sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Gereja Jemaat Sion, gereja kuno di Jakarta Barat

Gereja Jemaat Sion diresmikan pada 1695, dan sudah menjadi situs cagar budaya nasional.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Jumat, 19 Apr 2019 08:00 WIB
Gereja Jemaat Sion, gereja kuno di Jakarta Barat

Tasum, salah seorang petugas perawatan Gereja Protestan di Indonesia Barat (GPIB) Jemaat Sion di Tamansari, Jakarta Barat, tengah sibuk menyirami lantai dalam gereja. Menurutnya, ia harus membersihkan lantai yang terbuat dari batu alam tersebut dua kali dalam sebulan.

“Sering nempel debu di lantai, harus rutin digosok. Kalau dipel, dua kali seminggu,” kata Tasum saat ditemui reporter Alinea.id, Kamis (18/4).

Tasum merupakan pegawai utusan Balai Pelestarian Cagar Budaya Pemprov DKI Jakarta, sebuah instansi di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ia diberi kepercayaan menjaga kebersihan dan keasrian bangunan gereja sejak 1988.

Tasum juga bertugas sebagai pelaksana tugas di Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Banten, Jawa Barat, dan Lampung. Ia bekerja setiap hari di GPIB Jemaat Sion, dari pukul 08.00 WIB hingga 16.00 WIB.

Sejarah gereja

Tasum, pelaksana tugas perawatan gedung gereja GPIB Jemaat Sion, sedang membersihkan lantai dalam gereja jelang ibadat perayaan Jumat Agung, Jumat (19/4). Alinea.id/Robertus Rony Setiawan.

Empat jendela besar mengapit sebuah pintu masuk gereja, yang di atasnya terdapat salib. Bangunan gereja itu terlihat kokoh dan arsitekturnya terdapat sentuhan Eropa.

Sejak memasuki pintu gerbang gereja, nuansa itu sudah terlihat. Kusen pintu yang tinggi dan melengkung di bagian atas, menandakan ciri khas bangunan Roma. Selain itu, enam pilar-pilar di bagian dalam gereja mengesankan arsitektur Barat kuno.

Sponsored

Kursi-kursi kayu berwarna hitam difungsikan sebagai panti atau tempat duduk jemaat. Panti bagi jemaat lainnya yang terbuat dari kayu hitam eboni masih dapat dipakai. Bangku panjang yang masih kuat dan berukiran antik ini menempati empat sisi dalam gereja.

Dua titik pada sisi kiri dan kanan altar, satu bersisian dengan bangku pemusik dan tempat meletakkan instrumen pengiring nyanyian. Satu panti kayu lagi berada di sisi belakang, tepat di bawah orgel atau organ seruling.

Menurut situs cagarbudaya.kemdikbud.go.id, Gereja Sion terbagi dalam ruang ibadat, balkon, mimbar, dan kantor gereja. Lalu ada serambi, makam, dan orgel.

Ruang ibadat berciri gaya Romanesque, yang terlihat dalam bangunan berupa busur lengkung di pintu masuk gereja. Balkon berbentuk segi empat dan diukit ornamen bergaya Barok. Mimbar bergaya Barok, mirip Katedral Gereja Katolik.

Interior gereja GPIB Jemaat Sion dengan pilar-pilar penopang. Alinea.id/Robertus Rony Setiawan.

Di balkon dalam gereja ada organ seruling (orgel) yang dibuat pada 1860, dihiasi ornamen malaikat. Sementara serambi ditopang enam pilar berukir warna emas. Makam yang ada di gereja ini hanya tersisa 11. Letaknya ada di pintu barat gereja. Makam-makam lainnya sudah dipindahkan ke Museum Taman Prasasti.

Gereja ini sudah berusia 324 tahun, dan masuk dalam situs cagar budaya berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 475 Tahun 1993 dan Surat Keputusan Menteri Nomor 193/M/2017.

Sebelumnya, gereja yang diresmikan pada 1695 ini berupa sebuah pondok tempat belajar agama bagi para tawanan papa dan budak Portugis.

