Lewat Surat Edaran (SE) Gubernur Jawa Barat Nomor 51/PA.03/Disdik, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi atau akrab disapa Kang Dedi, mendorong bupati dan wali kota untuk mengordinasikan pemberlakuan jam malam bagi siswa sampai tingkat kecamatan dan desa.
Dalam aturan itu, Pemprov Jawa barat menerapkan jam malam bagi pelajar mulai pukul 21.00 hingga 04.00 untuk jenjang pendidikan dasar hingga menengah atas.
Ada yang dikecualikan untuk bisa beraktivitas di luar rumah, seperti siswa yang mengikuti kegiatan dari sekolah atau lembaga pendidikan resmi, mengikuti kegiatan keagamaan dan sosial di lingkungan tempat tinggal atas sepengetahuan orang tua, dan jika berada di luar rumah bersama orang tua. Lainnya, terkait situasi darurat atau bencana.
Menurut Dedi, pelajar yang melanggar aturan jam malam akan didata dalam sistem aplikasi yang akan dibuat. Nantinya juga bakal mendapat surat peringatan dari kepala sekolah.
“Laporan dari polisi, bhabinkamtibmas, babinsa, kepala desa, RT/RW, nanti masuk ke sistem aplikasi kita, sehingga di peta data, kepala dinas pendidikan provinsi sudah terbaca setiap hari. Ada berapa anak yang bolos, yang sakit, dan yang malamnya begadang,” kata Dedi, dikutip dari Antara.
Dedi mengatakan, pembinaan bagi pelajar yang melanggar aturan jam malam akan dimasukkan ke barak militer. Dia juga menyebut, Pemprov Jawa Barat tidak akan menanggung atau memberi bantuan kepada pelajar yang terlibat kenakalan dengan unsur kekerasan, seperti tawuran dan perkelahian, saat pemberlakuan jam malam.
Setelah keluarnya aturan dari Pemprov Jawa Barat, beberapa pemerintah kota segera melaksanakannya. Misalnya, Pemkot Bandung memberlakukan aturan jam malam bagi pelajar pada Senin (2/6). Lalu, Pemkab Cianjur memberlakukannya sejak Senin (2/6) dan Pemkot Depok pada Selasa (3/6).
Di Kabupaten Cianjur, penerapan razia dilakukan bersama petugas gabungan mulai dari dinas pendidikan, Kantor Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VI, Satpol PP, dinas perhubungan, TNI, dan Polri.
Menurut Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, kebijakan penerapan jam malam bagi pelajar keliru dan salah alamat. Kebijakan ini, kata dia, cenderung hanya menyalahkan siswa dan mengabaikan akar masalah yang lebih kompleks.
“(Kebijakan) ini justru menunjukkan kegagalan dalam memahami dinamika kehidupan remaja,” kata Ubaid kepada Alinea.id, Kamis (5/6).
“Pelajar bukan hanya objek yang perlu diatur dengan ketat, tetapi individu yang memiliki hak dan kebutuhan sosial.”
Pendekatan semacam ini, lanjut Ubaid, malah berpotensi merampas ruang gerak dan kreativitas pelajar. Dia mengingatkan, menerapkan jam malam berarti mengabaikan akar masalah yang sebenarnya.
Menurut Ubaid, kenakalan remaja atau masalah yang sering dikaitkan dengan aktivitas di malam hari, seperti tawuran atau pergaulan bebas, bukan serta merta murni karena pelajar berada di luar rumah pada jam-jam tertentu.
“Ada banyak faktor lain yang berkontribusi, seperti lingkungan keluarga yang kurang perhatian, kurangnya fasilitas dan kegiatan positif, serta masalah ekonomi dan sosial,” ucap Ubaid.
Lebih jauh, Ubaid khawatir pemberlakuan jam malam justru bisa menimbulkan konflik antara pelajar dan pihak berwenang, serta memicu kecemasan di kalangan orang tua. Hal ini pun, menurut Ubaid, dapat menghambat aktivitas positif yang dilakukan pelajar di malam hari, seperti bimbingan belajar tambahan atau kegiatan ekstrakurikuler.
Ubaid menyarankan, ketimbang memberlakukan jam malam, seharusnya pemerintah provinsi dan dinas terkait lebih fokus pada upaya preventif dan edukatif, seperti memperkuat peran keluarga dan sekolah, menyediakan lebih banyak fasilitas dan kegiatan positif, serta melibatkan komunitas.
“Menerapkan jam malam tanpa mengatasi akar masalah hanya akan menjadi solusi jangka pendek yang tidak efektif dan justru merugikan perkembangan pelajar,” ujar Ubaid.