close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Imane Khelif
icon caption
Imane Khelif
Sosial dan Gaya Hidup
Rabu, 04 Juni 2025 08:56

Kontroversi petinju wanita Imane Khelif yang tak kunjung usai

Sebelumnya, Khelif sempat didiskualifikasi dari Kejuaraan Dunia 2023 oleh IBA.
swipe

Nama Imane Khelif melejit setelah meraih medali emas tinju di Olimpiade Paris 2024. Ia bukan hanya kebanggaan Aljazair, melainkan juga simbol perjuangan dan dedikasi seorang atlet perempuan. Namun, di balik sorotan kamera dan kalungan medali, Khelif justru terjebak dalam pusaran kontroversi tentang identitas gender dan standar kelayakan di dunia olahraga yang terus bergolak.

Kontroversi itu memuncak ketika World Boxing, badan baru yang menggantikan peran Asosiasi Tinju Internasional (IBA), mengumumkan kebijakan pemeriksaan jenis kelamin genetik bagi semua atlet dewasa. Kebijakan tersebut bertujuan untuk "menentukan kelayakan atlet pria dan wanita" serta "memastikan kesetaraan dalam kompetisi." Namun, pengumuman itu disertai penyebutan langsung nama Khelif, yang disebut harus menjalani tes kelamin sebelum bertanding di kompetisi mendatang.

Kritik pun berdatangan. Federasi Tinju Aljazair mengecam penyebutan nama atletnya dalam kebijakan yang masih kontroversial. Merespons tekanan tersebut, World Boxing akhirnya secara resmi meminta maaf, mengakui bahwa pencantuman nama Khelif dalam pernyataan publik adalah langkah yang tidak sensitif.

Khelif, yang berusia 26 tahun, adalah wanita petinju yang sangat tangguh. Ia tampil impresif di kelas welter wanita, mengalahkan lawan-lawannya dengan gaya dominan dan penuh percaya diri. Namun, perhatian dunia tidak hanya tertuju pada teknik bertinjunya. 

Spekulasi seputar jenis kelaminnya kembali muncul, sebagaimana yang terjadi saat ia didiskualifikasi dari Kejuaraan Dunia 2023 oleh Asosiasi Tinju Internasional (IBA). Saat itu, IBA—organisasi yang kini tidak lagi diakui oleh Komite Olimpiade Internasional (IOC)—menyebut ia gagal dalam “tes kelayakan”, tanpa memberikan rincian jelas.

Meski sempat tersingkir dari turnamen penting, Khelif lolos ke Olimpiade Paris karena IOC masih menerapkan kebijakan kelayakan yang lebih inklusif. Khelif pun membungkam kritik dengan meraih medali emas dan menyatakan dirinya adalah perempuan, lahir dan dibesarkan sebagai perempuan. Namun, alih-alih meredam perdebatan, kemenangannya justru menjadi pemantik untuk kebijakan baru yang lebih ketat.

World Boxing, yang kini menggantikan IBA sebagai badan resmi tinju Olimpiade, mengumumkan kebijakan baru soal kelayakan gender hanya beberapa minggu setelah Paris 2024. Organisasi ini mewajibkan semua atlet di atas 18 tahun untuk menjalani tes genetik berbasis PCR, guna memastikan jenis kelamin biologis mereka saat lahir. Hasil tes tersebut dapat mengarah pada serangkaian pemeriksaan lanjutan—termasuk profil hormonal, anatomi, dan penilaian endokrin oleh pakar medis.

Dalam pengumuman awal, World Boxing mencantumkan nama Imane Khelif sebagai atlet yang harus menjalani pemeriksaan sebelum mengikuti kejuaraan selanjutnya. Reaksi keras pun muncul, tidak hanya dari Federasi Tinju Aljazair, tetapi juga publik yang menilai langkah tersebut sebagai bentuk pelecehan dan stigmatisasi. Akhirnya, World Boxing secara resmi meminta maaf karena mencatut nama Khelif secara terbuka.

Kebijakan ini mengingatkan pada era 1980-an dan 1990-an, ketika tes kromosom menjadi syarat wajib di banyak cabang olahraga. Namun metode itu ditinggalkan karena dianggap tidak mampu menangkap kompleksitas perbedaan perkembangan seks (DSD). 

Sebagai gantinya, beberapa cabang olahraga mengandalkan tes hormon, terutama kadar testosteron. Namun pendekatan ini pun mengundang polemik, karena mengharuskan atlet wanita dengan kadar testosteron tinggi secara alami untuk menjalani penyesuaian medis agar bisa bertanding.

Kini, tekanan dari isu partisipasi atlet transgender dan wanita dengan kadar testosteron tinggi membuat beberapa cabang olahraga, seperti atletik, kembali menghidupkan pengujian jenis kelamin yang lebih ketat.

World Boxing kini mewajibkan uji genetik berbasis PCR bagi atlet di atas usia 18 tahun. Jika hasilnya menunjukkan keberadaan kromosom pria pada atlet yang mendaftar di kategori putri, maka akan dilakukan serangkaian pemeriksaan lanjutan oleh tim medis independen. Kebijakan ini disertai mekanisme banding, namun tetap menuai kritik luas, terutama dari kalangan aktivis HAM dan organisasi olahraga yang lebih inklusif.

Di tengah polemik, Imane Khelif, kini 26 tahun, masih bersiap kembali ke arena tinju dalam turnamen di Eindhoven. Ia berharap bisa mempertahankan emasnya di Olimpiade Los Angeles mendatang. Tetapi pertanyaannya kini bukan lagi soal kemampuan di atas ring, melainkan: apakah dunia olahraga siap menerima kompleksitas identitas tanpa mencabut hak atlet untuk bertanding?

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan