sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Agora: Cinta di tengah konflik agama

Berlatar Romawi, film Agora (2009) mampu mengaduk emosi penonton.

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Sabtu, 16 Nov 2019 17:35 WIB
Agora: Cinta di tengah konflik agama

Berlatar Romawi, film Agora (2009) mampu mengaduk emosi penonton. Drama sejarah yang rilis pada Oktober 2009 ini mengambil tema yang asyik untuk dinikmati. 

Film ini mengajak penonton untuk kembali abad IV, saat Kerajaan Romawi di ambang kehancuran. Agora memperlihatkan perjuangan ilmu pengetahuan di tengah konflik agama di sebuah kota bermama Alexandria. Konflik terjadi antara agama Kristen dan kaum Pagan atau penyembah berhala (dewa-dewa kuno), serta antara Kristen dengan Yahudi. 

Agora memperlihatkan penyebaran agama tak hanya sekedar soal kepercayaan, namun juga terkait politik serta upaya melanggengkan kekuasaan.

Seperti film-film berlatar sejarah lainnya, Agora juga menyelipkan kisah percintaan yang tragis. Selama konflik persaingan agama berlangsung, ada cinta segitiga yang dialami seorang profesor filsafat dan matematika cantik bernama Hypatia (Rachel Weisz). Hypatia yang jelita dan cerdas mampu membuat muridnya, Orestes (Oscar Isaac) jatuh cinta. Sebagai bukti cintanya, Orestes memberikan alat musik Ollos (alat musik tiup, seperti suling, tetapi ada dua) kepada Hypatia. 

Hypatia lalu membalas pemberian itu dengan selembar kain putih yang sudah ada bercak darah menstruasinya. Suatu sikap yang tak lain ialah simbol penolakan.

Di sisi lain, Davos (Max Minghella), yang berperan sebagai budak Hypatia juga menaruh hati. Akan tetapi, ia tak bisa mengungkapkannya secara langsung, melainkan dengan belajar dan membuat sistem Ptolemic. 

Sistem Ptolemic ialah suatu pemikiran di mana Bumi sebagai pusat tata surya dan dikelilingi Matahari serta planet-planet lainnya, seperti Merkurius, Venus, Jupiter, dan Saturnus. Ungkapan cinta yang tak lazim itu kemudian membikin Hypatia menjadi kagum kepada Davos.

Kemunduran ilmu pengetahuan

Sponsored

Dalam mengisahkan peradaban Alexandria, film yang disutradarai Alejandro Amenabar ini berusaha semirip mungkin dengan kisah yang sesungguhnya. Film ini sanggup menunjukkan kompleksitas kehidupan saat itu.

Di tengah karut marut perang, Hypatia diceritakan terus melanjutkan penelitiannya mengenai astronomi. Dia lalu berhasil menemukan kurva elips dan semakin yakin bahwa Matahari adalah pusat tata surya, bukan Bumi.

Banyak pesan yang ingin disampaikan dalam Agora. Konflik perang agama mengakibatkan ilmu pengetahuan mengalami kemunduran yang ditunjukkan dengan musnahnya perpustakaan Alexandria. Koleksi perpustakaan tercerai berai dan hanya sedikit yang dapat diselamatkan Hypatia. 

Menyinggung perpustakaan yang dianggap sebagai simbol peradaban ini, Carl Sagan melalui bukunya berjudul "Cosmos", dalam beberapa kesempatan mencurahkan kekecewaannya terhadap pemusnahan perpustakaan Alexandria. Menurutnya, perbuatan itu membuat manusia kembali mundur beberapa titik dalam usaha perkembangan ilmu pengetahuan.

Meski terlihat rumit, namun film ini layak ditonton untuk menemani akhir pekan Anda. 

Berita Lainnya
×
tekid