close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Para pemeran Meteor Garden./Foto Instagram @kenchu9
icon caption
Para pemeran Meteor Garden./Foto Instagram @kenchu9
Sosial dan Gaya Hidup - Hiburan
Rabu, 05 Februari 2025 06:02

Mengapa Meteor Garden begitu populer di Indonesia?

Kematian aktris Taiwan Barbie Hsu mengingatkan kita pada serial televisi Meteor Garden.
swipe

Aktris Taiwan, Barbie Hsu meninggal dunia pada Minggu (2/2) di usia 48 tahun karena tertular influenza yang mengakibatkan pneumonia saat liburan Imlek di Jepang. Barbie terkenal di Indonesia karena perannya sebagai Shan Cai di serial Meteor Garden pada 2001. Dia berperan dengan anggota boy band F4, yakni Barbie Hsu, Jerry Yan, Vic Chou, Ken Chu, dan Vanness Wu.

Meteor Garden diadaptasi dari serial manga Jepang Boys Over Flowers karya Yoko Kamio. Serial drama ini sangat populer di Indonesia.

Ketika empat pemain Meteor Garden yang juga penyanyi, yakni Jerry Yan, Vic ZHou, Vanness Wu, dan Ken Zhu datang ke Indonesia untuk konser di Kemayoran, Jakarta pada Januari 2003, sekitar 70.000 tiket ludes terjual, dengan harga antara Rp500.000 hingga Rp2.000.000.

Saat Meteor Garden disiarkan televisi swasta di Indonesia awal 2000-an, diikuti serial televisi asal Asia lainnya, seperti Winter Sonata dan Tokyo Love Story, popularitasnya mampu menggeser produk budaya pop dari Barat di televisi. Ditonton dari level mahasiswa hingga ibu-ibu di kampung.

Meteor Garden berkisah tentang kehidupan asmara empat pria muda dan seorang perempuan. Tokoh utama perempuan, Shan Cai yang diperankan Barbie Hsu, adalah seorang mahasiswi miskin, tetapi menarik perhatian banyak laki-laki.

Dia jatuh cinta kepada Dao Ming Tse (Jerry Yan), seorang pria kasar yang berubah menjadi lembut, kaya, dan glamor—yang hidupnya mengikuti laju modernitas perkotaan Taiwan. Dao Ming Tse digambarkan sebagai sosok “pangeran tampan” dan pahlawan bagi pacarnya, Shan Cai. Namun, Shan Cai digambarkan menjalin hubungan lain dengan Hua Zhei Lie (Vic Zhou), yang merupakan teman dekat Dao Ming Tse.

Profesor kajian sinema dari Oberlin College, Hsiu-Chuang Deppman dalam “Made in Taiwan: An analysis of Meteor Garden as an East Asian idol drama” (2009) menyebut, Meteor Garden mendapat perhatian yang luas karena punya eksperimen intertekstual yang menarik.

Meteor Garden adalah kisah Cinderella modern—romansa fantasi yang menjembatani kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin,” tulis Deppman.

Lalu, penggambaran dalam Meteor Garden menggoda karena tak hanya memenuhi hasrat audiens muda untuk melihat seks dan kekerasan, tetapi juga dengan berani memvisualisasikan bentuk ekshibisionisme baru terhadap maskulinitas.

“Bentuk ini menciptakan dan memfetishisasi tubuh pria sebagai sesuatu yang lebih menonjol dibandingkan alur cerita dan karakter,” kata Deppman.

Kemudian, keberhasilan lintas regional dari drama televisi Taiwan yang diproduksi secara lokal mendorong apa yang disebut sebagai kedekatan budaya. Berbeda dengan banyak produk budaya Jepang dan Korea, yang diproduksi dan diterima sebagai representasi nasionalis, kata Deppman, Meteor Garden tak secara signifikan mengomunikasikan konsep atau cita negara-bangsa.

“Namun pada akhirnya menunjukkan audiens lokal acara ini membayangkan demokrasi keselarasan budaya yang mencakup, dalam kedudukan yang setara, pemirsa Asia Timur dari Tokyo, Seoul, Taipei, Singapura, Jakarta, Beijing, Hanoi, hingga Kuala Lumpur,” tulis Deppman.

“Seperti yang diindikasikan oleh kota-kota, bukan negara, yang menghubungkan pengalaman bersama dari bentuk komunitas Asia Timur yang baru, egaliter, dan transnasional yang diciptakan oleh acara ini.”