Saat itu, para tawanan Portugis tinggal di luar dinding batas Kota Batavia. Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang ketika itu berkuasa, membangun tembok tinggi batas kota. Lokasi itulah yang kini menjadi tempat Gereja Jemaat Sion.

Para tawanan dijanjikan kebebasan dengan syarat menjadi anggota Gereja Reformasi. Mengingat jemaat baru yang ikut pelajaran dan kebaktian kian bertambah, dibangun gedung dari batu-batu yang berukuran lebih besar. Oleh karena itu, bangunan ini awalnya dikenal dengan nama Portugueesche Buitenkerk (Gereja Portugis di Luar Tembok Batas Kota).

Kepala tata usaha GPIB Jemaat Sion, Waspo Yuwono menjelaskan, pengembangan fungsi pondok tempat ibadat itu menjadi cikal bakal bangunan GPIB Jemaat Sion. Ia menuturkan, peletakan batu pertama gereja ini dilakukan pada 23 Oktober 1693. Konstruksi bangunan dirancang Ewout Verhagen dari Rotterdam, Belanda. Kapasitas gereja ini bisa menampung hingga 1.000 orang.

“Lalu diresmikan tahun 1695. Tahun ini gereja ini akan diperingati usianya yang ke-324 tahun,” tutur Waspo saat ditemui di GPIB Jemaat Sion, Jakarta Barat, Kamis (18/4).

Jelang perayaan Jumat Agung, pihak gereja juga mempersiapkan lokasi di dalam gereja untuk kebaktian. “Pada kebaktian nanti, akan ada perjamuan kudus. Jemaat akan berkumpul di bagian tengah gereja. Nanti disiapkan meja yang berisi salib-salib,” kata dia.

Di dalam tata peribadatan GPIB Jemaat Sion, perjamuan kudus adalah salah satu sakramen atau tanda keselamatan dari Tuhan, yang diadakan saat Jumat Agung.

Waspo menguraikan, setidaknya setiap sekitar 50 orang jemaat akan secara bergantian berjalan menuju meja tengah yang berada di depan altar tempat pendeta memimpin ibadat. Jemaat lantas akan memberi penghormatan kepada salib.

Dana jemaat dan kebersamaan

Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Jemaat Sion (tampak depan). Alinea.id/Robertus Rony Setiawan.

Meski sudah berstatus bangunan cagar budaya nasional, pengelolaan gereja sudah menjadi kewenangan pihak GPIB Jemaat Sion. Pengelolaan sehari-hari dijalankan dengan dana dari jemaat GPIB Jemaat Sion.

Misalnya, sumbangan dan persembahan persepuluhan saat ibadat. Pengelolaan ini, kata Waspo, mencakup kebersihan, perawatan bangunan, dan kegiatan operasional ibadat.

“Bantuan dari luar sifatnya insidental saja,” katanya.

Sedangkan Tasum mengatakan, pada 2001 dan 2002, pernah dilakukan pengecatan dinding dan kusen pintu gereja. Namun, belakangan perawatan sejenis itu jarang dilakukan. Menurutnya, bila perawatan khusus dijalankan, operasionalnya harus berdasarkan pengajuan dana kebutuhan kepada atasannya di Balai Pelestarian Cagar Budaya Pemprov DKI Jakarta.

“Bisa mengajukan proposal lebih dulu. Karena ada perhitungan dana yang lumayan besar untuk perawatan,” ujarnya.

Sebagai seorang beragama Islam, Tasum tak mempersoalkan tugasnya merawat gedung gereja. Ia menerima pekerjaan ini dengan senang hati.

“Saya tenteram adem. Di mana saya kerja, saya laksanakan sesuai di mana saya ditempatkan.

Kalau saya ditempatkan di vihara, ya saya juga akan kerja sebagaimana biasa. Ada juga vihara yang jadi cagar budaya,” tuturnya.

Ia berujar pula, membangun pelestarian cagar budaya harus menyertakan kebersaman dengan masyarakat. “Kita harus dekat dan bekerja sama dengan masyarakat. Kalau tidak, siapa yang mau merawat bangunan cagar budaya tua seperti ini?” ucapnya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid