sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Bagaimana ganja membudaya di Negeri Gajah Putih

Tak hanya untuk medis, Thailand kini melegalisasi ganja untuk rekreasi dan kuliner.

Christian D Simbolon
Christian D Simbolon Selasa, 14 Jun 2022 16:49 WIB
Bagaimana ganja membudaya di Negeri Gajah Putih

Tiga bulan setelah ditandatangani Menteri Kesehatan Thailand Anutin Charnvirakul, kebijakan legalisasi ganja resmi berlaku. Sejak 9 Juni, ganja turun dari daftar narkotika yang dilarang dikonsumsi. Warga di Negeri Gajah Putih itu bahkan bebas menanam ganja dalam jumlah tak terbatas di rumah mereka.

Kabar mengenai legalisasi ganja itu diumumkan langsung oleh Menkes Anutin via Facebook, sehari sebelumnya. Ketika itu, Anutin bahkan menjanjikan satu juta bibit gratis bagi warga yang berniat membudidaya ganja. 

"Kita harus tahu bagaimana menggunakan kanabis (ganja). Jika kita punya kesadaran yang tepat, kanabis itu seperti emas. Dia sesuatu yang berharga dan harus dipromosikan," kata Menkes Anutin seperti dikutip dari Al Jazeera.  

Dengan kebijakan teranyar itu, polisi tak bisa lagi menangkap warga yang mengantongi ganja di saku celana mereka. Sebanyak 4.200 narapidana yang dibui lantaran tersangkut kasus kepemilikan dan konsumsi ganja langsung dibebaskan. 

Meski begitu, tak semua jenis ganja bisa dikonsumsi. Kanabis dengan kandungan tetrahydrocannabinol (THC) di atas 0.2% masih dikategorikan sebagai narkotika. THC merupakan senyawa psikoaktif dalam kanabis yang bisa bikin penggunanya teler. 

Ganja juga tidak boleh dikonsumsi di ruang publik. Anutin mengingatkan ada sanksi pidana penjara hingga tiga bulan dan denda 25 ribu baht bagi warga atau turis asing yang sembarangan mengonsumsi ganja di tempat-tempat terbuka. 

"Jika turis datang ke Thailand untuk mengisap ganja secara bebas, itu salah. Jangan datang. Kami tidak akan menerima kamu jika kamu hanya datang ke negara ini untuk tujuan itu," kata politikus Bhumjaithai Party itu. 

Pengumuman mengenai legalisasi ganja itu dirayakan warga Thailand. Di Highland Cafe, warga setempat dilaporkan antre untuk membeli ganja dan kuliner berbahan ganja. Didirikan oleh para aktivis pendukung gerakan legalisasi ganja pada 2019, Highland ialah kafe pertama bertema kanabis di Bangkok. 

Sponsored

"Kini, saya bisa terang-terangan menyatakan bahwa saya perokok ganja. Saya tidak perlu lagi bersembunyi seperti dulu saat itu (ganja) masih dikategorikan obat terlarang," kata Rittipong Bachkul, 24 tahun, salah satu pengunjung Highland Cafe. 

Toko-toko yang menjual ganja mentah juga kebanjiran pengunjung. Salah satunya ialah Sukhumweed. Berlokasi di pinggiran kota Bangkok, Sukhumweed didirikan Soranut "Beer" Masayavanich. Kini berusia 37 tahun, Beer ialah mantan aktor cilik yang kariernya hancur lantaran kedapatan mengonsumsi ganja. 

"Saya tidak percaya itu (legalisasi ganja) terjadi hari ini. Saya sebenarnya menangis dalam perjalanan ke sini (Sukhumweed). Banyak tangisan bahagia," kata pria yang sudah lebih dari 20 tahun mengampanyekan legalisasi ganja itu. 

Sejak 2018, ganja diperbolehkan digunakan untuk keperluan medis di Thailand. Meski begitu, publik Thailand ternyata sudah sangat familiar dengan beragam produk ganja di luar yang terkait medis. Itu setidaknya terekam dalam survei yang dirilis YouGov pada Februari 2022. 

Melibatkan sekitar 2.000 responden, sigi lembaga riset dan analisis itu menemukan hampir setengah warga Thailand menggunakan produk berbasis ganja dalam dua tahun terakhir. Sebanyak 73% responden mengaku berniat mengonsumsi produk-produk turunan kanabis dalam setahun ke depan. 

Ilustrasi tanaman ganja. /Foto Antara

Tradisi ganja di Thailand

Meski terkenal sebagai ladang ganja dunia pada dekade 1970-an dan 1980-an, kanabis bukan tanaman asli Thailand. Ganja diyakini pertama kali masuk ke Thailand dari India. Orang-orang di dua negara itu menyebut tanaman kontroversial itu dengan sebutan ganja. 

Dalam "History of Cannabis Use and Anti-Marijuana Laws in Thailand" yang terbit pada 2011, Eric Blair menulis ganja sudah sejak lama digunakan sebagai bahan makanan, bumbu masakan, obat, dan sumber serat oleh masyarakat di negara-negara Asia Tenggara. 

"Contoh historis paling umum kanabis digunakan sebagai bumbu dalam sup mie perahu khas Thailand. Kanabis juga masih bisa dengan mudah ditemukan di pasar-pasar tertentu di provinsi-provinsi negara tetangga Thailand, seperti Laos dan Kamboja," jelas Blair.

Menurut Blair, praktisi medis dan pijat tradisional Thailand juga telah lama mengenal khasiat kanabis untuk pengobatan. Ekstrak kanabis diyakini bisa berfungsi sebagai analgesik dan obat penenang saat terapi. 