Disukai remaja perempuan

Menurut peneliti media dan komunikasi dari Universitas Airlangga (Unair) Rachmah Ida dalam “Consuming Taiwanese boys culture: Watching Meteor Garden with urban kampung women in Indonesia” di buku Budaya Populer di Indonesia: Identitas Cair dalam Politik Pasca-Otoriter (2008), kemunculannya di televisi Indonesia pada awal 2000-an menjadi fenomena yang luar biasa.

Daya tarik drama itu terkait dengan penampilan fisik empat karakter mahasiswa pria Taiwan, yakni Dao Ming Tse sebagai pria kaya, Hua Zhei Lei sebagai pria yang sensitif, Xi Men sebagai playboy, dan Mei Zhuo sebagai pria yang menarik.

Menurut Rachmah, Dao Ming Tse menjadi panutan baru bagi pemirsa remaja perempuan di Indonesia. Penampilan dan gaya rambutnya, diadopsi sebagai tren mode baru di kalangan remaja pria dan perempuan.

Mengutip penelitian G.M.M. Pravitta pada 2004 bertajuk “Menonton Perempuan Penonton Meteor Garden”, Meteor Garden menarik perhatian penonton Indonesia, terutama perempuan, karena cara penggambaran tokoh laki-lakinya.

Meteor Garden menunjukkan ciri-ciri pria tampan, gaya, trendi, baik hati, tidak kasar, tidak betato, tidak merokok, dengan penampilan fisik ideal, telah menjadi sosok idaman para pemirsa,” tulis Pravitta, dikutip dari artikel Rachmah.

Pravitta yang melakukan penelitian lapangan terhadap mahasiswi di Yogyakarta menulis, penampilan keempat karakter pria di Meteor Garden secara tak terduga membuat pemirsa terkejut. Mereka menganggap, penampilan fisik dan aktingnya berbeda dari laki-laki Timur pada umumnya, serta lain dari aktor-aktor Hollywood. Para pemeran pria di Meteor Garden membuat penonton terpesona karena memberikan alternatif terhadap bintang-bintang Barat yang dominan.

“Pemirsa perempuan dari sebuah universitas di Yogyakarta menganggap karakter laki-laki oriental menawan karena mereka tampak mempraktikkan apa yang disebut nilai-nilai Timur, terutama hubungan seksual yang terkendali,” tulis Rachmah.

“Bagi mereka, perilaku dan nilai-nilai ini jarang ditemukan di Asia saat ini.”

Penonton, ujar Rachmad, juga menyukai kreasi budaya kekanak-kanakan, yang mengontrol perilaku dan menjaga norma budaya tradisional sebagai orang Timur, meski karakternya hidup di zaman modern. Selain itu, komitmen keempat karakter laki-laki dan tokoh utama perempuan terhadap gagasan keperawanan sangat dihargai pemirsa perempuan di Indonesia.

Serial Meteor Garden ternyata mendobrak pula sentimen anti-Tionghoa di Indonesia. Dikutip dari tulisan sosiolog Ariel Heryanto “The look of love: New engagements with the oriental in Indonesian popular culture” di buku Pop Culture Formations Across East Asia (2010), penelitian Pravitta menemukan perubahan signifikan dalam sikap di antara penonton perempuan muda terhadap pria Tionghoa sebagai hasil dari menonton drama televisi ini.

“Biasanya seseorang tidak melihat ‘pribumi’ Indonesia berkencan dengan etnis Tionghoa. Biasanya Anda juga tidak mendengar gadis ‘pribumi’ menyebut pria Tionghoa dengan istilah yang mesra. Semua itu telah berubah. Mahasiswi mulai memandang pria dari etnis Tionghoa dan menciptakan berbagai istilah seperti cico (cino cakep), cihuy (cino uhuy),” kata Pravitta, dikutip dari tulisan Ariel.

Meski begitu, Rachmah menemukan pandangan berbeda dari ibu-ibu di perkampungan yang menonton Meteor Garden. Rachmah menemukan, perhatian perempuan berusia tiga puluhan lebih santai. Mereka menonton Meteor Garden karena penasaran mengapa media memborbardir dengan begitu banyak informasi tentang apa yang disebut demam Meteor Garden.

“Faktanya, para penonton perempuan di perkampungan menyadari jalan cerita serial ini hampir tidak berbeda dengan gaya drama kebanyakan produksi lokal Indonesia,” tulis Rachmah.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan