sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kasus dan korban Covid-19 melonjak, mengapa masih ada orang tidak percaya Covid-19?

Tidak adanya pengalaman langsung di lingkungan terdekat, membuat kemungkinan individu untuk tidak percaya dengan Covid-19 akan tinggi.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Sabtu, 17 Jul 2021 12:42 WIB
Kasus dan korban Covid-19 melonjak, mengapa masih ada orang tidak percaya Covid-19?

Pandemi Covid-19 yang telah berjalan selama 16 bulan tercatat telah menginfeksi 2,78 juta orang di Indonesia hingga Jumat (16/7). Dari jumlah tersebut, sebanyak 71.397 meninggal dunia, 504.915 kasus aktif, dan 2,2 juta orang dinyatakan telah sembuh.

Meski telah berjalan lama dan menimbulkan banyak korban jiwa, masih ada masyarakat yang tidak percaya adanya Covid-19. Beberapa di antaranya bahkan lantang bersuara Covid-19 merupakan hasil konspirasi.

Lantas, mengapa masih banyak orang tidak percaya dengan Covid-19?

Psikolog Klinis Bale Psikologi Ratih Damanyanti mengatakan, ada banyak faktor yang membuat seseorang tidak percaya dengan adanya Covid-19, meskipun telah banyak korban berjatuhan dari pandemi ini.

"Orang tidak percaya Covid-19 bisa karena si individu tidak memiliki orang terdekat yang juga penderita atau tenaga kesehatan, atau penyintas Covid-19," kata Ratih saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (17/7).

Dengan tidak adanya pengalaman langsung di lingkungan terdekat, kemungkinan individu untuk tidak percaya dengan Covid-19 akan tinggi. Belum lagi, kata dia, terkadang manusia sulit berempati dengan orang asing. 

Faktor kedua, lanjutnya, di lingkungan orang tersebut lebih banyak yang abai dengan Covid-19 daripada yang percaya. Apalagi, terlalu banyak hoaks yang muncul di lingkungan sekitar, juga bisa membuat individu tersebut tidak percaya dengan Covid-19.

"Dampak tidak percaya sama pemerintah juga bisa. Jadi kayak apapun yang dibilang pemerintah, enggak bakal percaya," tutur dia.

Sponsored

Selain itu, ketidakpercayaan pada Covid-19 juga bisa terjadi karena efek frustasi dengan terlalu banyak aturan yang berubah, tetapi, tidak membawa perubahan positif apapun yang dirasakan.

"Kalau abainya sendiri kan mungkin karena dari awalnya sudah melakukan sesuai apa yang diminta. Tapi, lambat laun ternyata enggak ada perubahan, yang ada malah semakin parah," ucap dia.

Pada dasarnya, kata dia, mengubah sudut pandang seseorang membutuhkan proses. Ditambah, manusia cenderung mencari bukti untuk menguatkan opininya sendiri. Semakin kaku seseorang dalam keseharian, menurutnya, akan membutuhkan proses yang lebih lama untuk berubah.

Berita Lainnya
×
tekid