sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Bincang API Jakarta: Sejarah, patung publik & pandemi

API adalah elemen organisasi modern para seniman dalam ekosistem seni rupa.

Hermansah
Hermansah Selasa, 15 Sep 2020 08:16 WIB
Bincang API Jakarta: Sejarah, patung publik & pandemi

Asosiasi Pematung Indonesia (API) cabang Jakarta yang didukung oleh Edwin’s Gallery dan Galeri Nasional Indonesia menyelenggarakan rangkaian acara Pameran Virtual Stay@Home 2020. Dengan juluk: Dulu, Kini & Esok, rangkaian acara tersebut adalah bincang virtual dan presentasi Pameran Stay@Home 2020 API Jakarta yang diselenggarakan API Jakarta, pada Senin (14/9) malam.

Partisipan pameran adalah sepuluh karya pematung anggota API Jakarta, yakni Agoes Salim, Agus Widodo, Budi Tobing, Yani Mariani, Cyca Leonita, Hardiman Radjab, Jack S Riyadi, Darwin, Henry The Koi dan Tedy Murdianto. Nara sumber bincang virtual terdiri dari pengurus API Jakarta dan API Pusat, Yogyakarta, akademisi, praktisi, Kepala Galeri Nasional Indonesia sampai Galeri Privat: Edwin’s Gallery.

Kepala Galeri Nasional Indonesia Pustanto menjelaskan, API adalah elemen organisasi modern para seniman dalam ekosistem seni rupa. “API itu perkumpulan modern yang memberi perspektif tentang progresifitas seni patung dan Galeri Nasional Indonesia dalam perannya akan menjadi mitra yang lebih aktif di masa depan bagi API,” ungkapnya.

Kurator Pameran Benny Ronald Tahalele dalam presentasi pameran virtual menjelaskan bahwa tema terkait dengan bagaimana seniman merespons kondisi pandemi sekarang ini.

“Selain itu, tantangan abad digital dengan menekankan pada semangat untuk terus berkarya memakai piranti digital dan mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan terbaru, meskipun dari rumah dan studio masing-masing,” imbuh Benny.

“Meskipun jarak fisik terbatasi dan kemampuan sosialisasi antarpematung berbulan-bulan dihentikan, semoga Pameran Stay@Home mampu memicu ide-ide yang lebih kreatif. Sebab, biasanya dalam kondisi krisis, justru seniman mampu maksimal mengkristalkan dan menghasilkan karya-karya terbaiknya,” katanya menambahkan.

Sementara itu, akademikus dari Institut Seni Indonesia dan mantan Ketua Umum API Pusat, Yogyakarta Anusapati, menyebutkan seni patung dengan karakternya yang khas, yakni tiga dimensional dan meruang dalam sejarah seni modern Indonesia terkait dengan para seniman-seniman Sanggar pada sekitar 1950-an di Yogyakarta dan kota besar lainnya seperti di Jakarta, Bandung, dan lain-lain di Indonesia untuk membuat monumen-monumen tertentu sebagai penanda ingatan komunal.

Bincang Virtual, selain menyingkap catatan-catatan sejarah mengungkap pula bahwa seni patung sejak awal memang dekat dengan disiplin arsitektur, tinjauan dan praktik tata lansekap kota bahkan gaya hidup masyarakat manusia urban yang dinamis di kota besar. 

Sponsored

Pameran Stay@Home 2020 API Jakarta 

Dalam presentasi Pameran Stay@Home 2020, dua narasumber pematung, yakni Yani Mariani yang memberikan perspektifnya tentang kerja proyek komisi di Kepulauan Seribu pada 2019 dan partisipasinya dalam pameran Stay@Home 2020 ini.

Sementara generasi milenial diwakili oleh Cyca Leonita, pematung perempuan yang mempresentasikan karya-karya yang khas mengungkapkan kehidupan personal urban dan pengalaman-pengalaman sosialnya.

Setidaknya, ada dua karya yang beraroma kritik sosial dan reflektif dalam pameran ini. Yang menonjol adalah milik Hardiman Radjab. Dengan judul “Quantum Leap”, seniman jebolan alumnus Istitut Kesenian Jakarta bertutur, manusia telah kebablasan di abad 21.

Kecerdasan rasio membuat manusia benar-benar dalam tubir kesesatan yang nyata dan mengintervensi semesta dengan bekal sains dan hasrat kesembronoan untuk mengintimasi rahasia Illahi: itikad tentang keabadian. 

“Manusia mencipta mesin waktu, ingin keluar dari kotak misteri ruang dan waktu dengan sains bahkan melabrak hukum alam lainnya, dengan merjalelanya wabah, sebab hutan dibabat dan konflik berkepanjangan dalam perang teritori perebutan sumber-sumber alam” ungkap Hardiman.

Tujuh bulan era pandemi menghantam Indonesia mengakibatka para warga dan terutama para pimpinan negara tak berdaya dan berjalan di tempat, malahan semakin terperosok lebih dalam.

“Wabah hanya penanda alam, seperti sebuah fenomena semesta untuk memberi peringatan, kita benar-benar terjebak, tak bisa keluar atau menyelesaikan masalah internalnya sebagai manusia”, imbuh Hardiman.

Berita Lainnya
×
tekid