

Kontroversi "membangkitkan" orang yang sudah mati lewat AI

Awal Mei 2025, dalam sebuah persidangan, Christopher Pelkey—yang tewas dalam tragedi penembakan di Arizona, Amerika Serikat pada 2021—muncul berbicara di depan hakim dan terdakwa Gabriel Paul Horcasitas.
Dari video berdurasi sekitar 4,5 menit, dengan latar belakang putih, Pelkey menyampaikan pernyataannya sebagai korban dan memaafkan terdakwa, yang divonis 10,5 tahun penjara karena pembunuhan itu.
"Bagi Gabriel Horcasitas, pria yang menembak saya, sungguh memalukan kita bertemu hari itu dalam situasi seperti itu," kata Pelkey di pengadilan, dikutip dari BBC.
"Di kehidupan lain, kita mungkin bisa berteman."
Saudara perempuan Pelkey, Stacey Wales kepada BBC mengatakan, dia “membangkitkan” Pelkey berbekal rekaman suara, video, dan gambar Pelkey, yang mati di usia 37 tahun, dalam sebuah video menggunakan bantuan teknologi artificial intelligence (AI).
“Membangkitkan” yang mati
Kesaksian korban yang sudah mati lewat teknologi AI itu merupakan yang pertama dilakukan di pengadilan Amerika Serikat, bahkan barangkali perdana di dunia. Kini, menghidupkan orang mati bukan lagi bualan fiksi ilmiah berkat kekuatan AI.
AI pun dimanfaatkan untuk menghidupkan selebritas yang sudah meninggal. Sebut saja, aktor Amerika Serikat James Dean yang meninggal pada 1955 dihidupkan dalam film Back to Eden (2011), lalu ada Carrie Fisher, Harold Ramis, dan Paul Walker yang kembali memerankan peran ikonik dalam film usai mereka meninggal dunia.
Di Indonesia, penyanyi Nike Ardilla yang meninggal karena kecelakaan pada 1995 lalu, turut menyapa penonton dan bernyanyi dalam acara Synchronize Fest 2024 pada Oktober tahun lalu.
Di media sosial, video AI tokoh-tokoh bangsa yang sudah tiada juga sedang menjadi tren, semisal aktivitas Sukarno, Mohammad Hatta, dan Sayuti Melik tengah sibuk menyusun naskah proklamasi di sebuah ruangan yang bercahaya lampu petromak.
Beberapa perusahaan digital melihat peluang komersial soal gagasan ini. Re: Memory misalnya, memungkinkan kita membuat versi virtual interaktif seseorang setelah mewawancarai dan merekamnya selama tujuh jam. HereAfter AI, bisa mewawancarai seseorang untuk akhirnya membuat versi digital setelah kematiannya.
Pada 2021, dikutip dari The Guardian, Joshua Barbeau menjadi perbincangan karena menggunakan GPT-3 untuk membuat chatbot yang berbicara dengan suara mendiang kekasihnya. Enam tahun sebelumnya, pengembang Eugenia Kuyda mengubah pesan teks teman dekatnya menjadi chatbot, yang akhirnya mengarah pada terciptanya aplikasi pendamping AI populer Replika.
Tahun 2021, situs silsilah MyHeritage memperkenalkan Deep Nostalgia, sebuah fitur yang membuat video animasi leluhur pengguna dari foto diam. Setahun kemudian, MyHeritage memperkenalkan DeepStory, yang memungkinkan pengguna membuat video berbicara.
Terbaru, Google merilis video AI Veo 3, yang bisa menciptakan konten berbasis AI yang fokus pada pembuatan video. Fitur ini lebih canggih dan tidak repot karena, dilansir dari situs Deepmind, Veo 3 hanya memakai perintah teks untuk membuat video sinematik dengan kualitas yang sangat baik. Fitur ini pun sekarang tengah menjadi tren di media sosial.
Dalam penelitiannya berjudul “Generative ghosts: Anticipating benefits and risks of AI afterlives” (Desember, 2024), periset dari Universitas Colorado Boulder, Jed Brubaker dan dari Google Deepmind, Meredith Ringel Morris menyebut fenomena ini sebagai hantu generatif bertenaga AI. Istilah lainnya, deadbot dan kloning digital.
Ancaman dan risiko
Menurut Brubaker, risiko dari penggunakan AI semacam ini lebih kompleks dan sering kali tidak begitu jelas. “Manfaatnya, seperti memberikan kenyamanan emosional. Namun, risikonya perlu penjelasan lebih lanjut agar dapat diperkirakan dan dihindari,” kata Brubaker dan Morris dalam laporan itu.