Adapun industri garmen tradisional di Thailand, kata Blair, memanfaatkan rami dari bahan ganja untuk membuat tali dan pakaian. Kaum Hmong, etnis asal China yang tinggal di kawasan pegunungan di utara Thailand, jadi yang pertama menggunakan ganja sebagai bahan membuat pakaian. 

"Hingga saat ini, pakaian dari bahan rami masih jadi salah satu barang ekspor populer dari Thailand," kata Blair. 

Pada masa lalu, rami dari bahan ganja juga lazim digunakan dalam laga-laga Muay Thai. Menurut Blair, para petarung Muay Thai menggunakan rami untuk melindungi tangan mereka saat pertarungan. 

"Rami dibentuk seperti kerang yang menutupi buku jari. Metode perlindungan tangan seperti itu perlahan hilang saat sarung tinju gaya Barat diperkenalkan pada 1920-an," tulis Blair. 

Dalam "Thailand’s Cannabis History and Modern Evolution" yang tayang di MG Magazine pada 2021, Lance C Lambert mengatakan ganja dikenal sebagai tanaman penghasil duit dan penopang ekonomi di Thailand sejak abad ke-18. Sebelum Marijuana Act B.E. 2477 terbit pada 1934, tidak ada satu pun regulasi terkait kanabis di negara tersebut. 

"Restriksi terhadap tanaman ganja bahkan mulai dirasakan Thailand setelah negara tersebut turut menandatangani Opium Convention pada 1912. Diamandemen pada 1928, pemerintah melarang budidaya ganja dengan dalih kanabis dan rami menyokong perdagangan opium," jelas Lambert. 

Sebelum undang-undang itu berlaku, menurut Lambert, bisa bebas menanam dan mengonsumsi ganja. Polisi dan pemerintah tak pernah menyentuh ladang-ladang ganja milik warga. "Bahkan, pada awal abad ke-19, orang-orang masih percaya konsumsi kanabis bukan kejahatan yang menimbulkan korban jiwa," ujar dia. 

Suasana Khao San Road, pusat berkumpulnya kaum backpaker di Bangkok, Thailand. /Foto Unsplash

Pengaruhi Perang Vietnam 

Pada pertengahan 1960-an, budidaya ganja ilegal mulai marak di Thailand. Salah satu pemicunya ialah kehadiran para prajurit Amerika Serikat di negara tersebut. Para veteran Perang Vietnam itu dikenal sebagai para penikmat ganja. 

"Kata 'bong' juga punya kaitan erat dengan Tanah Senyuman, sebagaimana Thailand dikenal. Prajurit Amerika biasanya mengonsumsi ganja menggunakan pipa air dari bambu yang disebut 'bhaungs' oleh orang lokal," jelas Lambert. 

Para prajurit AS mengenal ganja saat berperang melawan kaum komunis di Vietnam. Dalam survei yang digelar pada 1966, militer AS menemukan setidaknya ada 29 kios "resmi" penjual ganja di Saigon. Rokok ganja dengan merek Craven "A" and Park Lane dengan mudah bisa didapat. 

"Dengan fakta banyaknya penikmat ganja di kalangan prajurit AS di Vietnam, tidaklah aneh jika para entepreuner Thailand menyediakan kebutuhan pasukan AS yang sedang beristirahat di negara itu," jelas Blair dalam "History of Cannabis Use and Anti-Marijuana Laws in Thailand."

Sebagaimana Perang Vietnam memicu gerakan sosial kaum hippie di AS, gerakan serupa juga ditemukan di Thailand pada dekade 1970-an. Di negeri itu, gerakan tersebut dinamai Peua Cheewit (Demi Kebebasan). Kebanyakan anggotanya ialah mahasiswa Universitas Ramkhamhaeng dan Thammasart. Mereka rutin menggelar protes terhadap rezim diktator Thailand. 

"Gerakan itu dianggap sebagai wajah gerakan demokrasi Thailand pada masa itu. Banyak aksi unjuk rasa yang berakhir dengan kekerasan. Pada 1976, misalnya, sebanyak 46 ditembak pasukan pemerintah saat menggelar aksi di kampus Thammasat," jelas Blair. 

Infografik Alinea.id/Firgie Setiawan

Kedekatan Peua Cheewit dengan budaya mengonsumsi ganja gamblang ditunjukkan para pentolan gerakan tersebut. Dua band terkenal era Peua Cheewit, Carabao dan Maleewana, terekam "rutin" mempromosikan kanabis. 
 
"Nama Maleewana sebenarnya diambil dari mariyuana... Video Maleewana berjudul “Kratom Ganja” adalah lagu rock klasik yang bercerita tentang kebun ganja yang terbengkalai. Carabao juga punya lagu berjudul Marijuana Gunja," tulis Blair. 

Masuknya musik Reggae juga turut mendongkrak popularitas kanabis. Menurut Blair, musik jenis itu terutama digemari kaum muda di Thailand. Itu terlihat dari lazimnya musik Reggae diputar di bar dan klub di Bangkok, Chiang Mai, dan pulau-pulau wisata di Thailand. 

"Logo daun mariyuana, simbol internasional dukungan terhadap kanabis, mudah ditemui di kaus-kaus yang dijual di seantero Thailand. Secara khusus, kaum muda dan remaja Thailand juga bisa dengan mudah ditemui sedang mengenakan pakaian yang dihiasi daun ganja," kata dia. 

Berita Lainnya
×
tekid