close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Anorexia. Foto: Whitin health
icon caption
Anorexia. Foto: Whitin health
Sosial dan Gaya Hidup
Minggu, 22 Juni 2025 11:06

Kaum muda alami anoreksia karena terpicu media sosial

Çelik juga menyoroti fenomena diet ekstrem dan praktik detoks yang sering viral di media sosial.
swipe

Di tengah maraknya tren gaya hidup sehat dan tubuh ideal di media sosial, tidak sedikit remaja dan dewasa muda yang terjebak dalam tekanan untuk tampil kurus. Namun, dorongan ini, jika berlebihan dan tidak sehat, bisa berujung pada gangguan makan serius yang dikenal sebagai anoreksia nervosa.

Profesor Fatma Çelik, Kepala Departemen Nutrisi dan Dietetika di Universitas Biruni, Turki mengungkapkan bahwa keinginan untuk memiliki tubuh kurus yang ideal—sebagaimana sering dipromosikan di media sosial—dapat memicu pola makan ekstrem yang membahayakan, terutama di kalangan anak muda. Dalam pernyataannya, ia menekankan bahwa gangguan ini lebih dari sekadar penurunan berat badan.

"Anoreksia nervosa bukan hanya tentang tubuh yang menolak makanan," ujar Prof. Çelik. "Ini adalah gangguan kejiwaan yang bisa merusak seseorang secara fisik dan emosional. Ada banyak faktor yang berperan—mulai dari genetik, rendahnya rasa percaya diri, perfeksionisme, hingga keinginan kuat untuk mengendalikan hidup."

Tak jarang, mereka yang mengidap anoreksia menunjukkan gejala yang tampak ‘biasa’: menghindari makanan tertentu, mulai menghitung kalori secara obsesif, berolahraga secara berlebihan, hingga menunjukkan perubahan perilaku saat makan bersama. Gejala fisik seperti kulit kering, kelelahan berlebih, atau menstruasi yang terhenti pun seringkali diabaikan.

Namun, di balik semua itu, sebenarnya tubuh mereka sedang berteriak minta tolong.

Menurut Çelik, peran keluarga dan orang-orang terdekat sangat penting. Komunikasi yang terbuka dan penuh perhatian menjadi kunci untuk mengenali tanda-tanda awal dan mendorong penderita mendapatkan bantuan. "Jangan tunggu sampai terlambat. Semakin dini terdeteksi, semakin baik peluang pemulihannya," katanya.

Pendekatan pemulihan pun tidak bisa dilakukan secara sepihak. Tidak cukup hanya menaikkan berat badan. Butuh kerja sama antara psikiater, ahli gizi, dan psikolog untuk membangun kembali hubungan sehat antara individu dan tubuhnya. Terapi perilaku kognitif (CBT), terapi keluarga, serta pengobatan medis jika dibutuhkan menjadi bagian penting dari proses ini.

Çelik juga menyoroti fenomena diet ekstrem dan praktik detoks yang sering viral di media sosial. “Ironis sekali, di dunia yang masih dilanda kelaparan, banyak orang dengan akses mudah ke makanan justru memilih kelaparan karena mengikuti tren yang tidak berdasar,” katanya. 

Ia memperingatkan bahwa banyak metode populer seperti diet cairan, detoks kejut, atau pembatasan makan ekstrem bisa menyebabkan kerusakan jangka panjang bagi tubuh jika tidak didampingi profesional.

Yang tak kalah penting, ujar Çelik, adalah mengubah persepsi masyarakat bahwa ‘kurus itu sehat’. Ia mengajak semua orang untuk lebih terinformasi dan menerima bahwa setiap tubuh punya kebutuhan yang berbeda.

Dalam hal nutrisi, ia menyarankan agar masyarakat fokus pada pola makan yang seimbang dan berkelanjutan: perbanyak minum air, konsumsi sayuran dalam setiap hidangan, serta penuhi asupan protein, karbohidrat, lemak sehat, dan serat secara proporsional. Namun, ia menegaskan, “nutrisi itu bersifat pribadi.” Maka, konsultasi dengan ahli gizi adalah langkah terbaik untuk memahami kebutuhan tubuh masing-masing.

Pada akhirnya, pesan Prof. Çelik sederhana namun penting: cintai tubuhmu, kenali sinyalnya, dan jangan biarkan standar luar merusak apa yang seharusnya menjadi hubungan sehat antara kamu dan dirimu sendiri. (dailysabah)

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan