sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kasus Reynhard Sinaga diadili secara diam-diam, mengapa?

Karena banyaknya jumlah korban, kasus Reynhard Sinaga dipecah menjadi empat persidangan terpisah.

Valerie Dante
Valerie Dante Selasa, 07 Jan 2020 18:00 WIB
Kasus Reynhard Sinaga diadili secara diam-diam, mengapa?

Pada Senin (6/1), Pengadilan Manchester di Inggris menjatuhkan vonis seumur hidup bagi seorang pria Indonesia, Reynhard Sinaga (36).

Dia dihukum atas 159 pelanggaran, termasuk tindak pemerkosaan sebanyak 136 kali, usaha untuk pemerkosaan sebanyak 8 kali, kekerasan seksual sebanyak 13 kali, dan kekerasan seksual dengan penetrasi sebanyak dua kali terhadap 48 korban pria.

Banyaknya jumlah korban, mengharuskan kasus Reynhard dipecah menjadi empat persidangan terpisah. Kondisi tersebut membuat pengadilan mengeluarkan perintah sementara yang melarang media melaporkan persidangan Reynhard.

Larangan media tersebut berfungsi untuk memastikan Reynhard melewati proses yang adil di empat persidangan yang berbeda karena para juri tidak akan tahu bukti atau vonis dari masing-masing sidang.

Para penyelidik menduga bahwa jumlah korban dapat mencapai 195 orang. Mereka menyatakan, jika terbukti benar, ini akan membuat Reynhard sebagai "pemerkosa paling produktif dalam sejarah hukum Inggris".

Senada dengan pernyataan penyelidik, polisi pun meyakini masih ada lebih banyak korban yang belum diidentifikasi atau belum berani buka suara.

Pengadilan Manchester menilai, jika media melaporkan rincian dari persidangan Reynhard, maka itu dapat menghalangi calon korban atau saksi untuk buka suara.

Inspektur Detektif Zed Ali yang memimpin penyelidikan kasus Reynhard mengatakan bahwa larangan pemberitaan tersebut menjamin lingkungan yang aman dan membantu para korban untuk buka suara serta memberikan bukti. 

Sponsored

Dia meyakini, beberapa korban pasti tidak akan berani memberikan bukti dan bersaksi jika media diizinkan meliput proses persidangan.

Larangan pemberitaan tersebut baru dicabut setelah Reynhard menjalani empat persidangan yang berlangsung lebih dari 18 bulan.

Reynhard pertama kali diadili pada Mei 2018, kurang dari setahun setelah kejahatannya pertama kali terungkap. Pada 2 Juni 2017, dia memaksa seorang pria kembali ke apartemennya. Dia membius pria itu dan mulai melaksanakan aksi bejatnya.

Namun, korban berhasil menyadarkan diri dan melawan Reynhard. Perkelahian pun terjadi, Reynhard terluka parah dan dibawa ke rumah sakit sementara korban diinterogasi polisi dan ditahan karena diduga melakukan penyerangan.

Untungnya, korban mengambil ponsel milik Reynhard. Ketika detektif memeriksa ponsel tersebut, mereka menemukan bukti berupa sejumlah video pemerkosaan yang direkam oleh Reynhard sendiri.

Ketika polisi pertama kali menangkap Reynhard, mereka juga menemukan sejumlah bukti foto yang mengungkapkan bahwa dia telah melecehkan puluhan pria.

Polisi berhasil mengidentifikasi para korban menggunakan foto profil Facebook yang disimpan Reynhard di ponselnya. Selain itu, dia juga kerap "mengoleksi" barang-barang milik korban seperti SIM, kartu tanda mahasiswa, dompet, dan jam tangan sebagai trofi.

Menurut sejumlah media asing, Reynhard berasal dari keluarga kaya. Ayahnya, Saibun Sinaga, disebut sebagai seorang bankir.

Pria kelahiran Jambi itu datang ke Inggris dengan visa pelajar pada 2007, ketika dia berusia 24 tahun. Dia belajar di Manchester University dan kemudian melanjutkan studinya di Leeds University.

Setelah Reynhard ditangkap dan didakwa dengan sejumlah pemerkosaan dan kekerasan seksual, polisi masih menghadapi kesulitan untuk menemukan para korban dan menjelaskan bahwa kemungkinan mereka telah diperkosa atau mengalami pelecehan seksual.

Ketika dihampiri oleh polisi, para pria diminta untuk mengidentifikasi diri mereka sendiri dalam video yang memperlihatkan pelecehan yang mereka alami.

Bagi sebagian korban, kabar itu mengejutkan dan mengganggu, terutama karena mereka baru mengetahui kebenaran bertahun-tahun setelah peristiwa itu terjadi. Kebanyakan dari korban disebut sangat hancur ketika mengetahui bahwa mereka telah menjadi korban kekerasan seksual.

Unsur-unsur sensitif dalam kasus itulah yang membuat para penyelidik meminta pengadilan untuk memberlakukan larangan pemberitaan.

Para penyelidik perlu melindungi bukan hanya para korban yang sudah diketahui, tetapi juga mereka yang belum diidenfitikasi.

Dinas Kejaksaan Inggris (CPS) belum menyampingkan kemungkinan akan ada penuntutan lebih lanjut terhadap pelaku seandainya lebih banyak korban maju dan menghadap pengadilan.

Wakil Ketua CPS Ian Rushton mengatakan kasus Reynhard akan jauh lebih sulit untuk dikejar tanpa adanya larangan pelaporan media.

"Kalau tidak ada larangan tersebut, kita tidak dapat memastikan proses persidangan yang adil," jelas dia.

Jika pembatasan itu tidak ada, lanjutnya, satu-satunya alternatif adalah menggelar satu persidangan panjang yang mencakup seluruh kasus. Dia menuturkan bahwa hal itu akan memakan lebih banyak waktu dan tidak efektif. (Manchester Evening News, The Guardian, dan Daily Mail)

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid