sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mengenal sleep-related eating disorder dan bahayanya

Sleep-related eating disorder (SRED) dikaitkan dengan gangguan tidur lainnya.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Jumat, 02 Feb 2024 15:30 WIB
Mengenal <i>sleep-related eating disorder</i> dan bahayanya

Penyanyi Afgansyah Reza atau Afgan mengaku memiliki kebiasaan makan sembari tidur atau sleep eating dalam program podcast Goyang Lidah, yang tayang di kanal Deddy Corbuzier yang dipandu komika Praz Teguh pada Kamis (1/2). Gangguan makan terkait tidur yang dialami Afgan dikenal dengan istilah sleep-related eating disorder (SRED).

Peneliti dari Sleep Disorders Center and Department of Psychiatry and Psychology di Mayo Clinic, R. Robert Auger dalam risetnya di jurnal Psychiatry (2006) menyebut, peneliti C.H. Schenck dan koleganya pertama kali menggambarkan SRED pada 1991. Penelitian itu terbit di jurnal Sleep (1991). Para peneliti melakukan eksperimen terhadap 38 pasien, dengan lebih dari 90% di antaranya dievaluasi menggunakan polisomnografi—pemeriksaan yang digunakan untuk mendiagnosis gangguan tidur.

Meski peserta yang diamati memiliki banyak kondisi yang tumpang tindih dengan nocturnal eating syndrome (NES)—sindrom makan malam hari—tetapi kondisi tersebut dibedakan berdasarkan prevalensi yang lebih besar, seperti amnesia sebagian atau seluruhnya karena kebiasaan makan, hubungan yang kuat dengan gangguan tidur lainnya, dan frekuensi terbangun yang tinggi dari tidur gelombang lambat, mencirikan sebagai varian dari parasomnia non rapid eye movement (NREM). Selain itu, tak ada pasien yang mengalami gangguan makan sebelum tidur atau mengeluh insomnia awal yang khas tentang NES.

Menurut ahli saraf dan spesialis pengobatan tidur, Brandon Peters dalam Verywell Health, SRED diklasifikasikan sebagai parasomnia—gangguan tidur berupa perilaku tak biasa saat akan tertidur, sedang tidur, atau periode antara tidur dan bangun.

“Makan saat tidur terjadi selama ketidaksadaran sebagian atau seluruhnya. Makannya tidak terkontrol dan mungkin melibatkan kombinasi makanan yang aneh,” tulis Peters.

Dikutip dari Psych Central, orang dengan kondisi ini sering kali menyiapkan dan memakan makanan saat tidur jauh lebih cepat dibandingkan saat mereka terjaga, tanpa ingat pernah melakukannya. Pola ini biasanya terjadi saat malam. Pengidapnya memilih makanan yang biasanya tak dimakan di siang hari, seperti makanan yang tinggi gula atau kalori.

SRED merupakan kondisi yang relatif jarang terjadi. Menurut Auger, prevalensi SRED hampir 5% pada populasi umum, dan sekitar 9% hingga 17% dari mereka yang menderita gangguan makan. Usia rata-rata seseorang timbulnya SRED sekitar 22 hingga 27 tahun, dengan rata-rata 12 hingga 16 tahun sebelum gejala klinis muncul.

“SRED lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan pria,” tulis Peters dalam Verywell Health.

Sponsored

Psych Central menyebut, SRED umumnya terjadi bersamaan dengan gangguan tidur lainnya, seperti berjalan sambil tidur (somnambulisme), sindrom kaki gelisah (restless legs syndrome), gangguan pernapasan saat tidur (obstructive sleep apnea), narkolepsi (gangguan tidur kronis), dan gangguan gerakan ekstremitas periodik (periodic limb movement disorder). Peters, dilansir dari Verywell Health, menambahkan fakor utama pemicu SRED lainnya, yakni penggunaan obat-obatan, terutama obat tidur dan obat psikiatris.

Walau kesannya remeh, gangguan makan sambil tidur dapat menyebabkan situasi berbahaya. Peters mengatakan, bisa saja dalam menyiapkan makanan saat tak sadarkan diri, seperti memotong sayuran atau memasak air mendidih dapat berbahaya.

“Sering kali menyiapkan makanan kurang tepat, sehingga menimbulkan kekacauan di dapur. Setelah makanan dikonsumsi, bisa saja menyebabkan sakit perut, kembung, bahan menambah berat badan,” ujar Peters.

Di samping itu, disebut Psych Central, perilaku makan saat tidur bisa berisiko mengonsumsi zat beracun, seperti perlengkapan kebersihan atau rokok.

Auger menyarankan perlu evaluasi terhadap kondisi ini, terdiri dari riwayat tidur secara rinci, bersamaan dengan riwayat medis dan psikiatris yang lengkap. Pemeriksaan, kata Auger, sering kali memerlukan polisomnografi dengan video tersinkronisasi dan montase elektroensefalogram (rekaman aktivitas otak) lengkap.

Peters menjelaskan, tindakan pencegahan bisa dilakukan dengan mengunci pintu dan jendela, menyembunyikan kunci, dan membatasi akses terhadap bahaya lain yang mungkin berbahaya jika dilakukan secara tak sadar. Jika kondisi terus berulang, mengonsumsi obat atas konsultasi sebelumnya dari dokter, mungkin diperlukan. Lalu, ujar Peters, penting menjaga pola tidur yang baik.

“Banyak orang yang tidur sambil makan terbantu dengan menjaga pola tidur yang konsisten, dengan total jam tidur yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya,” kata Peters.

Berita Lainnya
×
tekid