunya, kini IMF melihat pada sisi bagaimana suatu negara untuk menjaga momentum pada pertumbuhan ekonomi. 

Bahkan Indonesia dinyatakan berada pada posisi yang baik dalam mengatasi berbagai tantangan ekonomi. Meski begitu, IMF mencatat seharusnya penyesuaian kebijakan fiskal Indonesia harus lebih rileks secara bertahap, demi menjaga pertumbuhan ekonomi.

Tapi dalam hal ini, Sri Mulyani punya pendapat lain. Menurut mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia, dalam situasi ekonomi yang dinilai tidak selalu mudah Indonesia lebih memilih untuk menciptakan cadangan fiskal atau fiscal buffer. Alasannya, saat ekonomi mengalami goncangan terutama yang berasal dari luar, Indonesia masih memiliki ruang untuk melakukan intervensi.

Turut senang dengan ramalan pertumbuhan IMF adalah Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo. Agus menyebut bahwa dinilai baiknya ekonomi Indonesia adalah buah dari hasil reformasi struktural yang dilakukan pemerintah. 

Sponsored

"Secara umum perubahan yang dilakukan pemerintah dan BI telah dihargai pada forum tersebut," tukas Agus. Ia menambahkan bahwa proyeksi IMF terkait perekonomian nasional pada tahun ini adalah hasil kinerja tahun 2017 yang berhasil tumbuh ke level 5,07%.

Masih kalah dari Filipina 

Terpisah, Kepala Ekonom BCA David Sumual juga menyuarakan optimisme Indonesia yang mampu meraih target ekonomi diangka 5,3%. "Dilihat dari konsumsi yang lebih menguat, ekspor yang stabil dengan fundamental yang stabil. Plus, cadangan devisa terus naik serta investor yang terus masuk ke Indonesia, maka target tersebut cukup bijaksana," terang David Sumual kepada Alinea hari ini (7/2).
 
David membandingkan kondisi Indonesia dengan sembilan negara ASEAN yang lain, Indonesia berada di posisi tertinggi setelah Filipina. Meskipun jika dilihat angka yang diperoleh kata David, Indonesia menempati posisi lebih tinggi dari Filipina.

"Filipina sekitar 6%, lalu Indonesia setelah. Tapi kalo dari size PDB Indonesia jauh lebih besar, menyentuh US$ 1 triliun. Sementara Filipina tidak sampai separuhnya," tukas David.

Sebaliknya suara kekhawatiran berasal dari Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati. Enny menyoroti nasib investasi di Indonesia pada tahun politik 2018.

Bagi Enny, tahun politik mengandung kendala yang krusial bagi investasi. Yakni, sikap investor yang cenderung menunggu kepastian terlebih dahulu.

INDEF menyoroti penurunan indeks tendesi bisnis (ITB) di kuartal IV-2017 dari 112,39 menjadi 111,02. Hal tersebut, menggambarkan optimisme pelaku bisnis kian menurun.

"Kalau ingin melihat realisasi investasi dan konsumsi rumah tangga, biasanya panduan yang utama adalah ITB dan ITK (indeks tendensi konsumen)," ucap Enny seperti dikutip Antara.

Komponen ITB yang menurun di antaranya penggunaan kapasitas usaha dan rata-rata jumlah kerja. Dua komponen tersebut menggambarkan kontraksi dari penambahan tenaga kerja pada tahun ini dan tahun depan.

INDEF memperkirakan ITB pada kuartal I-2018 akan turun hingga 108,6. Perkiraan itu dapat lebih rendah apabila pebisnis memilih untuk menunggu (wait and see) karena ketidakpastian yang ditimbulkan tahun politik.

Di sisi lain, Enny memandang peristiwa besar di 2018 seperti misalnya Asian Games, pilkada serentak, dan pertemuan tahunan Bank Dunia-IMF hanya menggerakkan sektor konsumsi rumah tangga.

"Padahal, untuk bisa mengakselerasi ekonomi yang dibutuhkan adalah investasi," kata dia.

Ekonomi nasional saat ini masih mengandalkan pertumbuhannya melalui konsumsi rumah tangga. Data BPS menunjukkan konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi terbesar dalam struktur PDB 2017, yaitu sebesar 56,13%

INDEF memandang bahwa realisasi investasi merupakan prasyarat pertumbuhan ekonomi berkualitas yang dapat dinikmati oleh semua pelaku. Makna pertumbuhan ekonomi berkualitas tergambar dari realisasi investasi yang menyerap tenaga kerja lebih banyak.

Enny menilai faktor yang perlu diperbaiki untuk mengatasi persoalan investasi adalah penyelesaian masalah korupsi, efisiensi institusi pemerintah dan peningkatan akses keuangan.


 

Berita Lainnya
×
tekid