Mereka mengingatkan, bakal ada ketergantungan emosional pada mesin yang mewakili seseorang yang sudah tiada. Masalah lainnya yang akan timbul terkait reputasi atau privasi. Beberapa orang bisa memprogram hantu generatif mereka untuk terus “mengganggu” seseorang dari “akhirat”.
“’Hantu jahat’ mungkin (bisa) dirancang untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi terlarang sebagai cara untuk mendapatkan penghasilan bagi harta warisan almarhum atau untuk mendukung berbagai tujuan, termasuk yang berpotensi kriminal,” tulis Brubaker dan Morris.
Menurut peneliti hukum publik internasional dan AI tutor dari Universitas Oberta de Catalunya, Damian Tuset Varela dalam The Conversation, dari sudut pandang etika, bisnis semacam ini melanggar prinsip dasar rasa hormat dan martabat yang seharusnya menjadi pedoman dalam interaksi antarmanusia.
“Berduka adalah proses yang intim dan sakral, jalan menuju penerimaan dan kedamaian batin setelah kehilangan,” kata Varela.
“Oleh karena itu, campur tangan komersial dalam proses ini dianggap sebagai bentuk eksploitasi emosional, yang memanfaatkan orang-orang di salah satu momen paling rentan dalam hidup mereka.”
Peneliti dari Leverhulme Centre for the Future of Intelligence Universitas Cambridge, Tomasz Hollanek dan Katarzyna Nowaczyk-Basinska dalam jurnal Philosophy & Technology (2024) menyebut, “rekreasi” digital orang yang sudah meninggal sudah hampir menjadi kenyataan dan sangat membutuhkan regulasi. Mereka memperingatkan, deadbot dapat menyebabkan bahaya psikologis, bahkan “menghantui” pembuat dan penggunanya.
“Bidang AI ini merupakan ladang ranjau etika. Penting untuk memprioritaskan martabat orang yang telah meninggal dan memastikan hal ini tidak diganggu oleh motif finansial dari layanan ‘akhirat’ digital,” ujar para peneliti.
Risiko lainnya, perusahaan bisa memonetisasi layanan warisan digital mereka melalui iklan. Hal ini menyangkut pula pada persetujuan dan perlindungan data pribadi. Penelitian Masaki Iwasaki menegaskan, dalam survei yang dilakukan di Amerika Serikat, sebanyak 58% responden mendukung kebangkitan digital hanya jika almarhum secara tertulis memberikan persetujuan.
Bagaimanapun avatar AI seseorang dapat bersumber dari pesan di aplikasi, rekaman suara, foto, serta video di media sosial—yang dikenal sebagai warisan digital. Maka, perlindungan digital ini sangat penting.
Profesor madya pemasaran dari Universitas Coastal Carolina Patrick van Esch dan Yuanyuan Cui dalam The Conversation menulis, di Amerika Serikat hampir semua negara bagian telah mengesahkan undang-undang yang mengizinkan orang untuk menyertakan akun digital dalam surat wasiat mereka.
Di Jerman, pengadilan memutuskan kalau Facebook harus memberikan akses ke akun orang yang meninggal kepada keluarga, dengan menganggap akun digital harus diperlakukan sebagai properti warisan, layaknya rekening bank atau rumah.
Sayangnya, di Indonesia belum ada aturan demikian. Di sisi lain, selebritas barang kali punya beberapa perlindungan soal hak publisitas setelah mereka meninggal dunia. Namun, warga biasa punya kontrol yang jauh lebih sedikit atas warisan digital mereka yang digunakan setelah kematian.
“Saat Anda meninggal, hampir semua orang dapat mengunggah warisan digital publik Anda ke perangkat lunak AI untuk membuat deadbot atau avatar AI interaktif,” tulis BBC.


Berita Terkait
Bayang-bayang rusuh sosial akibat konten sensitif Veo 3
Ambisi superintelligence Mark Zuckerberg
Melindungi pengguna AI dari kalangan remaja
Sisi gelap video AI kreasi Veo 3

