Di tengah arsitektur klasik dan koleksi seni agung Rijksmuseum Belanda, sebuah benda kecil dari abad ke-19 menarik perhatian pengunjung. Bukan lukisan Rembrandt atau vas antik dari Tiongkok, melainkan sebuah kondom tua berusia hampir 200 tahun, yang terbuat dari usus domba dan dihiasi gambar erotis seorang biarawati bersama tiga pendeta. Benda ini bukan sekadar alat kontrasepsi, tapi juga artefak yang memotret sisi unik sejarah seksualitas dan budaya.
Dipamerkan dalam pameran bertajuk “Seks Aman?”, kondom ini diyakini dibuat sekitar tahun 1830 dan mungkin merupakan suvenir dari rumah bordil. Dengan tulisan dalam bahasa Prancis, “C’est mon choix” (Ini pilihanku), kondom ini menyampaikan pesan tentang agensi seksual yang relevan bahkan hingga hari ini. Gambar dan pesan itu konon merujuk pada karya seni klasik The Judgment of Paris karya Pierre-Auguste Renoir, yang menggambarkan kontes kecantikan para dewi dalam mitologi Yunani.
Kondom ini bukan satu-satunya peninggalan bersejarah yang mengangkat kisah kehidupan seksual manusia. Di Lund, Swedia, sebuah kondom dari tahun 1813 ditemukan lengkap dengan buku petunjuk penggunaan. Terbuat dari usus babi, kondom ini bisa dicuci dan digunakan kembali. Uniknya, petunjuknya menyarankan agar kondom dicelupkan dalam susu mentah sebelum digunakan untuk “menghindari penyakit saat tidur dengan pelacur.” Teknik ini terasa aneh hari ini, namun mencerminkan pemahaman medis saat itu.
Kisah serupa datang dari Inggris. Selama penggalian arkeologi di Kastil Dudley, West Midlands, para arkeolog menemukan kondom tertua yang berasal dari tahun 1640-an. Ditemukan di lubang pembuangan, kondom-kondom ini kini dipamerkan bersama empat fragmen lainnya di Museum Daerah Tyrol, Austria, dalam pameran “Sejarah Budaya Seks.”
Menariknya, istilah “kondom” sendiri mulai populer pada abad ke-18. Tokoh legendaris Giacomo Casanova bahkan menyebutnya dalam catatan hidupnya dan menyebutnya sebagai “Mantel Inggris”. Kala itu, kondom berbahan usus hewan bukan hanya alat kontrasepsi, tapi simbol status karena harganya mahal dan bisa digunakan berulang kali.
Deskripsi paling awal tentang alat ini berasal dari tahun 1564 oleh Gabrielle Falloppio, seorang dokter Italia, yang menyebut kondom berbahan linen sebagai pelindung terhadap sifilis. Versi-versi berikutnya menggunakan usus domba atau babi, diproses dengan soda dan belerang, kemudian dijemur dan ditiup untuk menguji kebocoran sebelum dipakai.
Revolusi baru terjadi pada tahun 1844 ketika Charles Goodyear menemukan proses vulkanisasi karet. Inilah yang memungkinkan produksi kondom secara massal dan terjangkau. Kemudian pada 1930-an, lateks mulai digunakan, membuka jalan bagi kondom modern yang kita kenal sekarang: tipis, fleksibel, dan sekali pakai.
Namun jauh sebelum mesin pabrik menggulung lembaran karet, kondom adalah bagian dari kisah manusia: soal cinta dan ketakutan, perlindungan dan kenikmatan, seni dan tabu. Dari kamar bordil Amsterdam hingga museum modern, benda mungil ini menyimpan jejak panjang tentang bagaimana manusia berusaha mengendalikan tubuh, penyakit, dan hasrat.
Melalui pameran-pameran seperti di Rijksmuseum atau Museum Tyrol, sejarah itu dihidupkan kembali—mengajak kita melihat bahwa seks, seni, dan sains sudah lama saling bersinggungan, dan juga diwarnai kisahnya yang unik. (AP)